Jay, ILY [34]

3K 531 35
                                    

Minta doanya ya, mudah-mudahan Jay selesai sebelum akhir tahun. Sudah mendekati konflik, banyakin minum air putih sebelum baca ya.

Happy reading, Love

Aku pernah sekali merasa jika hidup selalu memiliki pilihan. Setidaknya pilihan untuk bahagia atau tidak.
Aku selalu merasa bahwa tidak mungkin ada jalan yang benar-benar buntu. Setidaknya akan ada jalan yang meski kecil tapi mampu membawa kita keluar dari keadaan yang gelap.

Sedari kecil aku selalu menepuk punggungku sendiri agar kuat. Tidak mudah menangis karena Papa tidak suka anak yang cengeng.

Didikan Papa cukup keras dari dulu. Aku memiliki jadwal padat di sekolah dan les setelah itu. Terkadang aku merasa sangat tertekan tapi tak jarang semua itu kumanfaatkan karena bisa keluar sebentar dari rumah.

Tiap kali aku minta ijin keluar, tidak akan pernah diberikan ijin kecuali alasannya organisasi, les atau kegiatan ekstrakulikuler. Sudah segila itu, aku dituntut mendapat nilai sempurna. Kalau berhasil nggak pernah di apresiasi tapi kalau gagal dimaki-maki.

Tapi, ya, mau gimana lagi? Ngeluh?
Aku malu, malu sama orang-orang yang bahkan kesusahan buat sekolah dan orang yang tak seberuntung aku perihal materi. Meski terkadang aku juga iri tiap kali melihat orang yang hidupnya sederhana tapi keluarganya bahagia.

Atau, sebenarnya yang nggak bahagia di rumah itu cuma aku, ya?

Entahlah, kadang kita tidak bisa paham dengan keadaan orang lain sampai kita diletakan pada sudut pandang orang tersebut.

Karena sudah terbiasanya memberi kekuatan diri sendiri, akhirnya tumbuhlah aku menjadi sosok yang seperti sekarang, keras kepala.

Kalau diberikan pilihan lain, rasanya aku pengin akan banyak hari seperti ini di masa depan nanti. Hari di mana aku bisa keluar dari Jakarta meski hanya untuk beberapa hari saja.

"Ada yang ketinggalan nggak?"

Aku menggeleng setelah selesai menutup tas ku. Tidak banyak hanya membawa beberapa baju ganti, peralatan mandi dan notebook untuk laporan.

"Bawa jaket yang banyak," ucap Bang Jaya mengingatkan, "mantel ada?"

"Dibawain kok dari TV delapan."

"Vitamin dan obat demam ada di sini, langsung minum begitu badan kamu kerasa nggak enak di sana."

Begini amat punya pacar dokter. Aku yakin, kantong obat yang dia sisipkan di tas bagian depanku itu lebih dari lima macam, belum lagi minyak angin.

"Kalau diajak ngomong itu jawab, jangan cuma ngangguk gitu!" tegurnya ketika aku tak memberinya jawaban.

"Iya Pak dokter," sahutku gemas. "Obatku kan Abang, kalau lagi nggak sehat berarti Abang penyebabnya dan Abang juga obatnya."

Sekarang dia malah gantian diam. Hanya melirik ku sekilas kemudian mengendong tasku di punggungnya.

"Kili diijik ngiming tih jiwib," ucapku menirukannya, "sendirinya juga gitu. Digombalin bukannya salting malah kayak orang____"

Mataku langsung mengerjab begitu dia membungkam mulutku dengan tangannya. "Kamu nanti telat kalau banyak omong, kru lainnya udah nunggu di bawah."

Setelah mengatakan itu, dia membetulkan letak ranselku dan tangannya menarik ku keluar unit.

Hari ini aku akan berangkat ke Jawa Timur untuk liputan bencana banjir di sana. Curah hujan yang tinggi tiga hari ini membuat beberapa tempat di sana mengalami banjir. Setidaknya ada tiga tim yang turun langsung ke lapangan termasuk aku.

Jay, I Love You [ TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang