Bima dan Elina

8.8K 303 27
                                    

Beberapa mahasiswi berdeham saat Bima melintas. Namun, pagi ini dosen muda itu tetap memasang wajah kaku, meski sesekali senyuman terkembang di bibirnya.

“Ehm ... itu senyum biasa aja kali, Pak. Gak usah manis banget kek gula jawa!” seloroh seorang gadis berbaju oranye.

“Duh ... Pak. Bapak kakaknya Elsa, ya? Deket sama Bapak kok rasanya dingin-dingin gimanaaa gitu, ya?” Seorang lagi menimpali.

“Eaaa ....” Seruan lain terdengar.

Meski terkenal easy going saat di kelas, tapi berbeda saat berhadapan langsung dengan dosen muda itu. Terlebih saat konsultasi tugas atau bimbingan skripsi.  Mungkin itu sebabnya, beberapa mahasiswi yang awalnya menggoda dengan suara sumbang, akhirnya menaruh segan.

Sebenarnya Bima tidak se-killer yang dibayangkan. Tak jarang, pria itu bahkan menyambangi sekumpulan mahasiswa yang sedang berkumpul dan berdiskusi di taman. Membaur dan bercanda, seolah tak berjarak. Namun, tetap tegas dan berwibawa pada kesempatan lain. Membuat dosen muda itu disegani, dan menjadi idola dalam satu waktu.

“Terima kasih sudah bergabung di kelas hari ini, semoga sepanjang hari kalian menyenangkan,” ujar dosen berprestasi itu mengakhiri kelasnya.

“Asal sama Pak Bima, pasti menyenangkan.” Masih juga ada suara gaduh yang membuat Bima tersenyum sebelum meninggalkan kelas.

Beberapa langkah sebelum mencapai pintu, langkah Bima terhenti. Pria itu berbalik pada gadis berkemeja biru muda yang duduk di dekat tembok.

Merasa tatapan sang dosen mengarah ke tempatnya duduk, membuat Elina  memalingkan wajah. Gadis yang menjadi fokus Bima itu mengalihkan pandangan pada bangunan perumahan di bawah sana, yang tampak bagai kotakan kecil dari tempatnya kini. Lantai sembilan, Fakultas Sastra.

Melihat ada sesuatu, Lisa-sahabat Elina- berdeham. Meminta perhatian dengan menyikut lengan Elina, yang duduk di sampingnya.

“El!” panggil Lisa membuat Elina berjingkat. “Pak Bima tuh, liatin elu!”

“Hah?” Elina mengangkat wajah, melihat arah pintu sambil menelan ludah. Gadis itu merasa jantungnya berdegup kencang saat  berserobok dengan tatap sang dosen. Apalagi, saat Bima tersenyum sebelum pergi.

“Apa itu ancaman?” tanya Lisa sedikit berbisik.

“Tau! Kelas ini sih, pada saklek! Gue juga kan, yang kena! Duh ... andaaai, nilai Tourism gue semester lalu bukan B, pasti gue nggak akan ketemu dia.”

Elina menghela napas saat berucap demikian. Membayangkan akan bertemu dengan Bima siang nanti, membuat dia merasa cemas.

“Lagian elu, B aja ngapain direvisi, sih? Hajar aja! Transkrip lo nggak bakal rusak hanya karena nilai B!” Lisa mencebik.

“Gue harus selese dengan IPK 4, atau nggak akan masuk kualifikasi beasiswa, Lis.”

“Halah, itu si Abel IPK tiga koma, lolos ke Aussie. Ngga nyampe tiga setengah malah.” 

“Gue ngejar lulusan terbaik, Lisa. Mayan kan, angpaunya buat lanjut.”

Lisa mengangguk pelan. Ada iba saat melihat Elina mati-matian mengejar ketertinggalan. Nilai yang nyaris sempurna membuat sahabatnya itu enggan menyerah. Sementara dia sendiri mengulang mata kuliah karena sempat cuti dua semester lalu.

“Ya udah. Goodluck ya, El!”

***

“Sudah direvisi?” Pria di balik meja itu menatap Elina.

“Sudah, Pak.” Yang ditanya hanya mengangguk sembari menyerahkan lembaran kertas tebal, dalam map plastik bening.

Sedikit gemetar, Elina meletakkan map ke meja. Lalu ia mundur selangkah, masih dengan menundukkan kepala karena tak berani menatap lelaki yang duduk di hadapannya.

Pak Dosen, I Love You!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang