💕💕💕
Angkot yang aku tumpangi, berhenti di depan pagar, di mana rumah Nenek Qori berada. Bergegas turun dengan koper yang lumayan berat, aku segera membayar ongkos angkot. Kepulan asap dari kendaraan yang melanjutkan perjalanannya, meninggalkan aku yang berdiri dengan ransel di punggung.
Pandangan mengarah ke halaman yang luas, suasana terlihat lengang meski dari arah dapur, terlihat asap mengepul. Jelang magrib begini, jelas Nenek sedang berjibaku dengan masakan untuk makan malam.
Meskipun usia Nenek Qori memasuki angka tujuh puluh, beliau masih kuat mengerjakan pekerjaan rumah. Bahkan, beliau masih sering ke sawah memeriksa warisan almarhum kakek. Mencoba menepis rasa kesal yang mengayut di dada, koper segera kuseret penuh perjuangan melewati halaman yang berumput halus. Sesekali melirik rimbun pohon buah hasil tangan kakek.
"Mamaaa ... ada tamu jauh. Hanin udah datang."
Aku berjengit seraya menatap ke arah jendela yang berada di sisi kanan. Tampak seorang wanita sepantaran Mamaku, hendak menutup jendela. Itu Bibi Fatma. Adik bungsu Mama yang statusnya janda anak satu.
"Hanin? Allahu akbar ... akhirnya calon pengantin datang."
GUBRAK!
"Apa? Calon pengantin? Kapan gue bilang mau nikah sama si jengkol?" Aku menjawab penuh rasa kaget oleh suara sepuh dari dalam rumah, meski tak melihat siapa orangnya.
Itu jelas suara Nenek Qori, orang tua Mama satu-satunya yang sangat selektif mencari jodoh buat anak juga cucunya. Bibi Fatma, kan, janda. Mengapa bukan dia aja sih, yang dijodohin dengan si jengkolers? Aku dibuat kesal jadinya.
"Hanin, cucu Nenek."
Sosok Nenek muncul dengan senyum lebar. Menyambut cucu pertamanya penuh haru. Sementara aku justru memasang raut cemberut Masih terbayang pertemuan dengan cowok aneh berbau jengkol di pangkalan ojek tadi.
Huft! Lelah hati Hanin kalau gini.
"Mbak Hanin." Suara lain terdengar. Bibi Fatma muncul diiringi putri satu-satunya yang usianya sepantaran Rukli.
Aarrgh! Gemuruh di dada kian membuncah. Tak terima jika aku dijodohin dengan cowok aneh sementara ada Widuri yang juga cucu Nenek yang belum menikah.
"Assalamualaikum, Nek." Bukannya ngomel, aku justru bergegas menghampiri Nenek lantas mencium punggung tangan beliau dengan hormat.
Kata Mama Hesti, meskipun hati sedang marah, aku tak boleh kurang sopan pada yang lebih tua. Apalagi sama Nenek Qori yang sangat menyayangi kami semenjak bapak pergi dengan wanita lain.
"Mama hanya bisa membekali kamu dengan ilmu agama dan etika meski hanya sedikit. Cukup hormati orang tua maka hidupmu akan lebih berharga, Hanin, Rukli." Masih tergiang nasihat beliau yang kerap dikatakannya padaku juga Rukli.
"Wa'alaikumsalam. Ih, anak perawan Hesti tambah cantik aja. Banyak duit sampai lupa ntar lagi jadi perawan tua kalau belum nikah."
Ambyar! Ini ransel boleh nggak diserudukin ke wajah Nenek? Nggak dosa, kan?
Huaahh! Panas, panas, air kulkas, manaaa?
"Ma, Hanin baru nyampe, mosok dikasih kata-kata pedes? Wi, ajak Mbakmu ke dalam. Mama mau ambil jengkol dulu di rumah Haji Anis. Katanya, Juna udah siapin jengkol muda buat tamu kita malam ini."
Jambu monyet! Si Arjuna ternyata main belakang buat ngambil perhatian keluargaku rupanya! Tunggu aja kalau Hanin si author romcom beraksi! Habis kau jadi tokoh teraniaya di novelku yang terbaru, cowok jengkolers!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesandung Cinta Juragan Jengkol (Kecantol) Siap Terbit
General FictionBlurb : Hanin Adika Gemintang, selalu berharap jika suatu hari bertemu dengan jodohnya itu, seperti kisah romantis yang ia buat di novel-novel hasil karyanya. Hingga suatu hari, sang mama memintanya ke kampung untuk bertemu pria yang hendak dikenal...