Apa yang Ada di Masa Lalu? (2)

26 5 9
                                    

Nama Penulis: Roti Bakar
Jumlah Kata: 546




Menatap ke luar jendela, hujan turun dengan derasnya. Membuat memoriku tiba-tiba saja terputar pada masa itu. Masa saat aku tidak tahu apakah aku salah, dia salah, atau takdir begitu kejam?

Aku menutup mata. Suara hujan membuat potongan-potongan memori kembali berkelana di kepalaku. Dimulai dari saat kami berkenalan, muncul rasa, hingga saat aku melihat dengan kepalaku sendiri dia berselingkuh dengan yang lain. 

Kecewa. Marah. Merasa dikhianati. Aku dibuang begitu saja layaknya sampah. Seseorang yang dulu begitu aku cintai, kini berpaling dan menganggap diriku tidak ada. 

Hari itu tepat ulang tahunnya. Aku sengaja datang ke indekos. Dia sedang dinas ke luar kota dan aku datang untuk memberikan kejutan ulang tahun padanya.

Sialnya, bukan dia yang terkejut. Aku yang terkejut.

Hujan deras dan bau tanah yang tercium samar-samar kuabaikan. Bajuku basah, kue yang ingin kuberikan padanya aku jatuhkan. Sore itu hujan, sama seperti sore ini.

Waktu itu aku tidak menampar sang perempuan karena bila hal itu dilakukan pasti atas nafsu sang laki-laki atau sebaliknya. Tidak mungkin karena paksaan. Aku tidak memarahi mereka. Saat itu, aku berdiri diam dan mematung. Membeku, tidak bisa memikirkan apa-apa.

Rasa sakit waktu itu ternyata masih terasa. Duri ini masih menancap, menekan luka lama yang tidak ada habisnya menghantui.

Rasanya seperti seseorang yang kamu percayai menusuk dadamu kemudian memutar pisaunya. Sesak, sakit, pedih, dan rasa kecewa bercampur. 

Menghela kemudian mengembuskan napas panjang. Rasanya usahaku melupakan kejadian itu selama lebih dari lima tahun sia-sia saja. 

Setelah itu, aku menjelaskan semuanya pada orang tua, bahkan mertuaku. Awalnya mereka marah dan ingin bertemu tatap muka dengan mantan suamiku. Aku juga sudah pernah mengundang mantan suamiku yang dulu masih berstatus sebagai suami sah untuk bertemu dengan orang tuaku dan orang tuanya. Dia tidak menolak ... bahkan tidak menjawab. 

Jangan berkata bahwa aku tidak berusaha, aku sudah berusaha menelepon, mengirim pesan, bahkan aku hampir gila karena setiap hari mendatangi indekos tempat memergoki mereka.

Beberapa bulan kemudian, kami resmi bukan suami dan istri. Ini keputusanku. Aku menceraikannya. Dia datang saat persidangan. Cukup bertanggung jawab. Kami tidak saling berbicara saat itu.

Aku pernah membangun tembok tinggi untuk menghalangi mereka. Berusaha membangun duniaku sendiri. Melupakan mereka.  Mereka dengan wajah tidak berdosa berusaha memanjatnya untuk sekadar menyapa, menanyakan kabar, bahkan pernah mencoba meminta maaf dariku. Mereka bilang mereka khilaf saat itu.

Bukan tidak sudi. Namun, mereka menghancurkan duniaku. Dia yang pernah dianggap sebagai janji sehidup semati olehku dalam semalam membuatku tak percaya, syok, bahkan ingin mencekiknya.

Waktu berlalu, manusia benar-benar begitu cepat melupakan masa lalu. Kudengar, mereka sudah bahagia sekarang, bahkan memiliki dua anak dengan jarak yang dekat. Yah, mungkin memang aku bukan jodohnya. Mereka salah, bukan mereka yang khilaf.  Mungkin waktu itu, dia yang khilaf menyukaiku, kemudian menikah denganku.

Yah ....

Mereka sudah bahagia. Aku juga berhak bahagia, bukan? Bila dipikirkan juga, hidupku jauh lebih baik dibanding bersama dengan dia. Jika dulu, menjadi ibu rumah tangga yang patuh terhadap suaminya adalah hal yang kuinginkan, sekarang aku adalah ketua divisi sebuah perusahaan ternama.  Semua berkat kerja kerasku selama lima tahun yang tidak pernah berhenti. Aku sudah mendapatkan apa yang aku impikan dulu sebelum menikah.

Tetes-tetes hujan mulai berhenti berjatuhan. Aku melihat matahari yang kembali cerah, seakan memberiku semangat kembali. Sekarang ketika mengingatnya, rasa sakit itu perlahan semakin memudar. Bahkan aku tidak merasakan apa-apa lagi. Rasa sakitnya berkurang. Entah sudah memaafkan atau sebenarnya aku sudah tidak peduli.

Event CermintriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang