Ekstra Part 1.

607 38 6
                                    

Suasana kantin yang terletak di basement kampus tampak riuh sore itu. Sekumpulan
mahasiswa Fakultas Sastra berkumpul, menguasai dua
deret kursi sekaligus.
Ardi, Lisa, dan Elina mengambil posisi paling ujung, memimpin jalannya acara.

“Bisa pesan apa saja, nanti Bu Ketupat yang bayar,” kata Elina sembari melirik Lisa.

Ardi berdeham, lalu membuka acara. “Assalamualaikuum warahmatullahi wabarakatuh.”

Salam itu disambut riuh oleh seluruh peserta,
mengabaikan pengunjung kantin lainnya. Selanjutnya, Ardi tidak berpanjang lebar dalam
memberi kata sambutan.

Mengingat acara yang tidak
begitu resmi, hanya ucapan terima kasih karena acara raker berhasil digelar dengan baik. Memang acara mereka sempat diwarnai ada insiden kecelakaan, tapi
semua sudah selesai dan tidak menjadi kendala yang berarti.

Sebenarnya, agenda pembubaran panitia ini sudah digelar beberapa hari yang lalu. Namun, entah mengapa Elina menghilang hari itu. Alhasil, barulah acara digelar
sore ini, setelah terjadwal ulang.

Tak lama berselang, setiap orang sudah sibuk dengan makanan mereka masing-masing, tak termasuk Elina. Semua makan dengan sesekali bercanda, layaknya
merayakan sebuah pesta besar.

Larut dalam riuh acara,
membuat gadis itu bahkan tidak sadar jika ada sepasang
mata yang memperhatikannya dari sudut ruang.

“Di, tukeran dong,” kata Elina sembari menyodorkan mangkuk mi ayam pada Ardi.

“Dih, kenapa? Udah kubilang jangan pesen mi ayam, tetep aja. Bandel!”

“Ish! Tuker!” rengek Elina lagi, meminta gado-gado milik Ardi.

“Gue pengen banget makan mi tadi. Tapi lupa kalo dari pagi nggak makan nasi sama sekali. Lo mau gue sakit lagi, hah?” Elina cemberut sekarang.

“Kamu ya, udah tau kalo punya maag, tapi maksa makan mi, dan nggak makan seharian. Bandel banget!”

Ardi memutar bola mata, lalu menyodorkan piring. Menukar makanan seperti keinginan Elina.

“Makasih ...,” kata Elina sambil mencubit hidung Ardi sekilas. “Kamu memang kesayanganku!"

“Eits, kesayangan kita!” sahut Lisa, yang disambut tawa oleh beberapa teman mereka yang mendengar.

Tiga orang itu memang tampak akrab layaknya saudara.
Sementara di sudut kantin, ada seseorang yang memendam gejolak di hati karena melihat tingkah Elina.

Tak ingin terus menerus menahan cemburu, pria itu lantas beranjak. Namun ....

“Pak Bima!”

Serta-merta Ardi bangkit dari kursi dan berseru, membuat Elina tersedak. Pemuda itu lantas
menghampiri dosen yang hendak meninggalkan kantin.

“Bapak di sini? Kalau tidak keberatan, silakan gabung dengan kami, Pak.” Ardi berucap setelah berada di hadapan dosennya.

“Saya? Beneran nggak apa-apa?” tanya Bima sambil menunjuk dirinya sendiri.

Sementara itu, Elina dan Lisa menggerutu di meja mereka karena tingkah Ardi yang memanggil sang dosen. Tentu, suasana akan canggung jika Bima bergabung.

“Ngapain si Ardi ngajak Pak Bima segala?”

“Tau tuh! Udah tau itu anak buah Thanos nggak asik!” kata Lisa menimpali.

“Sore, Pak Bima,” sapa seorang adik tingkat yang duduk tepat di depan Elina.

“Tumben Bapak pake kaus.
Kemejanya mana, Pak?”

“Kenapa?” tanya Bima seraya mengambil tempat kosong tepat di sisi Elina. “Apa saya kelihatan aneh pake kaus?”

“Ganteng, Pak. Kebangetan malah!” sahut yang lain disambut riuh. Membuat Elina tersedak.

Refleks Bima menepuk punggung Elina. “Pelan-pelan aja, El. Aku nggak minta, ‘kan?”

Kalimat itu terucap pelan, tapi seketika membuat Elina membeku. Betapa tidak, saat ini Bima bahkan menggenggam tangannya erat. Meskipun tak ada yang melihat karena tangan mereka saling menggenggam di bawah meja,
tetapi debarannya bak gempa hingga mengguncang semesta milik Elina.

“Kalo pake kaus, gantengnya tambah ugal-ugalan, Pak.”

“Eaaaaa!”

Sudah menjadi bahan candaan khas, jika Bima bergabung dengan mahasiswanya. Tak hanya mahasiswa di Fakultas Sastra, tetapi yang lain juga demikian.
Beruntungnya untuk anak dari fakultas lain karena tidak bertemu Bima saat ujian meja. Jadi, mereka bisa berseloroh tanpa tahu seberapa killer dosen yang sedang mereka ajak bercanda.

Setelah larut sesaat dalam gurauan, Bima memalingkan wajah, pada Elina yang pura-pura sibuk
dengan gado-gado. “Oh, iya, El ... menurut kamu, saya
ganteng nggak?”

Seketika mata Elina membulat, dengan tangan
melayang di udara karena urung menyuap makanan ke mulut. Gadis itu bahkan mengerjap beberapa kali saat melihat Bima tersenyum lebar, dan mengedipkan sebelah
mata.

Selanjutnya, Elina hanya mengangguk pelan. Berusaha melepaskan genggaman Bima, tapi gagal.

“Banget,” ucap Elina setelah menghela napas panjang.
Sementara itu, saat mendengar kalimat dan perlakuan Bima, kini Lisa yang tersedak. Matanya
menatap Elina dan Bima bergantian. Dia mulai curiga
dengan kedekatan yang tidak biasa ini.

***

Hai hai haii ... Aku update cerita ini lagi, doooong.

Beberapa ada yang tanya : "Kok novelnya gantung semua, sih? Ada ebooknya nggak?"

Nah, kali ini aku sekaliam bawa kabar gembira buat temen-temen yang udah lama banget nanyain ebook.

Ebok Pak Dosen I Love You sudah ada di play store, yaa. Masukkan kata kunci : wanti arifianto, maka sebagian besar tulisanku muncul di sana.

Terima kasiih💜💜

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 22, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pak Dosen, I Love You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang