Merasa Bersalah

89 19 1
                                    

💕💕💕

"Jadilah cewek mandiri. Mandiri dalam hal mencari jodoh. Soalnya, kadang kala mak comblang itu suka incer cowok yang dicomblangin sama kita"

-Hanin, author jomlo-

***

Aku berdiri di dekat pintu utama sambil bersedekap dengan tatapan tak suka ke arah si Jengkol. Gemuruh di dada entah mengapa makin membuncah, jika bertemu dengan sosok yang katanya bakal dicalonkan denganku.

Aaah! Kenapa, sih, harus ada dicalonin segala? Aku bisa, kok, nyari calon suami sendiri, tapi nanti jika waktunya tiba. Untuk saat ini, aku lagi menikmati hobi menulis hingga menjelma menjadi sebuah novel cantik. Novel yang kerap dicari para readers yang menyukai tulisanku.

Lagian, kalau dilihat-lihat dari kaca mata penerawanganku, si Jengkolers sepertinya tak pantas memperistri seorang Hanin Adika BINTANG eh, Gemintang, yang usianya enam tahun lebih tua. Aku juga tahu diri, seharusnya dia mendapatkan perempuan yang seusianya.

Huft! Menghela napas yang hadirkan rasa kesal, kembali aku menatap Nenek yang terlihat hendak mewawancarai cucunya. Siap-siap aja kuping mendengarkan kultum beliau.

"Kenapa Juna kamu tendang?" Suara Nenek Qori pun terdengar.

"Dia yang salah, Nek," ujarku dengan membuang pandangan ke arah lain.

"Kenapa saya yang salah?" Si kodok nyela.

"Lu yang salah! Ngatain gue perawan tua." Aku mendelik penuh amarah ke arah jengkolers yang duduk di sebelah Tante Fatma.

"Lah, emang kamu perawan tua," jawabnya tanpa merasa bersalah.

Haissh! Coba Nenek juga Tante Fatma nggak ada di sini, habis kau brondong jengkol!

"Eh, juragan jengkol. Usia gue baru dua sembilan, blom empat puluh, woy! Artis-artis di luar sono, pada nikah di atas tiga puluhan. Malah ada yang empat puluh tahun. Lu aja yang kegatelan mau nikah sama gue. Ih, amit-amit nikah sama bocah yang bokongnya masih ijo," sambarku dengan mengacungkan jari tengah ke arah cowok sok ganteng itu.

Si jambu monyet seketika bungkam dengan style kekepin anunya, eh, sel*ngk*ngannya.

"Hust! Kalau ngomong jangan kelewatan, Hanin. Yang sopan kalau ngomong sama cowok. Kalau malaikat lewat trus ternyata ntar dia jodoh kamu, gimana?" tegur Nenek dengan tatapan horor.

"Ogah! Ogah sama brondong. Mulutnya bawel mirip ikan arwana di sungai Amazon!" Aku misuh-misuh tak cantik sekarang.

"Dih, nggak kebalik? Kamu yang bawel tuh, jadi cewek itu yang anggun. Bicara jangan ngegas, saya nggak budeg kali."

"Mau anumu kupatahin?" bentakku tak terima.

"Nenekkk, ini cewek apa preman, sih? Juna jadi takut kalau beneran nikah sama dia. Juna pulang, ah." Si Juna bangkit dengan susah payah lantas melangkah mirip monyet yang lagi jalan di catwalk.

Tahu parodi topeng monyet? Nah, begitu gayanya. Hahahaha. Ingin tertawa, tapi kasihan, akhirnya aku hanya melirik sinis kepergiannya. Hanya Nenek juga Tante Fatma yang bergegas mengejar bocah itu.

"Hahahaha. Abang Juna mirip topeng monyet di pasar kalau jalannya seperti itu. Hahaha ... lucu banget."

Denger? Itu suara Widuri yang muncul dari arah ruang tengah. Tante Fatma menegur dengan pelototan mata yang membungkam suara tawa putrinya. Otomatis Widuri memasang senyum simpul ikat pita.

"Juna, maafin Hanin, ya."

Samar-samar, aku dengar suara Nenek yang meminta maaf. Mau tak mau, aku jadi iba sendiri mendengarnya. Merasa bersalah karena telah membuat cowok itu kesakitan.

Kesandung Cinta Juragan Jengkol (Kecantol) Siap TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang