Bab 3

26 0 0
                                    

BAB 3

Sebelas tahun sudah, aku melalui banyak tahap hingga terlatih sempurna. Aku begitu tak sabar untuk membunuh tentara yang ikut menyiksa Okaasan saat itu. Tentu Ojichan tak tahu niat seperti ini. Diam-diam, aku menyusun rencana.

Suatu hari, aku berkesempatan pergi keluar desa, melihat dunia luar. Ini yang sudah kutunggu selama ini. Aku mulai menyiapkan peralatan lengkap. Tak lupa membawa pedang, Ojichan menyebutnya ninjato . Benda ini tak sekuat pedang para samurai, katana . Ninjato lebih ringan dan pendek dibanding pedang lainnya. Itu akan mempermudah pergerakanku yang dituntut cepat dan ligat tanpa mencuri perhatian.

Aku mulai beraksi ketika malam. Berlari tanpa suara, melompat dari pohon ke pohon, memanjat dinding, dan mengendap-ngendap memasuki rumah. Target kali ini adalah orang yang wajahnya masih tercetak jelas dalam ingatan.

Tak lupa aku membawa besi kecil yang dibalut kain untuk membuka pintu secara paksa tanpa suara.

Sampai di rumah target, aku langsung menyusup. Mudah saja masuk ke rumah, dengan semua alat yang telah kusiapkan. Aku berjalan perlahan menuju ruangan, yang kuduga sebagai kamar. Kaki ini melewati tikar yang terbuat dari jerami. Terus mengendap hingga sampai di depan pintu berpanel kertas. Kugeser pintu ini sedikit, terlihat dua orang sedang tidur pulas. Keduanya telentang dengan selimut di masing-masing futon , kasur yang langsung bersentuhan dengan lantai.

Penerangan di kamar hanya toro kecil, lentera yang terbuat dari kertas dan diletakkan lilin di dalamnya.

Suara dengkuran membuatku lebih leluasa karena setiap pergerakanku dan pergerakan benda seperti pintu geser, semakin tak terdengar. Targetku kali ini merupakan orang yang telah menyiksa dan memenggal kepala Okaasan. Hal yang sama akan kulakukan padanya.

Perlahan, kuhunus pedang yang berada di punggung. Setelah benda tajam ini keluar sempurna, aku menjambak kepala target hingga ia terduduk. Begini lebih mudah menebasnya. Melihat wajahnya, mengingatkan aku pada penyiksaan yang dilakukan para tentara Jepang. Aku mengurungkan niat menghabisinya dengan cepat. Ia harus melihat istrinya mati di depan matanya.

Lelaki itu terbangun dan bergerak melawan. Suara teriakan membangunkan istrinya yang seketika itu menjerit histeris. Kesunyian pecah oleh suara mereka berdua. Jemariku melepas genggaman pada rambut lelaki berdagu panjang ini.

Suara jeritan seperti itu sangat mengganggu telinga. Aku berlari setengah melompat, lalu menebas kepala wanita yang mengenakan kimono   bermotif sakura. Ninjato berayun tepat di telinga, hingga membelah kedua bola mata menjadi empat. Kepalanya menganga, tampak otak berwarna abu-abu yang mulai memerah karena darah. Ia pun tumbang dari duduknya dan menumpahkan otak. Aku sengaja membiarkan wanita paruh baya ini mati dengan cepat. Sebenarnya ia tak bersalah, tapi jeritannya cukup menganggu.

Aku kembali pada target yang mendelik, tersirat ketakutan luar biasa. Bibir bergetar, perkataannya terbata-bata. Tak jelas berbicara apa. Besi pedang yang tadinya putih mengilap sudah memerah berselimut darah. Lalu, ujung pedang yang runcing kuarahkan ke wajah lelaki itu. Ia mundur perlahan, mengesot-ngesot. Memohon dengan cara paling menyedihkan. Merendahkan diri serendah-rendahnya, bersujud ke arahku.

Aku berjalan perlahan dengan mengacungkan pedang di tangan kanan. Ketakutan yang dirasakan pria itu, membuat ia nekat berlari menuju pintu geser. Kuambil dua shuriken  di kantong pinggang dengan tangan kiri. Aku berputar, memusatkan tenaga pada lengan kiri, kemudian melempar dua shuriken tajam bermata empat. Dua shuriken berhasil menghunjam punggung pria sipit itu hingga ia tersungkur. Mulutnya mencium lantai, serta tubuh menggelepar. Ia mengerang kesakitan.

Meski demikian, ia masih berusaha untuk bangkit berdiri, berbalik dan menatapku dengan penuh permohonan. Kedua tangannya mencoba menghalangi ujung pedang yang melesat menuju perutnya. Kemudian, aku menambah tenaga pada lengan, untuk menekan hingga berhasil membuat ujung pedang menembus punggung. Cucuran darah membasahi lantai juga mengotori pakaianku. Aku melangkah mundur dan melepas ninjato dari tubuhnya. Ia bersimpuh tak berdaya. Wajah kesakitan tampak jelas. Badannya bergetar hebat dan tak lagi sanggup berkata.

Sebenarnya, aku punya pilihan untuk tidak melakukan hal  seperti ini. Namun, untuk apa latihanku selama ini jika bukan untuk menuntaskan dendam?

Ninjato yang tipis ini dengan mudah memenggal lehernya hingga kepala terlepas dari badan. Dua orang telah mati dengan cara mengenaskan. Keadaan kembali hening. Aku terdiam sementara waktu, pandangan tertuju pada bagian tubuh yang telah terbelah.

Saat melakukannya tadi, adrenalin begitu hebat hingga membuat sangat bersemangat. Namun, ada rasa yang aneh saat aku melihat manusia telah mati bersimbah darah dengan tubuh terpotong-potong. Rasa itu seperti kosong, seolah-olah ada penolakan dari dalam jiwa. Padahal, Ojichan sudah melatihku untuk menurunkan segala empati dalam diri. Aku sudah melewati latihan membunuh binatang dengan kejam. Namun, kenapa aku begitu merasa bersalah melakukan ini? Ah biarlah, tentara yang menyiksa ibuku pantas mendapatkannya. Namun, bagaimana dengan istrinya? Bukankah ia tidak bersalah? Ah … sudahlah, anggap saja ini bagian latihan dari Ojichan. Segera kutepis segala keraguan dalam diri.

Kuambil kepala yang telah terpenggal dari genangan darah beralas lantai kayu. Kutenteng dengan menjambak rambut. Cairan kental merah masih terus menetes. Aku keluar rumah melalui pintu depan yang tadi kubuka paksa tanpa suara. Kemudian, kutancapkan kepala tak berdaya itu di ujung pagar bagian atas yang tajam. Biar semua orang tahu, betapa menyedihkan pria ini.

Namun, tiba-tiba aku teringat ucapan Ojichan bahwa ninja beraksi tanpa mendapat perhatian dari siapa pun, kerjanya harus rapi, dan tidak meninggalkan jejak. Aku pun mengurungkan niat memamerkan hasil jerih payahku dengan mempermalukan mayat ini. Kembali, aku mengambil potongan kepala dari ujung pagar, lalu masuk rumah. Berpikir sejenak, bagaimana menyembunyikan kedua mayat ini?

Aku pergi ke belakang rumah untuk melihat-lihat, ternyata ada hamparan tanah berisi beberapa tanaman bunga. Kugali tanah itu dengan kunai, lalu dengan berbagai alat pertanian yang ada dirumah ini, aku perdalam galian tersebut. Fiuh! Sungguh melelahkan. Lain kali, akan kupikirkan cara paling mudah menyembunyikan mayat sebelum membunuh. Aku memang sangat amatir untuk urusan seperti ini. Tidak apa, jika tak begini, maka aku tak akan tahu.

Kemudian, aku geret kedua mayat itu dan melemparnya ke liang yang cukup dalam. Kembali, aku dibuat lelah karena harus menimbun liang dan menanam bunga tadi seperti semula, belum lagi harus membersihkan darah dalam rumah ini. Bodohnya aku tidak memikirkan hal ini sebelumnya.

Sungguh sangat melelahkan!

Jugun Ianfu no Kunoichi (21+) (Full Version) (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang