40%

1.5K 160 5
                                    

12

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

12.30, 10 November.

Setelah beberapa jam lalu berkelana mencari bahan, Heeseung dan Ni-ki memutuskan makan siang bersama untuk setidaknya membicarakan hasil yang didapat.

Meski Heeseung sendiri yakin kalau Ni-ki tidak akan mengecewakan saat membuat berita, tetapi sebagai pembimbing yang ditugaskan untuk mengawasi anak magang, maka Heeseung akan tetap melakukannya. Lagi pula ini Ni-ki. Kalau bukan sedang bekerja atau bercinta, kapan lagi ia bisa berduaan seperti ini. Memanfaatkan kesempatan sekecil apapun kan sudah menjadi jati diri seorang jurnalis.

"Gimana hasil observasi tadi? Dapat yang menarik?"

Ni-ki mengangguk menjawab, dikeluarkan catatan dari ranselnya dan diberikan pada Heeseung.

"Kamu memang selalu mengejutkan ya, Ni-ki. Dari mana juga kamu bisa dapat semuanya dengan sedetail ini." Diakhiri dengan ia menggelengkan kepalanya.

Meski begitu, Heeseung tidak pernah merasa aneh dengan kemampuan Ni-ki sebagai seorang pemula. Karena memang sudah menjadi rahasia umum kalau semua berita yang Ni-ki buat selama tiga bulan masa magang ini selalu akurat. Semua yang didapatnya selalu tepat sasaran dan terpercaya. Entah karena memang Ni-ki seorang jenius atau mungkin karena rupanya yang memudahkan dia menjilat makanannya.

"Kan itu juga karena bantuan kak Hee, kakak kasih aku beberapa narasumber yang bisa aku gali." Balas Ni-ki yang juga diamini Heeseung.

"Ya, iya juga sih. Kalau begitu, sekarang semuanya aku serahin ke kamu deh. Lagi pula, semua bahannya udah lebih dari cukup." Ia kembalikan catatan yang sudah ia periksa. Mempercayakan tahap akhir pembuatannya pada Ni-ki.

"Ki," Panggilan dari Heeseung yang sedikit terdengar serius itu mampu mengalihkan fokus Ni-ki dari makanannya. Beradu tatap dengan si pemilik netra membuat sekujur tubuh Heeseung seperti sedang aliri listrik.

"Kenapa, kak?" Tanya Ni-ki dengan fokus yang kini beralih ke arah Heeseung. Dari tempatnya, Heeseung mengenali kegusaran yang Ni-ki rasakan. Selalu saja seperti itu setiap kali nada suara Heeseung berubah sedikit serius.

Heeseung terkekeh miris, "Aku masih ada urusan lain, gapapa kalau kutinggal?"

Belum, belum waktunya.

"Tapi kakak belum selesai makan?" Tanya yang sirat akan kekhawatiran itu setidaknya terdengar menyenangkan bagi Heeseung.

Namun, bukan hanya sekedar kekhawatiran itu yang Heeseung mau. Sesuatu yang bernama, yang lebih dari itu.

"Aku sudah kenyang, kok. Tadi sebelum kesini juga sempat makan makanan berat. Duluan ya, Ki."

"Hmm, oke. Hati-hati"

Heeseung berlalu. Lagi-lagi hanya berakhir dengan memupuk kehampaan setiap kali akan memulai. Bukan salah Ni-ki ia berakhir seperti itu, semua murni hanya karena ketidakberaniannya. Ketakutannya pada kemungkinan yang semu, pada sakitnya penolakan adalah satu-satunya sebab ia menjadi pecundang.

Heeseung tahu betul bahwa lambat laun, semua ini hanya akan bermuara pada kehancurannya. Jadi, ia pikir menikmatinya selagi belum menapaki akhir, tidaklah menjadi masalah. Setidaknya untuk sekarang.


















































--tbc;

--tbc;

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
TRUST ; heeki ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang