PEMBICARAAN SENGIT

143 31 5
                                    

Pagi ini Meulu memutuskan untuk menghabiskan waktu di area bawah rumahnya. Bagian bawah rumah panggung ini diatur sedemikian rupa sehingga Meulu dan ibunya, serta kakak-kakaknya dulu sebelum menikah, dapat membuat kegiatan yang bermanfaat seperti menumbuk padi dengan jeungki, alu penumbuk dari kayu berkualitas yang disangga dengan baik, dengan lesung di bagian depan penumbuk. Biasanya mereka akan menumbuk padi atau biji-bijian lain menjadi bubuk tepung. Selain itu, Meulu yang memiliki kegemaran dalam mengoleksi kain tenun buatannya sendiri akan menghabiskan waktu untuk membuat kain tenun dengan berbagai motif. Terkadang, ia dapat menghabiskan waktu sekitar dua hingga tiga bulan untuk menyelesaikan selembar kain dengan ukuran sedang. Kain-kain ini kemudian akan dipakai oleh keluarganya untuk acara-acara besar di Dalam, atau sebagai hadiah untuk petinggi-petinggi kerajaan bila ada pertemuan khusus dengan ayahnya.

Ia sudah duduk di depan meusen teupeuleun— mesin tenun— sejak matahari terbit, setelah membuat sarapan untuk keluarganya, ia langsung sibuk tenggelam dalam gesekan-gesekan kayu panjang mesin ini, menyatukan setiap helai benang menjadi kain yang berharga. Biasanya perempuan ini akan memulai pekerjaannya setelah mengantar Kala atau pulang dari peukan, namun kali ini ia bisa bebas beraktivitas karena Kala sedang di dayah.

Suara derap langkah kaki terdengar serempak tak jauh dari rumahnya, membuat siapapun yang mendengar akan melongokkan kepala mencari asal suara. Bunda yang tengah menyulam kasab di atas kain beludru seketika menghentikan pekerjaannya. Mereka jelas tahu suara apa itu. Ibunya bergegas bangkit untuk berjalan ke pagar depan yang mengelilingi rumahnya.

Benar saja, sekitar enam hingga tujuh tentara Belanda sedang berjalan ke arah rumah mereka, tentu lah mencari sang pemimpin di wilayah ini, ayah Meulu. Bunda segera memanggil bang Abdullah, yang bertugas sebagai banta atau pembantu ayahnya selama ia menjabat. Abdullah turun dan menyambut para kompeni itu dengan wajah yang dibuat ramah. Mereka dipersilakan masuk ke halaman rumah dan akan segera menaiki rumah untuk berkumpul di seuramo keu. Ibunya meminta Meulu menghentikan pekerjaan menenunnya untuk membantu menyiapkan minuman. Saat Meulu bangkit untuk masuk ke dalam rumah, matanya tertuju kepada salah satu prajurit yang tampak tidak asing; prajurit yang kemarin menghampirinya untuk memperkenalkan diri. Meulu menatapnya datar, kemudian naik ke atas untuk segera menuju seuramo likot dimana dapur berada.

***

Gustaaf masih ingat dengan apa yang ia lihat kemarin pagi. Komandan Hendrik, pemimpin dari divisinya kritis di salah satu ruang klinik kamp militer mereka. Terlihat bekas luka tusukan yang tampaknya cukup dalam di bawah dada kirinya, mungkin mengenai organ vital, sedang diobati oleh dokter-dokter Belanda. Mereka tampak kesulitan membersihkan luka dan menghentikan darah yang terus mengalir. Penikaman kemarin pagi cukup tiba-tiba dan mengagetkan, seorang laki-laki Aceh berusia empat puluhan sebelumnya hanya tidak sengaja berpapasan dengan komandan Hendrik. Ia kemudian berbalik dan berlari cepat menuju komandan Hendrik yang tak jauh darinya untuk menusukkan belati tajam berukuran kecil di bagian vital tubuh komandan, sehingga komandan Hendrik tanpa kesiapan yang matang langsung ambruk. Laki-laki tersebut pun langsung ditembak oleh prajurit yang berada di dekat komandan, dan segera melarikan komandan ke klinik kamp.

Dua jam berkutat dengan banyaknya alat-alat medis, nyawa komandan Hendrik tidak dapat diselamatkan. Ia segera menghembuskan nafas terakhirnya karena terlalu banyak darah yang keluar. Letnan Kolonel Christoffel, yang bertugas memantau dan bertanggungjawab untuk barisan prajurit Belanda di wilayah Koeta Radja datang tak lama setelah komandan Hendrik tewas. Ia hanya menunjukkan simpatinya dalam-dalam dan memerintahkan para prajurit untuk menguburnya dengan seluruh penghormatan langsung siang itu juga.

Sungguh mengerikan.

Nyawa komandan Hendrik— yang terkenal dengan kebengisannya dan kemampuannya bertahan hidup di tengah perang, melawan seluruh bambu runcing dan belati tajam yang mengarah padanya saat perang di Batavia dan di Bandoeng dulu— justru harus berakhir dengan cara konyol di tangan penduduk Aceh. Hal ini pula yang membuatnya harus lebih hati-hati dalam menyusun strategi melawan bangsa yang gila ini. Setelah pemakaman selesai, Letnan Christoffel segera mengajak Divisi Gustaaf untuk diskusi kecil mengenai tindakan apa yang harus mereka lakukan untuk mengurangi kejadian Atjeh Moorden ini. Mengirimi pasukan terus-menerus untuk menggempur Aceh bukanlah perkara mudah, sebab mereka telah menggelontorkan begitu banyak uang untuk perlengkapan perang melawan Aceh. Kas Belanda untuk perang Aceh ini pun semakin menipis, menandakan ada siasat perang yang harus diganti.

Bentala Bunga Meulu [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang