Prolog

44 1 0
                                    

Suatu sore yang sejuk, seorang anak laki-laki yang masih berusia 9 tahun sedang bermain karate di halaman belakang rumah bersama dengan temannya—Danantra. Ia memang ingin sekali bisa karate. Hobi Papanya itu ternyata menurun ke anaknya. Anak kecil itu nampak kegirangan karena berhasil melumpuhkan lawan.

“Mama nggak bisa dong maksa-maksa aku kayak gini, Ma.”

“Ini demi masa depan kamu Arga. Nurut omongan Mama! Mama tidak suka dibantah!”

“Ma... Tolong jangan kayak gini.”

“sekali Mama bilang tidak tetap tidak!”

“Putuskan perempuan itu! lagian dia juga bukan wanita yang baik buat kamu!”

“Mama nggak bisa nyimpulin suatu kesimpulan yang Mama aja belum tau kebenarannya. Dia gadis baik Ma. Dia juga pinter. Aku banyak belajar dari dia. Mama percaya sama aku Ma. Aku janji nggak akan ngecewain Mama.”

“Kamu nggak mau Mama kecewa kan? kalo gitu putuskan dia sekarang juga.”

Samar-samar Nata mendengar suara berisik dari dalam rumah. Nata dan Danantra saling pandang, wajah polos nan lugu itu nampak bingung.

"Mama sudah bilang berkali-kali jangan pacaran! Sekolah yang bener! Belajar jangan sibuk pacaran!"

Suara langkah kaki kian terdengar. Nata dan Danantra berlari kecil ke teras rumah.

“Ma... okay aku ngaku salah karena pacaran tanpa sepengetahuan Mama. Tapi Ma... Mama juga harus ngertiin aku Ma. Aku juga punya perasaan.”

“kalo aja Mama bersikap sewajarnya, aku nggak bakalan sembunyi-sembunyi kayak gini.”

“Kamu nyalahin Mama? Kamu nyalahin Mama Arga?”

“Nggak gitu, Ma... Nggak gitu maksud Arga.” Arga tidak tahu harus dengan cara apa agar Mama nya mau untuk mendengarkan dirinya.

“Gara-gara perempuan itu nilai kamu saja sampai turun yang biasanya ada diposisi pertama sekarang apa? Sekarang kamu juara kedua.”

Please Ma ini nggak ada hubungannya sama dia.”

“Lagian aku masih masuk tiga besar.”

PLAK!

Nata dan Danantra bersembunyi di balik tembok, mereka melihat dengan jelas perdebatan yang terjadi di teras rumah. Mendengar suara tamparan yang sangat nyaring membuat nyali mereka menciut. Tangan mungil Nata bergetar saling bertaut, matanya memanas menahan tangis.

Terlihat laki-laki remaja itu mengusap pipinya yang berdenyut. Tamparan Mama nya begitu keras, sampai-sampai ada bekas kemerahan di pipinya.

“Bagus. Sudah mulai berani kamu sama Mama.” Wanita paruh baya itu menggeleng pelan.

“Apa yang sudah perempuan itu katakan sama kamu sampai-sampai kamu jadi anak pembangkang seperti ini? Dengar! Mama tidak suka di bantah. sekali tidak tetap tidak! Putuskan dia! Perempuan itu membawa pengaruh buruk buat kamu.”

“Nggak ada yang bawa pengaruh buruk. Dia gadis yang baik. Mama belum tahu sepenuhnya tentang dia.” Suara anak remaja itu menggunakan nada lembut, berharap Mamanya bisa mengerti.

“Baik apanya? keluyuran malem-malem kamu bilang baik?” kukuh sang Mama dengan raut wajah tak bersahabat.

“Ma, nggak ada yang keluyuran dia kerja part time.Suara itu kian melemah.

“Mama nggak peduli. Itu urusan dia. Dan kamu... Kamu masih tanggung jawab Mama. Stop pacaran dan fokus sekolah. Itu yang terbaik buat kamu.” Wanita paruh baya itu melangkah masuk ke dalam rumah.

Only you [On Going]Where stories live. Discover now