Ditembak?

4.3K 229 13
                                    


“Jadi, rencananya akan ada bimbingan khusus untuk ibu-ibu dan remaja putri yang putus sekolah. Selain itu, sebulan sekali kita adakan penyuluhan tentang pola makan dan hidup sehat.” Adinda menjelaskan lembar demi lembar yang sedang diteliti Bima.

“Setelah berjalan, ke depannya pelan-pelan akan ada sanggar, juga pemberdayaan UKM. Supaya hasil olahan penduduk ada yang menampung. Tapi itu nanti, kita lihat animo masyarakat dulu,” imbuh Adinda lagi, sambil memindai reaksi Bima. Menelusuri ketampanan yang ia kagumi sejak lama.

“Kita beruntung karena masyarakat di Puca’ sedikit banyak sudah terpelajar meski hanya mengenyam pendidikan dasar. Pendiri yayasan sebelumnya termasuk orang hebat.” Adinda menambahkan, dengan tatapan masih lekat pada pria yang sibuk dengan beberapa dokumen dan layar laptop.

“Kebetulan di kampusku ada jurusan pendidikan, jadi nanti mahasiswa KKN bisa diarahkan ke sana.” Bima mengangguk-anggukkan kepala, tanda setiap rencana telah melalui telaah dan pemikiran matang.

Banyak perbincangan yang terjadi selanjutnya. Dalam hal visi misi memberantas buta aksara dan kemiskinan, Adinda dan Bima banyak memiliki kesamaan. Itu sebabnya, saat sang ayah mengajukan yayasan, Adinda langsung datang ke Makassar memberi tahu Bima. Gayung bersambut, karena dosen muda itu sangat bersemangat.

Saat keduanya tengah asyik berbincang, terdengar ketukan di pintu. Lalu muncul sosok Bu Utami dengan gaun Adinda di tangannya. Insiden sirup tertumpah tadi membuat Adinda harus berganti pakaian, mengenakan kaus milik Bima.

“Maaf, ibu ganggu. Ini baju Nak Dinda udah dicuci dan disetrika sama Mbak Uni.” Bu Utami menyebut nama seorang asisten rumah tangga.

Mendengar itu, Adinda bangkit dan menyambut. “Ya ampun  Ibu ... kenapa repot sekali? Saya bisa ambil ke bawah tanpa Ibu anterin. Duh ... saya jadi nggak enak deh, Buk.” Adinda tersipu.

“Nggak apa-apa. Ibu emang pengen kemari.”

“Sini, Buk. Gabung aja sama kita.” Adinda mempersilakan Bu Utami untuk bercakap-cakap bersama. Sesekali tawa ketiga orang itu mengudara, tampak akrab dan hangat.

***

Setelah seminggu lebih berdiam di kost dan menenangkan pikiran, akhirnya Elina memutuskan kembali ke kampus. Berdiam diri di rumah justru membuatnya semakin sedih  juga jenuh. Sementara masih ada beberapa kali bimbingan yang harus dia lalui, sebelum menuju ujian. Soal organisasi, semua laporan pertanggung jawaban telah selesai dan dia serahkan ke pengurus BEM terpilih.

“Sudah sembuh, Kak?” sapa seorang adik tingkat saat Elina menjejakkan kaki di lantai sembilan. Dikenal sebagai senior yang ramah dan baik, membuat Elina akrab hampir dengan semua orang. Terlebih jabatan pengurus BEM yang tidak pernah lepas, sejak kandidat lulusan terbaik itu duduk di semester tiga.

“Alhamdulillah udah baikan. Kamu sendiri?” Elina memindai gadis di depannya yang menggeleng dan tersenyum. “Ah ... syukurlah.”

“El!” Elina berbalik saat mendengar Ardi memanggil. Teman seangkatannya itu menghampiri dengan setengah berlari, hingga sepatunya berdecit dengan lantai.

“Kenapa? Sampe ngos-ngosan gitu?”

“Kebetulan banget lu udah di sini. Anterin LPJ raker ke kantor rektorat, yuk!”

“Lha, emangnya belum lo anterin? Kan udah kukasih kopiannya lewat Lisa?”

“Enakan kalo sama lo. Si Lisa dari kemaren sibuk. Soalnya ada beberapa tugas yang belum selese. Dia bilang, gak bisa ikut final kalo tugas belum clear.”

Elina hanya mengangguk-angguk. Belakangan ini Lisa memang lebih sibuk mengejar ketertinggalan. Tak jarang sahabat Elina itu pulang malam.

“Oke. Jangan lupa telepon Lisa. Nanti sore bikin acara pembubaran panitia raker di kantin.”

Pak Dosen, I Love You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang