Pukul sepuluh malam, kami sudah selesai melakukan editing. Setelah ngobrol dengan Bang Kaisar dan aku selesai merangkum laporan, kami kemudian berpisah. Mobil kru tadinya menawarkan untuk mengantarku pulang. Tapi, kata Mama hari ini aku akan di jemput supir.
Sayangnya yang dimaksud Mama bukan supir pribadi keluarga kami, tapi lelaki yang cukup ku hindari belakangan ini.
Namanya Galih Anggara.
Lelaki dengan balutan kemeja warna kuning dan kaos putih di dalamnya itu nampak bersandar pada body mobilnya. Tak lupa, kaca mata hitam yang aku yakin dia pakai supaya terlihat keren karena menurutku sama sekali tak berguna digunakan ketika malam hari gini.
"Hi!" sapanya begitu langkahku sudah mendekat.
Baiklah, drama kehidupan sudah akan ku mulai kembali.
"Nggak bilang mau pulang, tadinya aku jemput."
"Emang kamu ke sini buat nyabutin rumput?" tanyaku galak. "Pasti disuruh Papa kan?"
Dia ketawa, kalau kata perempuan lain dia punya tawa yang bagus dengan anak gigi lucu. Bagiku dia lebih nyeremin dari pada setan Indonesia paling serem__pocong__
"Maksudku balik ke Jakarta, baby."
"Shut up! Aku bukan anak bayi. Berhenti panggil gitu!"
Dia memang sinting, sudah tahu aku marah tapi bisa-bisanya tertawa. Mungkin ngerasa hidupnya paling happy?
"Oke, karena ini pertemuan pertama kita sejak beberapa bulan terakhir. Aku nggak mau debat, ayo naik mobil sekarang."
Begitu dia membukakan pintu untuk ku, aku kemudian masuk ke dalam.
Ya Tuhan, dua minggu kedepan pasti berat. Hari-hariku di lapangan capek, nggak ketemu Abang malah ketemu manusia menyebalkan ini. Belum lagi nanti di rumah!
Arrrghh!
"Kenapa?" tanya Galih dan ku jawab dengan gelengan kepala.
Sepanjang perjalanan aku memilih diam. Meski Galih banyak bicara, aku memilih menanggapinya dengan gelengan dan anggukan sebisaku. Baru ketika menyingung soal kerjaanku, aku terpancing buat bicara.
"Memang kenapa kalau jadi wartawan? Masalah?" tanyaku kesal. Karena sedari tadi dia sibuk mengomentari kerjaanku.
"Kamu cewek Al. Kerja jadi wartawan terlalu keras, belum lagi di lapangan kehujanan, kepanasan. Mending jadi news anchor di studio."
"Memang jadi news anchor nggak pakai proses di lapangan?"
Sekilas dia noleh ke arahku dengan senyuman miringnya. Selalu begitu kalau aku marah.
"Kalau udah nikah nanti kamu di rumah aja. Nggak perlu kerja panas-panasan, lagian__"
Gigiku rasanya menggeretak hingga sakit. "Lagian siapa juga yang mau juga jadi istrimu?"
Setelah mengatakan itu, aku melepas seatbelt dan menutup mobilnya dengan sangat kencang.
Mimpi apa aku? Hari pertama pulang sudah dibuat muak begini.
"Al?"
Langkahku terhenti di ruang tamu, mendengar siapa yang memanggilku rasanya napasku langsung tertahan.
"Kamu sama Galih?"
Aku mengangguk, tanpa mau menoleh.
"Duduk, Papa mau bicara." titah Papa kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jay, I Love You [ TERBIT ]
Literatura KobiecaNOTE: Part sudah tidak lengkap. Setelah mengalami patah hati yang begitu dalam, Gani Brawijaya bersumpah tidak akan menikah seumur hidupnya. Bertahun-tahun dia memperjuangkan perasaannya, tapi harus kalah karena perempuan yang dicintainya justru men...