0.6 - Menyambut

109 3 10
                                    

**
Chapter 0.6 - Menyambut

•×•

Huru-hara mengenai kepindahan laki-laki bergelar sarjana kedokteran yang diliputi iklan tuduhan penculikan kemarin, berakhir dengan Bayu mentraktir sang dokter es • teh Indonesia sebagai permohonan maaf atas tindakannya.

Tentu saja Bayu enggan mengaku salah, dan berdalih itu sebagai tindakan heroik; dengan suara latar warga berdekut sewot.

Dan ketika fajar kembali terbit dari Timur membangun hari yang baru, Sayudha sudah mandi dan mewangi. Berdiri di depan cermin panjang di dalam kamarnya sembari menimang pakaian yang sekiranya cocok ia kenakan hari ini.

Aktivitas itu terhenti ketika Sayudha melirik pada cermin dan menemukan sosok kepala menyembul dari celah pintu kamarnya yang entah sejak kapan terbuka.

Di sana, sang keponakan menatapnya dengan curiga.

"Nanti ada warga baru lagi."

Satu baris kalimat penjelas yang membuat Raya lantas mengatupkan bibirnya yang sudah setengah terbuka. Ia membuka pintu makin lebar, masuk untuk melihat-lihat. "Oh, kirain Pakdhe mau ngedate."

"Ngedate gundulmu!"

Raya meringis ketika dahinya disentil oleh Sayudha. Membuat anak remaja itu merengut seketika. Namun, matanya masih aktif melirik-lirik. Menemukan tumpukan pakaian di atas kasur Sayudha yang sepertinya gagal dipilih untuk menjadi pakaian paripurna hari ini.

"Pakdhe mau ketemu siapa, sih? Cewek ya warga barunya? Kok ribet banget milih baju."

Laki-laki itu masih sibuk memerhatikan pantulan diri dari cermin, melirik sekilas pada Raya. "Ngawur. Ya walaupun bukan perempuan, sebagai RT yang baik Pakdhe harus tampil sempurna dong. Supaya enak dipandang."

Mendengar jawaban yang kurang memuaskan, Raya makin mencibir. Ia malah makin menaruh curiga lantaran Pakdhenya yang masih melajang itu kenapa mau-maunya repot memilih baju begini jika hanya bertemu warga segender.

Pasti warganya cewek cantik.

Merasa diperhatikan dengan pandangan curiga bertabur suudzon berat, Sayudha yang melirik dari pantulan cermin lantas berbalik. "Mending Raya keluar aja, Pakdhe mau ganti baju."

"Ih Pakdhe salting--"

Seruan Raya hampir membuat Sayudha mendelik, jika suara ketukan berirama di pintu utama tidak lebih menarik atensi dan pendengaran keduanya.

"Pak, permisi!" Ketukan berirama sopan dan tidak menggebu kembali terdengar mengajak kata permisi. Lantas Sayudha mendorong-dorong bahu sang keponakan untuk keluar dari kamarnya. "Tuh, tuh, paket kamu datang. Samperin sana mas kurirnya."

Raya belum sempat memberi elaborasi jika ia tidak men-check out apapun dari aplikasi jeruk, tapi pintu kamar Sayudha sudah tertutup dan terkunci rapat setelah sukses menggiring tubuh Raya keluar.

Gadis SMP itu berdengus. Menoleh pada pintu utama yang ketukannya mulai tidak sabaran, sedikit meneror seperti hendak menagih utang.

"Iya sabar woi, anying. Lagi jalan ini."

"Raya, lathimu Nduk!"

Spontan ia berhenti melangkah, menutup mulutnya dengan tangan kemudian cengengesan. "Iya Pakdhe, ngapunten."

Meski bibirnya masih mendumal kesal, bergerumul dengan isi pikiran mengenai sosok seperti apa yang mulai tidak sabaran ini, pada akhirnya Raya hanya menghela napas keras di balik pintu. Menarik napas pelan, mengatur paru-paru dan pikiran. Sampai dirasa ia sudah bisa menerima tamu, tangannya terulur maju untuk menurunkan gagang pintu.

[1] Kalawarna (under revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang