Adinda

4.1K 180 7
                                    

Untuk beberapa saat Bima masih mengurung Elina dalam dekapan, hingga pria itu merasa bagian depan kemejanya basah. Gadis yang merampas seluruh ruang benaknya itu terisak pelan dengan tubuh bergetar.

Beberapa kali Bima menepuk punggung Elina, coba memberi ketenangan. Akan tetapi gadis itu tetap larut dalam tangis.

Ketakutan Elina bukan hanya karena dia menjadi penanggung jawab rombongan. Akan tetapi apa yang terjadi hari ini menyeret ingatan Elina pada kejadian lima belas tahun yang lalu. Peristiwa tragis yang membuatnya kehilangan ibu untuk selamanya.

Suara benturan memekakkan telinga, juga riuh warga yang berdatangan membantu evakuasi sore tadi, membuat semua kejadian lalu terputar kembali di benak Elina. Alam bawah sadar gadis itu menyusuri tiap kenangan pahit yang coba ia usir dari ruang ingatan ....

“Ibu ... Ibu ....” Bocah tujuh tahun itu coba menggapai wanita yang meringkuk bersimbah darah, tak jauh darinya. Namun, tubuh mungil yang terjepit di antara kursi penumpang, membuat tangan kecilnya hanya terayun lemah.

“Ibu ... Ayah ....” Mata bulat yang kian lama kian sayu itu coba menyapu seisi mobil, yang ringsek karena menghantam bus dari arah berlawanan.

Tidak lama gadis kecil itu memanggil, karena beberapa saat kemudian sakit yang mendera nyaris merampas seluruh tenaganya. Sadar dengan apa yang menimpa, dia lantas memejam, mengalirkan dua bulir bening dari kelopak mata. Dada yang terasa sesak karena terimpit badan mobil, kini semakin sesak.

Sementara di luar, massa berkerumun dan berupaya melakukan evakuasi. Butuh waktu hampir satu jam, hingga korban yang berada dalam minibus hitam itu bisa dikeluarkan dari badan mobil yang nyaris hancur.

Bocah kecil yang sedari tadi menggumamkan nama sang ibunda itu hanya pasrah, saat seorang tenaga medis mendekap dan memberi pertolongan. Sementara matanya yang mulai dilanda kantuk sempat melihat tubuh ibunya diangkat dalam keadaan penuh cairan merah.

“Ibu ....” Elina merintih pelan, manakala kejadian hari ini membuat ingatannya segar kembali. Dekapan Bima kali ini mengingatkan orang yang dulu melakukan tindakan evakuasi. Membuat tiap keping kenangan itu seakan-akan seolah-olah baru saja terjadi.

“Elina!” Panggilan dari arah pintu IGD membuat Bima melonggarkan pelukan. Ardi muncul dengan kantong berisi botol air mineral.

“Pak Bima,” sapa Ardi sambil membungkuk, lalu menyerahkan sebotol air pada dosennya itu.

Tak menjawab, Bima hanya mengangguk. Pria itu lantas membimbing Elina untuk duduk di kursi, dan mengulurkan minuman.

“Yang lain bagaimana, Di?” tanya Bima saat melihat Elina sudah sedikit tenang. Tangan pria itu masih memberi usapan lembut di punggung gadis yang masih menunduk.

“Anak-anak yang lain aman, Pak. Beberapa hanya mengalami luka kecil karena serpihan kaca. Yang paling parah Pak Sopir, karena kulit kepalanya robek. Mungkin karena benturan.” Bima mengangguk beberapa kali mendengar penjelasan Ardi.

“Saya permisi ke sana dulu, Pak.” Ardi menunjuk beberapa rekannya yang ada di lobi. Mahasiswa tingkat akhir itu pun bergegas setelah Bima mengangguk.

“Sudah ... nggak apa-apa. Semua pasti baik-baik aja, Elina. Kamu denger sendiri apa kata Ardi barusan, kan?”

“S—saya takut, Pak.” Elina mengangkat wajah yang sedari tadi menunduk. Menampilkan hidung yang memerah, juga jejak basah di pipinya yang ranum.

Melihat itu, Bima tersenyum dan meraih tangan Elina. Meremasnya pelan sambil berkata, “Ada aku di sini. Semua bukan tanggung jawab kamu lagi sekarang. Semua korban luka kupastikan ditangani dengan baik.”

Pak Dosen, I Love You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang