Pergi?

1 1 0
                                    

Roy melangkah memasuki gedung begitu selesai memarkirkan sepedanya. Arloji hitamnya menunjukkan pukul 7 kurang 5 menit. Dia memang bukan menjadi yang pertama tapi setidaknya dirinya masih berbaik hati untuk melaksanakan piket hariannya, tak seperti siswa lain yang cenderung acuh.

Suara para cewek terdengar dari dalam. Roy tak memedulikan itu dan segera memasuki kelas. Setelah menaruh tasnya, ia langsung menyandang gagang sapu.

Lantai kelas tampak kotor meskipun kemarin sore juga telah dibersihkan sebelum pulang. Mungkin karena efek lewat semalam jadi debu-debu berdatangan lagi.

Roy menyapu dari setiap sudut kelas. Butuh waktu lama hingga teman-teman yang lain datang. Masih didominasi para siswi, berkali-kali ia mendapat pujian dari teman cewek sekelasnya karena sanggup membersihkan lantai selama beberapa menit.

"Lo udah dari tadi nyapu, ganti ke Arslan aja! Keenakan dianya entar," saran Sonia—teman sebangku Naya yang kini tengah menemani Naya memeriksa buku absen. Kedua cewek itu memang sering datang lebih awal. Namun, yang paling istiqomah melakukannya ialah Karin dan Naya. Sonia hanya kadang-kadang saat tak terlalu malas.

Roy tak mau ambil pusing. Setelah membuang debu-debu yang ia kumpulkan, disodorkannya sapu ke teman sebangkunya yang kini asyik bermain ponsel. "Gantian!"

Arslan mengibaskan tangan sambil terus mendelik ke layar pipihnya. "Bentar dulu, Roy! Tanggung, nih!"

"Nyapu bentar nggak bikin Lo mati sekarang!" seru Sonia yang masih tak beranjak dari posisinya semula. Ditambah dengan tatapan nanar Naya di sebelahnya.

Arslan mengerang kesal. Ia mematikan ponsel dan menyimpannya dalam tas. "Lo baik amat, Roy. Mau gantiin posisi Aiden?" ucapnya tanpa bermaksud apapun. Arslan meraih gagang sapu Roy sambil terkekeh. Namun, sepertinya ucapan itu menjadi pusat perhatian otak semua siswa, tanpa terkecuali Naya dan Sonia. Sedangkan Roy memilih tak peduli.

Intan datang bersamaan dengan Valda. Keduanya langsung menuju tempat duduknya. Ekspresi keduanya yang ceria berubah masam. Sosok yang biasanya selalu stand by di kursi depan Intan tak terlihat. Hanya tas hijau saja yang menandakan keberadaannya beberapa saat yang lalu.

"Mana dia? Kok nggak keliatan batang hidungnya?" tanya Valda ingin tahu.

Intan mengedikkan bahu. "Tunggu aja di sini. Paling ke toilet atau nggak lagi nyari permen kaki." Valda mengangguk mengerti.

Namun, hingga bermenit-menit berlalu Karin tak kunjung terlihat. Bel berbunyi tepat saat Rena masuk ke kelas. Hampir terlambat tapi setidaknya ia tak menghilang seperti Karin.

"Ren, Lo lihat si Karin nggak?"

Cewek berkacamata itu melirik ke kursi samping. Ia terkejut dan baru sadar bahwa sosok yang biasanya selalu menyapa dirinya saat datang bersamaan dengan bunyi bel kini tak ada. Hanya tas lusuh yang teronggok asal di atas kursi. "Eh, di mana Karin?" tanya Rena refleks.

Intan mendengus. "Justru itu kami nggak tahu, makanya nanya elo."

Valda menatap jam dinding kelas. Seketika matanya membulat lalu ia segera menyediakan buku-buku dan alat tulis. "Gawat! Kalo Karin nggak dateng-dateng, nanti kita harus jawab apa pas Bu Anggi ngabsen?"

Intan langsung panik dan melakukan hal yang sama dengan Valda barusan. "Oh iya, hari ini 'kan ada tes lisan! Gue lupa belajar, gimana dong?"

Valda melipat kedua tangannya. "Sumpah demi apa si rajin Intan nggak belajar?" Alisnya menaik seolah ikut menyindir teman sebangkunya itu.

"Selamat Pagi!"

"Mampus, Karin!" seru Valda pasrah.

Sosok wanita berkacamata tebal memasuki ruangan dengan setumpuk buku dan tas clutch andalannya. Rena menelan ludah. Ia beringsut ke belakang. "Gimana, dong?" Intan hanya menggeleng lemah. Sedangkan pikirannya kacau dan tubuhnya menegang karena keteledoran dirinya tadi malam.

Medali Loker 4 (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang