2.0 - Perihal Yang Tersuruk

81 3 6
                                    

**
Chapter 2.0 - Perihal Yang Tersuruk

•×•

"Kenapa sih ngelihatin mulu? Heran."

"Cantik, sih."

Jeana melotot. Melirik keadaan sekitar teras tempat mereka sedang mendudukkan diri, sebelum menyambit Jidam dengan kaus dari pangkuannya; sebagai pelampiasan salah tingkah yang membuat semburat merah samar menyeruak memenuhi pipi dan telinga.

Jidam tertawa, menangkap kaus itu dan melipatnya dengan telaten. Segaris senyumnya bahkan tidak turun, tetap bertengger pada bibir itu. Manalagi kala ia memberikan kaus yang sudah terlipat rapi pada Jeana.

Keduanya hanya sedang menghabiskan waktu singat pagi itu sebelum Jidam berangkat ke sekolah untuk mengajar. Jeda bagi keduanya sebelum kembali bergelut dengan urusan masing-masing dan bertemu kembali petang nanti.

Jidam yang sudah tidak melakukan apa-apa, kembali menatap sang puan. Memangku pipi di buku-buku jarinya, dengan siku yang diletakkan pada atas meja bundar di antara kursi rotan tempat keduanya duduk.

Teh di dalam cangirnya telah tandas, sehingga tidak ada lagi hal lain yang dapat menganggunya untuk terus memandangi paras perempuan yang dinikahinya beberapa tahun lalu itu.

Kalau diingat-ingat, ia bahkan lupa atau lebih tepatnya tidak tau mengapa ia melabuhkan hati pada Jeana.

Istrinya itu tidak ada tenangnya sama sekali. Selalu membuat gonjang-ganjing disetiap langkahnya. Namun entah bagaimana, perempuan yang seperti itu mampu membuatnya jatuh hati.

"Dam, kenapa sih? Jangan dilihatin mulu. Malu, nih."

"Malu-malu segala. Padahal suka, kan?"

Sang puan mengembuskan napas. Menghentikan aktivitas sebelum turut menyangga pipi dengan tangan menyiku di atas meja. Menatap Jidam dengan pandangan yang sama seperti yang laki-laki itu berikan padanya.

Setakat perlahan Jidam mulai menegak, mengalihkan pandangan. Membuat Jeana lantas tertawa mengejek. "Malu-malu segala, padahal suka, kan?"

Keduanya bertukar tawa. Sebelum Jeana menuntaskan satu pakaian terakhir pada pangkuannya dan Jidam yang mulai bangkit merapikan diri.

"Aku ke sekolah dulu, ya. Udah mau jam 7."

Jeana lantas menarik pergelangan kiri laki-laki itu, melihat pergerakan jarum jam pada arloji yang melingkar di sana. "Iya, sih, udah mau jam 7. Ya udah, hati-hati, ya."

Sebelum bangkit, ia sempatkan untuk menarik selembar kain berwarna biru yang terlipat rapi. Sapu tangan milik Jidam.

Ia sisipkan selembar kain itu di dalam genggaman tangannya kala mencium punggung tangan Jidam, kemudian benar-benar bangkit setelah memastikan tumpukan pakaian pada pangkuannya telah rapi. Berniat untuk membawanya masuk setelah Jidam berangkat. Namun sampai pada detik kesekian, laki-laki itu masih di hadapannya. Tidak bergeser sedikitpun, malah menatapnya lamat.

"Kenapa? Katanya udah mau jam 7. Nanti telat loh."

Ada satu napas yang samar Jidam embuskan melalui celah kedua bibirnya. Sebelum menetapkan bibir itu untuk melukis segaris senyum.

"Kamu lupa ini hari apa?" Ia bertanya, seraya melipat lebih kecil sapu tangan yang Jeana beri kemudian memasukkannya ke dalam saku kemeja.

Kedua alis Jeana lantas bertaut kala mendengar sebaris tanya itu. Perlahan bola matanya bergerak memutar, mengingat-ingat.

"Hari ... Kamis?" Perempuan itu menjawab ragu, tidak benar-benar yakin bahwa itu adalah jawaban yang Jidam minta. Namun, tidak ada yang terbesit di dalam pikirannya selain bahwa hari ini memang hari Kamis.

[1] Kalawarna (under revision)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang