Prolog

177 3 0
                                    

Prolog

“Ryato,” panggilku hendak memberi peringatan.

Ryato menggesek pedang melintasi leher shinobi  yang hanya bisa terdiam batu. Lalu, Ryato mengunci kuat pergerakan shinobi itu dan menggorok kerongkongan dengan pedang. Darah muncrat mengenai wajahku, kemudian mengalir deras mengenai perutku. Kini, aku bermandikan darah. Shinobi itu seketika roboh, menyisakan pria yang memiliki tatapan tajam.

“Ryato-san.”

Aku memanggil sekali lagi. Kali ini dengan gelar kehormatan. Akhirnya, ia menatapku. Hanya sebentar, ia kembali menyibukkan diri dengan ninja yang baru saja ia bunuh. Ia merogoh kantong pria yang telah mampus, mengambil sesuatu dari sana dan mengamati sebuah benda yang berbentuk pipa kecil. Juga ada jarum yang terbungkus dalam kain. Kemudian, ia mendekatkan jarum itu ke hidungnya. Mengendus dan seketika itu tertegun.

“Ryato-san, aku menyayangimu,” ucapku lirih.

Ia mengambil sepotong kain dari kantong baju ninja bagian dalam. Menyumpal mulutku, kemudian menginjak tangan kiri. Sementara itu, tangan kananku sudah mati rasa. Ia menghunus pedang dari punggung, mengayunkannya dan menebas lengan kanan ini. Sekali tebas, terlepas sudah lengan dari badan. Ia melempar jauh-jauh potongan lengan itu. Aku berteriak kesakitan, tapi hanya menjadi suara kecil karena kain sudah tersumpal di ujung mulut.

Kakiku menggeliat, menendang punggung Ryato dengan lemah karena sudah kehilangan banyak darah. Aku tak mengerti apa yang sedang ia lakukan? Kenapa ia memotong lenganku? Begitu banyak darah yang keluar. Jika begini, aku bisa mati.

Ia mengambil sebuah wadah berbentuk botol pipih kecil dari balik seragam hitam khas shinobi miliknya, lalu menyiram lengan kananku yang terluka. Rongga hidungku dipenuhi aroma kimia. Seingatku cairan ini biasa digunakan para ninja untuk membakar. Apa ia hendak membakarku?

“Ryato-san?” Aku memanggil ragu. Tak mungkin Ryato membunuhku. Mungkin saja ini bukan Ryato. Namun, seluruh fisiknya serupa. Aku masih hafal dengan jelas tatapan tajamnya. Bahkan pernah, jarak tatap kami hanya beberapa senti dari mataku, terganjal oleh hidung. Tak ingatkah ia pernah mencumbuku?

Ia tak mengindahkan panggilanku, masih tetap bungkam dengan kesibukannya menyalakan api. Lalu, ia melempar begitu saja api itu hingga membakar sisa lengan yang tersisa. Panas semakin lama semakin terasa membunuh sel-sel tubuh. Aku menggeliat tak keruan.

“Aaagh … panas … panas. Hentikan, Ryato! Hentikaaan!” Aku berteriak sambil meronta. Panas semakin lama semakin terasa. Ryato hanya berdiri sambil menatapku dingin.

Jugun Ianfu no Kunoichi (21+) (Full Version) (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang