"Bosnya sudah dekat!" Alan tak yakin teriakannya terdengar karena rekan setimnya sedang sibuk dengan lawan masing-masing. "Arghh, game macam apa ini?!" Ia mengisi beberapa bola mesiu ke dalam meriam tangannya dengan ketakutan yang mulai mendera. Saking paniknya, tangan Alan bergerak tak terkendali dan bergetar terlalu cepat hingga menjatuhkan senjatanya. Ia tak punya waktu, bos moster sudah di depan mata, hanya dua langkah lagi dan Alan bakal jadi manusia geprek.
Sebelum itu terjadi, notifikasi offline membuat Alan keluar dari gim secara tiba-tiba. Siapa yang berani memaksanya luring pagi-pagi begini? Ia jadi ingin sekali memukul kepala pelakunya. Sejujurnya, Alan agak bersyukur tidak mati terinjak, tetapi mau dikemanakan mukanya ini kalau bertemu teman-temannya lagi? Alan menghela napas, jari pucatnya melepas VR gear dengan kesusahan. "Sialan, siapa yang—" mulutnya kembali mengatup saat melihat wanita paruh baya dengan daster putih melipat tangan di depan VR-chairnya. Alan berdiri dengan lesu. Ia menggaruk lehernya dan melirik ke bawah.
"Ha-hai, Mom." Tangannya melambai setinggi pundak, bibirnya terlihat memaksakan senyum. Siapa pun pasti akan berpikir Alan sedang menahan berak.
"Cepat turun dan makan malam," kata mamanya tanpa basa-basi.
Alan menautkan alisnya. "Hah?! Bukannya masih pagi?"
"Kau terlalu banyak menggunakan VR sampai lupa waktu di dunia nyata," jelas mamanya dengan jengkel. "Dasar bocah freak."
Memang begitulah faktanya, 2122, semua orang hidup dalam realitas maya (virtual reality). Semenjak kemunculan virus GreenoFT, pemerintah mengalihkan seluruh kegiatan masyarakat yang memerlukan aktivitas di luar rumah menjadi ke dalam sebuah realitas maya. Bukan hanya video gim, bahkan sebuah gedung kantor, sekolah, dan taman sudah dibuat versi VR, dan banyak orang lari pagi di taman realitas maya. Sekarang adalah tahun ketujuh mereka menjalani hidup seperti ini dan mereka semua baik-baik saja.
"Malam ini kita makan apa?" Grace muncul dari lift, tangannya membawa pemancar hologram, ia terlihat sangat sibuk dengan tugas kuliah.
Alan mendecih pada kakak perempuannya. "Bisakah kau singkirkan layarmu itu? Aku alergi dengan tugas, rasanya merinding begitu melihatmu mengerjakannya."
Grace membalasnya dengan delikan kesal. "Aku bukan bocah pengangguran sepertimu."
"Aku pelajar SMP yang sedang dapat libur," Alan menegaskan. "Kalau iri, bilang Grace."
Grace tak ingin meladeni adiknya lagi dan memilih menyuapi mulutnya sepotong daging steak. Ia mengernyitkan dahi pada gigitan pertama. "Daging sintetis lagi?"
Mamanya mengangguk. "Mau bagaimana lagi? Ilmuwan masih berusaha membudidayakan sapi dan rumput."
Entah kapan para ilmuwan menemukan cara membersihkan virus ini. Masalahnya, ini adalah virus yang sangat aneh dan belum diketahui jenisnya. Setiap hari turun debu kehijauan dari langit atau bahkan badai lumut. Semua makhluk hidup yang terkena lumut itu akan langsung mati hanya dalam waktu satu jam. Itu sebab mereka terpaksa beraktivitas dalam realitas maya.
"Ayah mana?" Alan tak menemukan sosok tinggi berwibawa itu di meja.
Mama tak menjawab, malah menyalakan televisi. "Lihat ini."
Dalam acara televisi itu terlihat sosok berjas tengah bersiap melakukan konferensi pers. Alan tahu itu ayahnya, tetapi tak tahu kapan pria itu sudah berangkat. "Peresmian apa lagi ini?"
"Sebuah peraturan baru untuk mengurangi beban pikiran ayahmu," mamanya menjawab dengan senyum janggal.
Grace mengangkat bahu saat Alan meminta penjelasan.
"Saya di sini, Senator Kenan Walkins akan mengumumkan peraturan perundang-undangan baru yang hari ini telah diresmikan setelah melalui proses perundingan panjang." Kenan membuka dokumen bersampul merah di sebelahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
GenFest 2021: Sci-Fi
Science FictionMasa depan menanti kita, bukan semata dengan kisah-kisah bahagia, tetapi peradaban maju dengan teknologi canggih sebagai perantara eksistensi manusia. Kali ini, akankah kedamaian bisa dirasakan umat manusia? [Cover by @ryekara] Ikuti Polling kami s...