Prolog.

153 12 4
                                    

Seorang laki-laki dengan tubuh jangkung berbalut sweater yang duduk di hadapanku ini sedang serius dengan ponsel yang ada di genggamannya memainkan sebuah game yang aku tak terlalu paham apa. Bibirnya mengerucut sambil menggumum tidak jelas dan ibu jarinya bergerak lincah ke kanan ke kiri sampai terkadang badannya ikut bergerak juga. Sebuah mangkok bakso sudah kosong dilahap si penikmatnya dan segelas es jeruk masih tersisa setengah sedangkan mangkok milikku masih setia ku sendoki isiannya. Aku meraih botol minum biru yang selalu ku bawa kemanapun aku pergi dan menenggak isinya untuk mengakhiri sesi makan baksoku saat ini.

Lelaki itu mendongak mengalihkan pandangannya menatapku seakan bertanya "udah?" tanpa mengeluarkan sepatah kata namun hanya dengan alisnya yang diangkat menandakan memang itu yang ingin Ia katakan. Jalanan di belakangku yang terhalang spanduk warung bakso masih ramai dipenuhi oleh banyak kendaraan dan asap bus kota menyesakkan saat ini.

"Bentar ah, biar turun dulu makanannya" jawabku yang kemudian diangguki olehnya.

"Gue ke sana dulu" pamitnya seraya meninggalkan bangku panjang yang didudukinya tadi. Ya, pasti dia ingin merokok. Sudah sejak SMA dia kerap mengisap benda bernikotin itu, mungkin sudah bisa disebut kecanduan karena setiap hari kotak berisi benda putih panjang itu setia berada di sakunya. Ia selalu menjauh dariku dahulu jika kami sedang bersama namun Ia ingin merokok, takut aku di cap anak nakal katanya kalau sampai bajunya bau asap rokok. Padahal tidak akan ada yang memperdulikan aku jika bajuku bau asap rokok atau bahkan bau alkohol. Tapi tenang saja, aku tak pernah dan tak akan menyentuh dua barang itu.

Besar di lingkungan panti asuhan bukan berarti aku tidak mengenal dunia luar, aku tetap bersekolah di sekolah biasa dan bertemu orang-orang seperti yang lainnya. Hanya saja hari-hariku selalu bersama dengan penghuni panti lain, tidak seperti anak lain yang hidup bersama orang tuanya dengan keluarga yang utuh nan hangat. Sebenarnya ada tante dari Ibuku yang dulu menawariku untuk tinggal bersama di rumahnya, tetapi aku menolak karna aku merasa akan sangat merepotkan jika harus menumpang di rumahnya.

"Huh.." aku menghela napas pelan membayangkan bagaimana rasanya mempunyai ayah dan ibu yang bisa memeluk hangat setiap saat. Mau bagaimana juga, aku tidak akan pernah merasakannya. Kini aku hidup sendiri di sebuah kamar kos-kosan sederhana, berbekal pada beasiswa yang membuatku harus selalu memiliki IPK cukup untuk tetap mepertahankan hal itu. Meskipun disibukkan dengan kegiatan perkuliahan, aku tetap harus bekerja untuk menjaga agar keuanganku tetap stabil dan menghindari adanya urusan dengan yang namanya utang. Beruntung aku memiliki seorang sahabat yang sangat baik hati. Alia namanya. Orang tuanya memiliki sebuah toko bunga yang cukup ramai oleh pelanggan, sehingga ketika awal aku berteman dengannya saat masih menjadi mahasiswa baru dan seorang pegawainya yang mengundurkan diri dari toko bunganya, aku langsung mengambil kesempatan itu untuk melamar kerja di toko bunga milik orang tua Alia.

Aku melihat Radhit yang sedang mengobrol dengan tukang parkir sambil menghembuskan asap rokoknya yang tiba-tiba harus diinterupsi oleh ponselnya yang berdenting menandakan adanya pesan masuk. Itu pesan singkat dariku, jam sudah menunjukan pukul 19.15, aku mengajaknya pulang melalui pesan singkat karna jarakku dan dia cukup jauh dan nampak tidak sopan jika aku harus berteriak memanggil namanya dari sini.

Bau asap rokok yang menempel di bajunya mengalahkan aroma parfum maskulin yang dipakainya tadi sore saat kami hendak pergi makan bakso langganannya. Saat di jalan pulang, tiba-tiba hujan turun dan dengan tidak beruntungnya sekarang di bagasi motor Radhit tidak ada jas hujan yang berakhir membuat aku dan Radhit berteduh di depan bengkel yang sudah tutup. Hanya ada aku, Radhit, dan seorang laki-laki paruh baya menggunakan sepeda yang sama-sama berteduh. Laki-laki itu tampak menggigil terlihat dari posisinya yang sedang terduduk sambil memeluk kedua lututnya dan bajunya yang cukup basah. Aku teringat dengan seplastik bakso yang aku minta dibungkuskan pada penjual bakso tadi. Dengan segera aku mengambil kantung plastik yang tergantung di motor dan memberikannya pada lelaki itu.

"Pak, ini ada sedikit makanan. Nanti di rumah kalau bisa dihangatkan lagi pak untuk makan malam" ucapku seraya mengulurkan kantung plastik putih itu.

"Eh neng, makasih banyak atuh. Semoga rejekinya eneng makin lancar dan kebaikan eneng dibalas sama Yang Maha Kuasa ya neng" ucap lelaki itu menerima pemberianku.

"Iya, pak. Sama-sama. Aamiin" ucapku kemudian menyadari jika Radhit sedari tadi memusatkan perhatiannya padaku yang berbicara dengan laki-laki paruh baya ini.

Langit nampaknya masih betah untuk menumpahkan muatan airnya. Karna letak bengkel ini yang cukup mepet dengan jalan raya, membuat banyak cipratan air yang tercipta dari genangan air dipinggir-pinggir jalan membasahi celana panjangku. Menyadari hal itu, Radhit berdiri di hadapanku untuk menghalau cipratan-cipratan itu hingga tiba-tiba sebuah mobil melaju cukup kencang melewati genangan air yang membuatku refleks menggeser tubuh Radhit ke samping namun berakhir dengan bajuku yang kuyup terkena cipratan genangan air hujan.

"Radhit!" pekikku menarik kedua lengannya yang berbalut jaket jeans itu untuk beralih ke sampingku.

"Kei!" ucapnya tak kalah terkejut dengan tindakanku barusan.

Itulah namaku, Keira Arunika dan cerita ini yang akan menceritakan tentang sosok pemuda bernama Haidan Radhitya Harsaya.

SADANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang