Siapa Annisa

67 15 1
                                    

💕💕💕

"Positif thinking akan membawamu pada situasi yang sesuai dengan ekspektasimu pun sebaliknya jika kau berpikiran negatif. Jadi, biasakan melihat sesuatu dari sudut pandang positif."

Quotes by Arjuna Angkasa - Juragan Jengkol

___________



Aura permusuhan seketika menguar di antara aku juga si jengkolers. Widuri yang menarik lenganku agar mengabaikan cowok itu, tidak kuhiraukan. Bukan apa-apa, ucapannya yang mengatakan aku perawan tua sukses membuat semua orang yang ada di sekitar kami menoleh.

Bisa jadi racun alias toxic, kalau terus dibiarkan! Malu? Pasti. Marah? Tidak! Tidak salah lagi maksudnya.

"Udah, Mbak. Diliatin sama orang-orang itu."

Sekali Widuri menarik lenganku. Namun, aku justru menepis pelan tangan Widuri sembari melangkah ke arah Juna.

"Mau apa kalian?" Refleks si Annisa menghadang di antara kami berdua.

Yang membuat aku enek itu adalah, Annisa berdiri di depan Juna dengan gaya sok pahlawan. Memutar bola mata malas, buku tanganku mengetat. Seolah siap melayangkan tinju ke arah cowok yang masih juga menatapku tak berkedip itu.

Sebenarnya aku juga risih jadi bahan tontonan orang-orang. Jika saja ini bukan di kampung, mungkin sejak tadi aku merangsek ke depan lantas menuntaskan misi kekesalanku. Ah, sayang! Ini di kampung Mama. Apalagi di rumah Pak Kades yang notabene, rumah orang yang dihormati di sini.

Setidaknya aku punya etika hasil didikan Mama, sehingga tidak membuat malu nama keluarga Nenek juga almarhum Kakek.

Setelah memikirkan dampak jika aku bereaksi lebih, kuputuskan untuk mengalah. Membiarkan cowok itu mendapat pembelaan dari anak Pak Kades  yang sepertinya ada sesuatu dengan si Juna.

Annisa lantas mendorong Juna agar tidak berhadapan denganku. Orang-orang yang memerhatikam kami pun membubarkan diri. Meski terdengar juga bisik-bisik yang membuat tanduk devilku kembali mencuat.

"Mbak, ayok, kita pulang aja. Nan---"

"Biarin aja di sini, Wid. Kamu bisa ke sini lagi kalau si Rio nggak lama."

Aku melirik pemilik suara yang menjawab. Siapa lagi jika bukan si Juna yang sok perhatian. Mana mau aku ditinggal sendiri di sini.

"Bang, tapi Mbak Hanin ..."

"Iya, nggak papa di sini. Dia bisa antar undangan bareng Bang Juna. Ayo, sekalian ganti baju. Bisa pakai baju muslim, kan?" Annisa ikut menyela.

Posisiku jelas tidak aman sekarang. Apa tadi yang Annisa katakan? Antar undangan sama pakai baju muslim?

Makjan! Bisa-bisa bajunya aku singsing terus, nih.

Widuri menoleh padaku. Bertanya melalui tatapan mata yang tampak tak nyaman. Huft! Nyesel bener, dah, datang di sini.

"Mending gue pulang aja kalau pake baju muslim," pungkasku akhirnya. Ngapain juga maksain diri bantuin orang sementara aku tersiksa? Yekan?

"Kamu nggak mau bareng saya atau gimana? Masa hanya karena masalah saya ngatain kamu perawan tua trus ngambek. Jangan seperti anak kecil, Hanin," imbuhnya. Yah. Imbuh si jengkolers bin jambu monyet.

Glek. Rasanya wajahku bagai disiram air cuka yang kedua kalinya, oleh ucapan bocah gondrong ini. Benar-benar memancing emosi jika aku terus berdekatan dengannya.

Apa ini tanda-tanda berjodoh? Mirip Tom and Jerry kalau bertemu? Ntar kalau jadi suami, mirip Rangga ama Cinta, gitu? Atau mirip, Dilan ama Milea? Asal jangan mirip Jin dan Jun.

"Gimana, Mbak?" Widuri melirih di sebelahku.

"Oke. Gue di sini. Kamu balik aja, Widuri. Ingat, lo yang nyetir." Aku menunjuk Juna dengan nada dingin. Berharap semua yang sedang kutahan, tidak pecah di sini.

Sabar, Han. Valentino Rossi udah pensiun, Ronaldo bakal dapat anak kembar. Lo juga kudu siap mental. Kalau si Juna berulah, hajar aja biar jadi dessert, ntar.

"Wokeh. Yuk, saya anter pulang, Wid. Eh, Nis ... dandanin, nih, cewek. Biar para undangan pada dateng kalau liat yang anter undangan juga cantik," pungkas Juna sebelum menyeret tangan Widuri yang pasrah.

Tampak raut wajah Annisa tak suka saat Juna berkata demikian. Semua tak luput dari tatapan author Hanin yang jeli. Hmm, sepertinya bakal ada ide baru buat jadi referensi tulisanku, jika melihat situasinya.

"Ayok, Mbak. Ikuti saya," ajak Annisa tak lama setelah dua makhluk tadi pergi.

Tanpa kata, aku mengekor di belakang putri Pak Kades yang dandanannya lumayan modis. Semua yang dikenakannya tampak branded, mulai dari baju, celana, jam tangan juga kuku-kukunya yang terawat.

"Cantik ya, anaknya Hesti. Walaupun nggak make up, tapi manis. Kalau Annisa ... tanpa make up, pucet."

Degh. Kupingku memang selalu sensitif jika ada suara-suara ghibah.

"Hust! Ntar didengar Mbak Annisa bisa kena omelan kamu."

Hmm, benar prediksiku. Ada sesuatu antara Annisa juga si Bocah Jengkol di sini.

***

Baju muslim yang kukenakan, beruntung ngepas di badan dan tidak membuatku kegerahan. Dengan make up flawless, akhirnya aku bernapas lega dengan hasil make up seorang cewek di kamar Annisa.

Si Juna seperti terkejut saat melihatku keluar dari rumah dan menghampirinya. Cowok gondrong dengan alis tebal itu berdehem, agar aku tidak mengetahui keterkejutannya itu. Aku memilih diam saja saat dia mengajak kami segera berangkat.

Diiringi teriakan para ibu-ibu yang  ada di samping rumah, aku bergegas naik ke mobil Juna. Hingga perjalanan sepuluh menit berlalu, tak ada suara yang terdengar. Aku memilih mengalihkan pandangan ke luar jendela. Hamparan padi yang menghijau di kiri-kanan jalan, membuatku refleks mengeluarkan ponsel lantas merekamnya.

Sesekali kamera ponsel kualihkan ke kanan, merekam tangannya yang sedang mengemudi. Langit benar-benar cerah tanpa ada awan putih. Hmm, semesta merestui perjalanan kami, sepertinya.

Setelah merekam beberapa menit, aku lantas mengirim rekaman itu ke aku. pribadiku. Biar Niara dan Farlan melihatnya. Mereka berdua adalah sahabatku.

"Sepertinya, kamu sama saya itu berjodoh."

"Dih, ngarep!"

"Buktinya, aku yang jadi kemudi, kamu yang jadi penumpang."

"Gue turun, nih."

"Ngancem aja tross. Sekalian teriak biar semua denger, kalau Arjuna lagi maksa calonnya buat kawin lari."

"Wooy! Cukup konten kreator yang drama, lo nggak perlu nambahin otak gue buat mikir lo ada niat nyari sensasi ketimbang ikhlas nikahi gue!"

"Bah. Kamu itu mirip dinosaurus kalau teriak deh. Gigi ama kawan-kawannya udah kayak make kaca pembesar saya liat."

"Tonjok nih barang lo?"

"Nyerah dah."

Aku dibuat emosi oleh bocah ini. Belum juga beberapa jam gencatan senjata selesai, eh, bikin ulah lagi. Maunya apa sih?

"Itu Annisa. Anaknya Pak Kades," imbuhnya sejurus kemudian.

Menoleh, keningku mengerenyit tak mengerti. "Ngomong apa lo?"

Juna menghela napas. "Cewek tadi. Yang ngebela saya," jelasnya.

"Hubungannya dengan gue, apa?" Aku kembali memutas bola mata tanda tak mengerti.

Perlu disembur sepertinya nih, anak.

"Dia udah lama suka sama saya. Sejak saya SMU. Bahkan, usianya itu lebih dari kamu."

Edi Sud, Rahmat Kartolo, maksud lo?

"Intinya?"

"Jangan cemburu. Saya masih pengin kenal kamu untuk lanjutin rencana melamar kamu, Mbak Hanin," imbuhnya tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan di depan sana.

Boleh bengek, nggak, sih? Kenapa si bocah malah ngomong sok baperin hati anak perawan Mama Hesti?

Mama Hestiii ... anakmu terbaper stadium akhir.

***

Kesandung Cinta Juragan Jengkol (Kecantol) Siap TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang