0.1 - Datang

181 7 8
                                    

**
Chapter 0.1 - Datang

•×•

"Akhirnya passion gibahku tersalurkan lagi."

Suasana yang terasa kembali normal, membuat Jeana menarik napas dalam dan mengembuskannya lega selega-leganya. Seakan selama 5 tahun terakhir napasnya selalu dibuat manual.

"Peraturannya udah ganti ya, Mbak?"

Atas sebaris tanya itu, ibu satu anak yang di setiap harinya selalu memakai daster lokal bercorak flora mengangguk antusias. "Seminggu lalu kan udah penetapan RT baru, jelaslah peraturan baru juga."

Menerima jawaban yang terdengar super menggembirakan, Dasa selaku pemilik toko penatu di Kalawarna turut merasa cerah pula.

Bukan karena apa, sebab dalam waktu setengah dasawarsa kemarin, banyak sekali hal-hal diluar nalar yang harus seluruh penghuni Kalawarna patuhi.

Semua berawal sejak terpilihnya seorang mantan Jenderal yang super cinta tanah air menjadi ketua RT.

Pada awal pemilihan, semua tidak pernah menaruh curiga lantaran sang mantan Jenderal tampak berperilaku layaknya manusia normal yang hidup di zaman modern. Pagi harinya terlihat ngopi santai sembari membaca koran berita terkini. Sore harinya digunakan untuk menyirami jenis-jenis anggrek di halaman depan rumahnya.

Namun, siapa sangka begitu asmanya terpilih sebagai pemegang tahta tertinggi Kalawarna, segala sifat normal itu hilang.

Mendadak ada peraturan wajib setiap hari Senin akan dikumandangkan lagu kebangsaan dan lagu daerah mulai pukul enam sampai sembilan pagi. Dilanjut dengan pembacaan proklamasi serta sumpah pemuda. Semua disiarkan melalui pengeras suara milik pribadi sang Jenderal yang ditetapkan untuk berdiri kokoh di sisi gardu kamling.

Dilengkapi peraturan tidak manusiawi bagi para kaum hawa berupa dilarang berdiskusi satu sama lain mengenai hidup orang-orang. Entah tetangga sendiri atau selebriti.

Diwajibkan pula jika berbincang dengan tetangga untuk dalam posisi tegap sempurna, istirahat di tempat lebih baik katanya. Hal itu mencetus para warga diam-diam membuat grup anti RT untuk sekadar meluapkan segala bahan gosip dan kekesalan batin.

Belum lagi saat iuran komplek. Seakan mereka diharuskan membayar upeti, padahal hanya rupiah sebesar sepuluh ribu.

Bukan masalah pada siapa, tapi nuansa dan suasana yang diciptakan bukan lagi seperti di dalam komplek perumahan. Melainkan di dalam markas militer.

Tidak ada yang memberontak bukan karena hormat, melainkan takut rumah mereka dilindas tank. Sebab sehari setelah terpilih, sang mantan Jenderal atraksi membawa tank masuk ke dalam lingkungan Kalawarna.

"Dengar-dengar, keluarganya sekarang pindah, ya?"

Saking semangatnya, Jeana sampai melotot untuk memberi elaborasi. "IH IYA! Katanya, kalau di sini kenangan sama si bapak bakal ada terus. Jadi susah ikhlas, makanya mereka pindah."

Dasa mengangguk paham. Lanjut menuntaskan aktivitas mengelap-elap bodi mesin cuci, sebelum beranjak kembali duduk pada singgasananya di balik meja etalase.

"Emang beliau meninggalnya kenapa?"

"Azab--MAKSUDNYA, serangan jantung. Kumat gitu, terus udah nggak ada waktu perjalanan ke rumah sakit. Kita semua langsung bikin syukuran loh Mas, waktu keluarga mereka pindah. Bukan karena si bapak udah nggak ada."

"Astaghfirullah bunda, orangnya udah meninggal loh masih aja digibahin." Lelaki berlesung pipi manis tiba-tiba menyahut, entah sejak kapan datang sambil mengunyah sepiring nasi pecal.

[1] Kalawarna (under revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang