0.3 - Sebuah Pertemuan

135 5 12
                                    

**
Chapter 0.3 - Sebuah Pertemuan

•×•

Pertanyaan spontan yang Lisa ajukan di waktu lalu, nyatanya cukup membuat puan berambut panjang dengan apron cokelat beraroma sinamon itu merasa tidak baik sekarang.

Berdiri setengah melamun sambil mengelap cangkir-cangkir dari balik meja pemesanan, perempuan itu jadi terlihat agak kurang waras jika dilihat dengan mata normal.

"Hoi! Malah ngelamun, kenapa sih?"

Seorang perempuan berhati ke ibuan menepuk bahunya. Teman kuliah Sabina yang biasa ia sapa, Ebi.

"Nggak pa-pa."

"Dih."

Benar-benar punya sifat keibuan. Ibu tiri lebih tepatnya. Maka dari itu, hingga saat ini sang puan cantik masih saja melajang. Karena setiap ada yang mendekati, laki-laki yang merayu langsung pulang terkena serangan mental.

"Lo yakin mau kasih apapun ke gue? Emangnya lo udah kasih apa aja buat orangtua lo? Udah sukses naikin haji dan umroh? Udah bikinin rumah buat mereka? Udah bisa kasih gaji pertama ke mereka? Kalau masih ngerayu cewek pakai uang orangtua, mending lo tobat! Bentar lagi kiamat."

Dan masih panjang lagi.

"Terakhir gue lihat lo gini ... dua tahun lalu karena--"

"Bi, gue ke toilet bentar, ya. Lo jaga kasir." Sabina memotong segera. Menepuk bahu sang kawan dua kali sebelum melangkah ke toilet.

Sesampainya di ruang lembab itu Sabina tidak berhenti dan langsung menuju satu bilik. Menuntaskan apa yang memang ia pamitkan pada Ebi sebagai alibi. Sebelum dengan sendu ia bersandar pada pintu bilik yang terbuka diiringi suara toilet flush.

Helaan napas yang keluar secara teratur perlahan berubah menjadi embusan biru. Ia menegakkan diri, menepuk-nepuk pipinya sembari menuntun langkah dan berhenti di depan cermin panjang toilet.

Persetan rasa gamang akan makhluk astral yang mungkin keluar dari cermin atau menerkamnya dari belakang seperti di film horor, Sabina merasa hidupnya terlalu rollercoaster untuk dapat ia merasa merinding saat ini.

Lantas ia meletakkan kedua telapak tangannya di atas meja wastafel, menumpu seluruh beban di sana, sebelum kembali menatap pantulan dirinya pada cermin.

Sudah lelah untuk melucu pada dirinya sendiri.

"Udah dua tahun aja, Na."

Sabina pikir jika ia pulang, ia bisa memulai kehidupan barunya. Namun Sabina lupa, apa yang sempat ia tinggalkan tanpa pesan itu nyatanya kini menjadi bumerang rumit untuk dirinya.

Terlebih, ia menutup semuanya rapat-rapat. Seakan hanya ia dan Tuhan yang tau. Padahal nantinya tetap saja akan ada manusia penasaran yang mengetahui segalanya.

"Sabina, ingat! Udah dua tahun dan lo mulus-mulus aja nutupin ini! Nggak perlu ada yang tau, nggak perlu ada yang bongkar! Oke? Chill men!"

Kemudian lututnya langsung melemas. Hampir meleyot di bawah meja wastafel, tapi ia langsung menegakkan diri kembali. "Sabina! Udah, nggak usah meleyot-meleyot! Jangan lemah! Cuih! Oke, leggo!"

Maka setelah menggumamkan semangat, ia berjalan keluar toilet sembari mengepalkan tangan ke udara. Menemui Ebi yang berdiri di balik meja kasir dengan senyum cerah.

"Lo yang jaga nggak ada pelanggan masuk, Eb?"

Puan cantik itu menoleh tajam. "Kurang ajar! Tadi ada. Lo aja kelamaan berak."

"Heh! Bahas berak-berak, gue nggak berak. Udah sana-sana." Sabina mengibaskan tangannya mengusir. Membuat Ebi merasa terdorong untuk memukul temannya itu dengan baki. Namun, tidak mau menjadi tontonan pelanggan mereka saat ini, ia hanya berakhir pergi sambil menggerutu.

[1] Kalawarna (under revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang