I.F

62 10 1
                                    

Mataku nyaris tidak berkedip ketika melihat pemandangan kota dari dalam kereta layang yang melaju kencang. Perbandingan antara gedung-gedung pencakar langit dan tanah hijau membuat tempat ini benar-benar menakjubkan. Ingatanku tentang kota ini masih begitu jelas, membuatku sulit percaya bahwa ini adalah kota yang pernah kusinggahi sebelumnya.

"Woah, hebat sekali!" gumamku tanpa sadar, akibat terlalu kagum dengan kemajuan ini.

Aku berani jamin, orang-orang yang sedang duduk di kereta layang bahkan tidak repot-repot untuk menanggapi pemandangan kota di luar sana. Rasanya persis seperti menaiki roller coaster tanpa jalur; jauh lebih menegangkan, meskipun aku tahu bahwa mereka telah berhasil memanipulasi gravitasi untuk menciptakan transportasi ini.

Kucoba untuk bersikap tenang dan menutup semua kekagumanku dalam hati. Orang-orang di dalam kereta tampak terganggu karena sepatah kata yang kuucapkan dan mungkin saja mereka mengira bahwa aku terlalu kampungan untuk duduk di sini.

Abaikan, tidak perlu merasa terganggu.

Sugesti bahwa mereka semua tengah menilaiku membuatku tidak nyaman, aku harus segera turun di stasiun berikutnya.

Tanpa harus ada yang menjelaskan, aku sudah sangat tahu bahwa kota ini berkembang pesat dari terakhir kali aku sampai. Aku memang sudah beberapa kali mendengar perkembangan tata kota dan kemajuan ilmu pengetahuan tentang tempat ini, tetapi melihatnya secara langsung memberikan sensasi yang berbeda.

Setelah sampai di stasiun berikutnya, aku langsung segera turun. Kulewati para turis yang tengah membaca jalur kereta layang di atas hologram terang. Mereka bahkan bisa mengendalikan hologram itu dengan tangan kosong, sepertinya hanya dari lensa mata mereka.

Bukankah ini terlalu maju?

Langkah kakiku langsung terhenti ketika aku menyadari beberapa pasang mata tengah memantauku dari kejauhan. Jantungku berdegup gugup. Bukankah ini terlalu cepat?

Wajahku langsung muncul di manapun. Ya, di manapun. Dari hologram jalur kerata, papan poster berbahan akrilik, di semua papan pengumuman yang bisa kulihat, dan bahkan di sebuah alat yang terus dibawa setiap orang-orang di sekitarku. Sontak, semua pandangan kini tertuju kepadaku.

Aku yang pada dasarnya memang tidak terlalu atletis, langsung tertangkap dengan begitu mudahnya.

"Mana kartu identitasmu?" Tiga orang pria berbadan besar mengepungiku dalam sebuah ruangan tertutup. Melihat banyaknya peralatan yang tidak familier, aku berasumsi bahwa masih ada banyak yang menontonku. Ternyata begini diperlakukan seperti kriminal, padahal aku tidak melakukan hal seperti itu.

Sebenarnya, akan lebih mudah jika mereka memutuskan untuk membunuhku.

"Aku tidak punya!" balasku ketus.

"Siapa kau?" tanya mereka lagi.

Kali ini, aku memilih bungkam.

Seharusnya, aku tidak memilih naik kereta layang. Aku terlalu naif, tidak mencurigai pemindaian seluruh tubuh yang dilakukan dengan singkat. Kurasa, aku terlalu antusias untuk melihat perkembangan kota ini, sampai-sampai tidak sengaja melakukan hal yang gegabah.

"Sistem mendeteksi bahwa datamu terakhir diperbaharui 564 tahun yang lalu."

Perkataan salah satu pria itu akhirnya membuatku menoleh. Ya, mungkin seharusnya aku tidak terlalu kaget bahwa mereka akan menyimpan semua data-data orang yang pernah hidup di dunia ini.

"Siapa kau sebenarnya?"

Aku masih bungkam. Diam-diam merasa begitu puas melihat ekspresi putus asa mereka. Selama aku diam, mereka semua tidak akan bisa berbuat apa-apa. Aku tidak tahu berapa lama lagi waktuku tersisa, tetapi aku akan mengulur waktu tanpa memberikan informasi apapun.

GenFest 2021: Sci-FiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang