Lisa POV
Aku mengikat tali sepatu, memastikan ikatan itu kuat lalu berjalan lagi menuju sekolah. Hanya ingin memberitahukan bahwa semenjak ayahku masuk sel tahanan, aku sudah tidak lagi dekat dengan sesosok ibu. Kami berdua serumah namun seperti orang asing.
Hanya ayah yang dulunya begitu pengertian dan selalu melindungiku dari apapun. Kehilangannya ketika ia masuk sel tahanan tidak ada sedikitpun membuatku sedih. Walaupun aku menyayanginya, tapi ayah memang pantas berada di sana.
Sesampainya di sekolah, aku langsung menghembuskan nafas, karena aku telat lagi.
Pak parfan dengan tatapan tajamnya menatapku dan menghampiriku, sedangkan aku hanya berani menunduk.
"Kerjakan hukuman kamu, kali ini bapa tambah dengan membersihkan kelasmu sendiri."
Seperti sudah menjadi kebiasaan, beliau bahkan hafal dengan semua hukumanku. Aku sebenarnya juga memang sering terlambat. Bukan karena aku kesiangan, tapi memang sengaja. Berlama-lama di kelas atau menjadi anak teladan yang datang ke sekolah lebih awal tidak akan merubah fakta apa-apa, aku tetaplah hanya seorang hama di mata mereka.
Setelahnya aku mengangguk, beliau berlalu pergi tanpa mengatakan apa-apa ataupun menanyakan kenapa alasanku.
Aku memasuki kelas, untungnya belum ada guru mata pelajaran jam pertama yang masuk.
Awalnya kelas terdengar berisik oleh suara-suara tawa mereka yang saling bersahutan. Tapi ketika aku melangkahkan kaki masuk ke dalam sana, mereka semua lantas menatapku dan berdecak. Kehadiranku sudah pasti tidak pernah mereka harapkan di kelas ini.
Tanpa memperdulikan ketidaksukaan mereka, aku mengambil sapu yang ada di sudut belakang. Menaruh tas sebentar dan mulai membersihkan lantai kelas.
"Lo tuh mending ga usah turun."
"Tau, seneng banget kena hukum."
"Boleh ga sih ganti kelas aja? atau lo kek yang pindah."
"Mana ada kelas yang mau nampung dia, kelas kita doang."
"Hadeh, nyapu dah lo yang bersih."
"Lumayan ga jadi piket, padahal gue belum nyapu."
Aku hanya mendengarkannya, sambil terus menyapu sampai guru memasuki kelas kami. Serentak kami memberi salam dan guru itu sedikitpun juga tidak ada menghiraukan apa yang sedang aku lakukan.
Mungkin Pak Farhan sudah memberitahukannya.
Beberapa menit berlalu, aku merasakan ada seseorang yang sedang melirikku. Aku kemudian menatapnya sekilas, dan benar saja. Jennie melempar senyum, ia sudah melirikku sejak tadi. Entah apa yang sedang gadis itu pikirkan tentangku, sehingga ia begitu betah terus menatapku.
Jennie lalu sengaja membuang kertas usang pada arah aku menyapu. Tidak ada yang memperhatikan kami karena posisi kami sama-sama paling belakang.
Aku rasa Jennie ingin menjahiliku, tapi aku tidak perduli. Aku hanya ingin melaksanakan hukuman ini agar cepat-cepat selesai.
Setelahnya aku berpamitan ingin ke toilet, tapi guru itu seolah tuli. Ia tidak ada sedikit saja melirik atau mendengarkan suaraku, ia terus fokus menulis rumus pada papan tulis. Akhirnya aku pergi tanpa menunggu jawabannya atau hanya sebuah anggukan darinya.
Aku mengepel lantai toilet perempuan yang tidak terlalu kotor karena ini masih pagi. Mengisi air yang kosong pada setiap bilik toilet, dan mengelap cermin yang biasa mereka pakai. Aku bahkan sudah hafal dengan apa saja yang harus aku lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALOPSIA - JENLISA ✔
Narrativa generale❝ Jennie itu sebenernya cuma makhluk ghaib. ❞