Terjerat Masa Lalu (2)

20 5 4
                                    

Nama Penulis: Samaran
Jumlah Kata: 737


"Cepatlah! Keluarkan air matamu! Menangislah! Lalu ajak semua orang baik yang bodoh itu ke hadapanku! Berikan kepuasan untukku dengan wajah lugumu itu!"

Kedua netranya terbuka seketika, semua teriakan itu selalu menghantuinya selama empat bulan ini, semua kisah itu pilu untuk dijalani dan sulit untuk dimengerti.

Masa lalu terlalu kejam bagi seorang anak perempuan berusia 12 tahun. Seorang anak yang selalu berpura-pura menangis di tepi jalan sepi hanya untuk menarik perhatian sebagian pengguna jalan.

Dengan bermodalkan air mata dan alamat di tangan, ia bisa membawa beberapa orang baik ke tempat persembunyian iblis bertopeng ayah angkat itu. Ya, mata kepalanya menjadi saksi perampokkan dengan cara hipnotis, bahkan pemerokosaan pun ia saksikan.

Duduk di atas kasur dengan memeluk kedua kaki yang ditekukkan, kepala tertunduk sehingga keningnya menyentuh lutut. Tangisan terus membekap jiwa. "Tuhan ... Kenapa dulu kau selamatkan aku dari ayah angkat itu, jika Kau selalu memberi rasa trauma yang amat dalam seperti ini? Apa maksud-Mu?"

"Ada apa, Lan?" Sebuah tepukan mendarat tepat di pundak Wulan.

Jantungnya seakan tersentak hebat, ketakutan menjalar begitu saja, pertanyaan yang dahulu sering terlontar oleh korban, pertanyaan itu membuatnya semakin merasa berdosa.

Tubuh Wulan menghindar dari Megan. "Tidak! Jangan mendekat! Aku tidak sakit! Jangan antar aku pulang ...." Menangis, hanya itulah yang menjadi akhir ucapannya.

Megan---pengurus panti berusia 25 tahun---mendekat lalu memeluk tubuh Wulan. "Aku tau apa yang kamu rasakan, tapi, lupakan itu Wulan, lupakan. Itu masa lalumu. Satu tahun kamu seperti orang yang penuh ketakutan." Megan kini melepaskan pelukannya, lalu menatap Wulan lekat. "Ayo, berdamailah dengan masa lalumu itu. Lupakan."

Wulan menatap Megan. "Wulan jahat, Kak. Jahat ...." Wulan menunduk dengan terus menangis.

Memang semua telah berlalu, kejahatan ayah angkat Wulan telah terbongkar. Tiga bulan Wulan menjalani pengobatan mental di salah satu rumah sakit. Setelah pengobatan itu selesai hingga Wulan dirasa mulai membaik, ia pun ikut dengan Ningsih---pemilik rumah yatim piatu yang sekarang tengah berada di luar kota.

Akan tetapi, Wulan tidak benar-benar membaik, terkadang ia selalu menangis tengah malam. Ketika kegelapan mendekapnya ia merasa jika jeritan dan tangisan berputar di pikiran.

Kini, Wulan mulai bangkit, lalu turun dari ranjang, ia berjalan lemas, pandangan kosong. Wajah anak berusia 12 tahun itu sangat pilu. Ia hidup dengan terjerat masa lalu.

"Sayang, sini makan sama kakak dan yang lainnya." Megan berjalan mendekat ke hadapan Wulan, lalu memposisikan dirinya agar sejajar dengan Wulan yang fostur tubuhnya lebih pendek. "Sayang, lihat kakak." Megan meletakkan kedua tangannya di samping wajah Wulan.

"Kak, aku ingin bertemu ibu. Kenapa Tuhan dulu ambil ibu? Kenapa Tuhan titipkan aku sama ayah angkat itu? Apa Tuhan tidak sayang aku, Kak? Apa Tuh---"

"Tuhan sayang kamu," ucap Megan memotong kalimat Wulan. "Sayang, Tuhan memberi kamu kesempatan hidup agar kamu bisa menjadi lebih baik. Jadi, jangan terkurung masa lalu, perjalanan kamu masih panjang."

Wulan langsung memeluk Megan erat. "Bantu Wulan, Kak. Wulan takut, Kak. Takut ...."

Empat anak panti yang sudah duduk di meja makan menatap bingung satu sama lain. Mereka tidak tahu alasan sikap Wulan yang selalu menyendiri dan menangis. Wulan tak pernah berbicara dengan mereka, sehingga mereka tidak ingin berteman dengan Wulan.

Wulan kali ini dituntun oleh Megan untuk duduk. Di atas meja sudah tersedia makanan yang siap disantap. Beberapa menit hanya keheningan yang terlihat hingga seorang anak panti mengeluarkan suaranya yang membuatnya menjadi pusat perhatian.

"Ah, sudahlah, aku heran sama si Wulan. Tidak, bukan hanya aku, tapi yang lain juga heran sama dia. Lihat dia dari tadi cuman, nunduk nggak makan. Ganggu selera makan kita!"

"Hey, apa mak---"

"Maaf ... aku minta maaf." Wulan melangkah pergi begitu saja.

Kali ini ia benar-benar merasa seperti sampah yang tidak berguna. Wulan duduk di pojok kamarnya dengan berusaha menahan sesak di dada, air mata yang keluar ia hapus. "Jangan nangis! Jangan ... aaa!"

Sebuah dekapan hangat terasa nyaman, Wulan seketika merasakan ketenangan di tengah tangisan. Ia memejamkan kedua matanya, menarik napas panjang lalu menenangkan diri.

"Berdamailah dengan semua yang telah terjadi, sesali boleh. Namun, jangan terlalu dalam. Kamu anak baik, Sayang. Ibu selalu melihatmu dari kejauhan."

Suara itu seakan nyata, sebuah dekapan itu terasa, semua ini bukan sekadar ilusi. Namun, bisa menjadi sebuah pengobat hati. Ia terlalu lama terikat, ia terlalu lama terlelap dalam penyesalan.

"Wulan, kami minta maaf, tadi Kak Megan sudah menegur kami."

Wulan membalikkan pandangannya menatap empat anak panti yang tiga tahun lebih tua darinya.

"Kami nggak tau apa masa lalu kamu, tapi, kami yakin masa lalu itu sangat menyakitkan. Maaf ...."

Wulan berlari mendekat ke empat orang kakaknya itu. Ia berjanji, mulai saat ini ia akan berusaha bangkit. Janji!

Event CermintriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang