Bab 4

25 0 0
                                    

Bab 4 Wanita itu

Beberapa hari telah berlalu, dan aku kembali mendapatkan kesempatan untuk pergi dari Koga. Aku beralih pada tentara lain. Pria kedua yang akan kubunuh malam ini. Dulu, ia menusukkan gagang pedang ke dalam lubang kemaluan Okaasan. Selain gagang, ia juga menusukkan ujung mata pedang menembus perut hingga Okaasan memuntahkan darah. Ah, ingatan ini selalu menggangguku. Lupakan! Lupakan!

Setelah pikiran tenang, aku melanjutkan aksi. Awalnya aku tak yakin saat akan memasuki rumah yang sangat kecil dengan sedikit perabot, tanpa ada siapa-siapa selain pria itu sendiri. Ketika membaca dokumen hasil curian dari pangkalan data militer, tercatat ia memiliki pangkat cukup tinggi. Mustahil ia semiskin ini.

Kali ini, aku membawa kusurigama, senjata berbentuk bulan sabit dan terhubung oleh rantai. Baru saja aku menyelesaikan sesi latihan menggunakannya. Senjata ini cukup unik. Ada bandul di ujung rantai yang berguna untuk beberapa hal, yakni membantu untuk memanjat dinding dan pohon, melucuti senjata lawan, melilit, mencekik, dan kegiatan membunuh lainnya. Bagian besi yang tajam tak terlalu bengkok, sehingga bentuknya hampir menyerupai kapak. Benda ini pertama kali kubawa setelah berhasil mencuri dari kotak perkakas ninja milik Ojichan.

Target sudah ada di depan mata. Ia tidur pulas dengan wajah menjijikkan. Tubuhnya tidur di futon yang bersentuhan dengan lantai. Aku melangkahi tubuhnya secara perlahan, hingga ia berada di antara kaki kiri dan kananku.

Sebelum ingatan masa lalu itu memenuhi benak, aku harus segera menghabisinya. Tangan ini mengangkat tinggi-tinggi senjata tajam bergagang kayu, lalu mengayunkan menuju perut target. Seketika itu, ia meringkuk kesakitan dan mengeluarkan sedikit suara, terbangun dengan mata melotot dan wajah terheran-heran. Hanya terdengar suara “high”, mungkin rasa sakit dan terkejut membuat ia tak sanggup berteriak. Matanya mendelik menatapku heran. Bibir target bergerak-gerak tanpa mengeluarkan satu kata pun. Kedua tangannya memegang besi bagian pangkal kusurigama.

Kuputar-putar kusurigama agar mudah mencabutnya. Kukorek-korek isi perut target. Kaus yang dikenakan pria ini semakin terkoyak lebar. Awalnya hanya berwarna putih, kini bercampur merah. Tangan target mencengkeram senjata mematikan ini, berusaha menghentikan gerakanku yang memutar kusurigama ke kiri dan kanan. Tenagaku tentu lebih kuat melawan cengkeramannya yang lemah. Darah yang muncrat sedari tadi, sudah melumuri pakaian serba hitam ninjaku. Selain itu, cairan kental berwarna merah juga berceceran di futon dan lantai.

Suasana kesunyian pecah karena berbagai suara dari tubuh target. Ia mencoba melawan dengan gerakan tubuh tak beraturan, meronta-ronta tidak jelas. Kakinya mencoba menendang-nendang punggung ini. Spontan aku menduduki pahanya hingga ia sulit bergerak. Namun, tetap saja ia meronta, berusaha menjatuhkanku.

Pria yang sudah lama ingin kubunuh ini berteriak kencang, memanggil seseorang yang entah siapa. Bandul kusurigama kuhantamkan pada wajahnya, hingga ia berhenti meronta dan berteriak.

Walau di ruangan ini hanya punya penerangan remang-remang, darah yang berserak dapat terlihat jelas. Semakin lama semakin banyak. Merah kental dengan bau anyir yang memenuhi rongga hidung. Selain itu juga terasa besi berkarat di lidah ketika darah muncrat ke penutup wajah, dan kucoba untuk menjilat.

Jantungku berdetak cukup cepat, mungkin karena belum terbiasa membunuh. Melihat luka yang ternganga di perut target, ternyata cukup terasa mengerikan. Aku belum berhasil menurunkan empati sepenuhnya, masih ada pikiran yang melintas untuk menghentikan ini semua. Namun, dendam jauh lebih kuat dan mengalahkan semuanya.

Napasku pun ikut tersengal-sengal. Padahal, gerakanku tidak terlalu banyak. Jantung yang terlalu cepat memompa darah harus diperlambat. Boleh jadi, jantungku berdetak cepat seperti ini karena sedang cemas. Tadi sempat berpikir, bagaimana jika seseorang datang ke sini? Aku belum siap bertarung. Bahkan aku tidak membawa senjata lempar seperti shuriken dan kunai.

Pria yang telah sekarat ini mengempaskan kepalanya kembali ke bantal, dengan napas tersengal-sengal. Ia mencoba berkata-kata, tapi aku memilih untuk tidak mendengar. Selain karena suaranya yang tidak jelas, aku juga ingin menghemat waktu.

Aku mencoba menarik napas dalam, kemudian mengeluarkannya perlahan guna mengurangi kecepatan detak jantung. Cukup tiga kali mengulang hal yang sama, aku sudah lebih rileks.

Setelah kusurigama berhasil tercabut, aku mengangkatnya tinggi-tinggi. Pikiran ini mencoba mengingat-ingat masa kelam itu, saat mereka memotong buah dada orang yang melahirkanku. Tangan ini bergerak cepat ingin menuntaskan dendam, membayar tunai atas tindakan mereka di masa lalu.

Senjata yang rantainya sudah kulilitkan ke mulut dan melingkari wajah target, kembali berayun. Bagian paling tajam dari senjata ini, menghantam dada hingga menancap cukup dalam. Darah pun kembali muncrat. Suara hantaman itu seperti orang yang sedang menebang kayu dengan kapak. Ujung kusurigama masuk semakin dalam ketika kutekan pangkalnya sekuat tenaga. Hampir seluruh besi masuk ke tubuh pria yang seketika itu memuntahkan darah.

Wajah tentara ini semakin tampak menyedihkan. Ia menatap ke samping, entah berharap pada siapa. Ada tanda luka bekas besutan pedang di pipinya. Aku semakin yakin, ialah targetku. Ia mencoba meronta, mengentak-entakkan kepala. Sementara itu, aku membiarkannya seperti itu untuk beberapa saat.

Aku mencoba memindai sekitar ruangan. Telinga ini mencoba fokus mendengar suara sekitar, apakah ada hal yang membahayakan atau tidak. Setelah memastikan aman, aku kembali menatap pria yang sebagian tubuhnya dipenuhi darah.

Kulihat target sudah tidak bergerak. Namun, aku masih belum puas. Kuputar-putar kusurigama, menggoyang-goyangkannya. Kali ini cukup sulit mencabutnya. Serupa kapak yang lengket pada kayu. Setelah aku tarik dengan kuat, akhirnya bisa tercabut juga. Tampak tulang di antara daging merah.

Kuangkat kembali kusurigama, mengayunkannya tak terlalu kuat, lalu ujung paling tajam senjata ini jatuh tepat pada bagian mata. Kutarik kembali, dan satu bola mata melekat di sana. Tangan ini melakukan hal sama pada sisi lainnya, sehingga kusurigama telah mengambil dua bola mata. Kedua benda bulat hitam putih yang memerah itu berdempet pada besi senjata khas ninja ini. Entah apa yang ada dalam pikiran sekarang? Aku seperti menjadi orang lain. Apakah begini menjadi ninja tanpa empati yang disebutkan Ojichan? Lebih buas dari binatang.

Setelah mencoba kembali berpikir normal, kubereskan sisa-sisa pekerjaan. Mayat tanpa mata dan dada yang bolong, kulempar ke belakang rumah. Besok pagi burung gagak akan datang memakan bangkai manusia ini hingga tak ada daging yang tersisa. Mungkin hanya tinggal tengkorak dan tulang belulang.

Tunggu! Ini bukan cara yang tepat untuk melenyapkan mayat. Burung gagak yang datang berduyun-duyun akan mencuri perhatian warga sekitar.

Ada hutan tak jauh dari sini. Sebaiknya aku memotong mayat ini menjadi beberapa bagian, lalu membawanya dengan karung ke sana. Burung gagak yang datang ke hutan, tak akan mendapat perhatian karena warga pasti mengira ini hanya bangkai hewan.

Jugun Ianfu no Kunoichi (21+) (Full Version) (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang