Ijab Kabul

23 15 15
                                    

"Saya terima nikahnya Sukma Citra Lestari dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai." Dengan lantang ia berikrar layaknya sang raja.

Pernikahan adalah sebuah janji suci yang dilakukan sehidup sekali. Satu cinta dan segalanya. Pernikahan layaknya berlabuh. Bertahan saat badai datang dan menetap saat cobaan menghimpit.

Namun, jika pernikahan tidak di dasari oleh cinta apa yang akan terjadi dengan pasangan tersebut? Tak ayal jika perceraian menjadi jalan yang terus di lakukan oleh kalangan pasangan muda. Semuanya bermula dengan cinta.

Rangga menatap lelaki paruh baya yang tengah terbaring di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat dengan selang pembantu pernafasan di hidungnya. Matanya tak bergeming hanya dentingan monitor pengatur denyut jantung yang bergerak naik turun.

Jas hitam dan sepasang sepatu yang nyaris tak ia lepas sedari tadi. Ia hanya memperhatikan bagaimana lelaki paruh baya tersebut mengambil nafas lalu membuangnya.

Matanya menatap seorang gadis berhijab yang tengah menangis sesenggukan. Wajahnya memerah dengan gaun putih dan hijabnya yang senada dengan gaun tersebut. Terbesit dalam hati Rangga bahwa ia salah mengambil jalan ini. Ia hanya tidak tega melihat seorang gadis yang menangis sesenggukan hanya karena menikah dengan dirinya.

Rangga berjalan perlahan. Memandang wajah polos gadis tersebut yang terus menangis sambil memeluk sang Ibunda. Ia mensejajarkan tubuhnya dengan gadis tersebut. Lalu dengan perlahan mengeluarkan sapu tangan yang ia simpan di saku bajunya.

"Berhenti menangis." Ucap Rangga dalam dan tenang.

"Tidak!" Sanggah gadis tersebut dengan membuang sapu tangan yang Rangga berikan. "Aku tidak pernah meminta pernikahan ini! Ayah pasti sembuh! Dan aku akan melunasi semua hutang Ayah!" Teriaknya dengan lantang dan nyaring.

"Semuanya tidak mudah." Ucap Rangga dengan tenang.

"Aku akan bekerja! Dan usahaku juga sudah mulai berkembang!"

"Aku tidak meminta uangmu. Aku hanya meminta kepatuhanmu padaku." Lagi-lagi suara dalam itu membuat Citra diam dan menatap lelaki yang beberapa menit lalu menjadi suaminya.

Ia bergeming melihat bahu kokoh Rangga yang berjalan menuju bangsal ruangan ini. Citra tidak bisa menolak Rangga. Posisinya yang tinggi membuat ia hanya bisa menyangkal dengan sesekali terdiam.

Citra tidak menginginkan pernikahan ini. Ia bahkan tidak mengenal Rangga yang notabenya adalah suaminya sendiri. Ia tidak mencintai Rangga. Ia juga tidak menginginkan situasi seperti ini. Namun, semuanya seakan tercatat dalam hidupnya. Ia hanya bisa pasrah dan menerima semuanya. Mungkin Tuhan tengah membuat sebuah kado besar untuknya yang tengah diuji.

***

Dua bulan lalu Rangga bertemu dengan Ayah Citra, Andreas. Rangga tidak pernah tahu bahwa kedatangannya membuat sebuah jalan baru. Ia juga tidak tahu bahwa Andreas begitu tega terhadap anaknya sendiri.

"Aku baru tahu perusahaan di Surabaya berhasil kamu taklukkan." Ucap Andreas sambil tertawa.

Rangga tersenyum kecut. Ia tidak tahu apa yang Andreas pikirkan tentangnya. Tapi Rangga tahu ia memang ada tujuan untuk datang bertemu dengan Andreas.

"Maaf sebelumnya. Tapi apa yang membuatmu ingin bertemu denganku?" Tanya Rangga tanpa basa basi.

Rangga adalah sosok laki-laki yang sangat diincar oleh semua perempuan. Karirnya bagus di umur yang masih muda. Ia adalah sosok yang penyayang dan bertanggung jawab.

"Bisnis yang kurintis kemarin gagal. Dan hari ini adalah jatuh tempo hutang yang harus aku bayar." Ucap Andreas tenang. "Uang yang seharusnya ada hari ini sudah aku gunakan untuk membayar karyawan. Maaf aku belum bisa membayar hutangku padamu." Lanjutnya dengan sangat menyesal.

Rangga terdiam sejenak. Memandang lelaki paruh baya tersebut. Andreas memang berhutang padanya dengan nominal yang sangat besar. Ia juga ingin menagih hutang Andreas hari ini karena memang sudah jatuh tempo. Tapi mendengar perkataan Andreas selanjutnya membuat hati Rangga tergetak sesaat.

"Aku akan mengganti hutangku dengan anakku." Ucap Andreas dengan raut yang menyesal.

Rangga terdiam mematung. Anak? Maksudnya Andreas memberikan anaknya? Omong kosong. Rangga termenung masih tetap diam dengan semua isi kepala yang nyaris jatuh ke tanah. Seketika hawa panas menyelimuti hati dan pikirannya. Andreas benar-benar gila.

"Namanya Citra. Dia gadis yang cantik dan penurut. Sama seperti kriteria yang kamu inginkan. Ia sedang merintis bisnisnya yang entah kenapa selalu sepi pelanggan. Ibumu berkata padaku bahwa kamu harus cepat menikah. Ia meminta tolong padaku untuk mencarikanmu istri yang benar-benar bertanggung jawab penuh dalam rumah tanggamu." Andreas menghela napasnya kasar.

Ia memberikan surat dengan sampul berwarna coklat. Lalu memandang Rangga dengan sedikit memohon. Andreas hanya ingin sang putri bisa hidup tanpa membayar hutang-hutangnya yang sudah menumpuk.

"Tunggu!" Gertak Rangga tiba-tiba. Ia melanjutkan dengan nada yang geram. "Kamu menjual putrimu?"

"Aku tidak menjual. Hanya menggantikannya."

"Gila! Kamu bahkan tega menjual putrimu hanya karena kamu berhutang?!"

"Aku hanya menitipkan putriku. Mungkin waktuku hanya sedikit lagi dan semua hutang-hutangku mungkin akan membuatnya susah." Ucap Andreas lesu.

Rangga terdiam sejenak. Ia benar-benar tertegun dengan semuanya. Andreas benar-benar sudah gila. Ia berani menjual putrinya hanya karena hutang. Benar-benar di luar kendali pikiranya.

"Ibumu juga sudah merestui pernikahan ini." Ucap Andreas seketika.

Bunda?!

Rangga menoleh kearah Andreas. Memasang wajah garang dan mengepalkan tangannya geram. Bahkan bundanya sudah tahu? Ia kini sudah tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia juga bingung jika Bundanya sudah bulat akan keputusan tersebut.

"Ia meminta kamu agar cepat menikahi Citra." Lanjut Andreas dengan memperhatikan Rangga.

"Apa yang Bunda katakan?"

"Rita hanya ingin kamu memiliki keturunan." Ucap Andreas.

"Hanya itu?" Tanya Rangga.

"Aku juga sudah mengatakan bahwa aku berhutang padamu." Andreas menghela nafas dalam. " Dan aku juga mengatakan bahwa aku akan menjodohkan kamu dengan putriku asalkan hutang-hutangku lunas."

"Kamu bahkan memanfaatkan ibuku?" Tanya Rangga dengan geram.

"Ia tahu bagaimana baiknya putriku. Ia juga tahu apa yang tepat untukmu."

Bahkan bundanya dengan tega membiarkan wanita yang tidak ia kenal menikah dengannya? Rangga tidak habis pikir. Ia harus menerima semua masalah ini di saat Andreas yang membuat ulah? Bahkan di sini Andreas lah yang berhutang padanya. Mengapa harus ia yang menerima semuanya. Tidak adil.

"Rita hanya ingin di sisa hidupnya. Ia bisa menyaksikan anak satu-satunya bersanding dengan wanita yang benar-benar tahu agama." Ucap Andreas sambil menyodorkan amplop coklat.

Rangga menatap sejenak amplop coklat tersebut. Lalu sebesit wajah hangat sang Ibunda melintasi pikiranya. Ia bergeming sesaat. Memikirkan apa yang terbaik untuk semuanya. Dan ia juga benar-benar memikirkan bagaimana kondisi kesehatan ibundanya yang tengah terbaring sakit. Lalu sebuah jawaban singkat mampu membuat hatinya bungkam seribu bahasa.

"Aku akan menikahinya."



Metamorfosis SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang