ACT I : PARK SUNG JAE (BAB 1)

87 24 21
                                    

Kamu setuju tidak, kalau hidup itu menyebalkan? Aku sebenarnya tidak setuju, tapi ... ada rasa setujunya juga, sih. Alasannya? Nanti, deh, kujelaskan. Kadang-kadang, kita gampang menyimpulkan dengan cepat kalau dunia ini berlaku tidak adil. Bahkan katanya, semakin bertambahnya usia, seseorang menjadi jauh lebih menyebalkan apabila memikirkannya.

Ya, kalau kamu sempat dewasa. Kalau tidak? Hhh ... entahlah, hanya Tuhan yang tahu.

***

Lantunan musik bergenre pop menyebar ke seluruh penjuru ruangan berukuran 8x10 meter persegi itu. Seseorang baru saja menyetel volumenya dengan kencang. Meskipun luas, tidak banyak perabotan yang menghiasi ruangannya. Hanya ada cermin berukuran sepuluh meter menempel di dinding bagian kiri, sepasang lemari berukuran menengah di sudut belakang kanan, berhadapan dengan speaker besar yang tersambung colokan, air conditioner, dan lampu penerangan di langit-langit bercahaya putih. Kalau tebakanmu benar, ini adalah sebuah studio khusus untuk menari. Dance.

Itu karena seorang lelaki berumur 19 tahun sedang menari dengan energik. Gerakan tubuh dan entakan kakinya seirama dengan tempo lagu. Matanya yang rada sipit menatap fokus pantulan dirinya dari cermin. Ia kelihatan menikmati tarian, seakan sudah bersatu padu dengan lagu yang mengalun. Ketika musik penutup berakhir, laki-laki itu melompat dan merentangkan kedua tangan sambil mengambil napas panjang. "Perfect! Pergerakanku sudah semakin ringan dan mengikuti alur," gumamnya pelan. Meskipun kelihatan ngos-ngosan, laki-laki itu tampak tidak berkeringat. Ia berjalan mematikan speaker dengan langkah gontai. "Mungkin butuh dua atau tiga kali latihan lagi, aku sudah siap untuk mendaftar. Ah, sungguh tak sabar."

Baru saja jari telunjuknya menekan tombol power pada speaker, suara derit pintu yang khas menandakan adanya kehadiran orang lain di sana. "Kamu kelihatan bersemangat akhir-akhir ini, Park Sung Jae." Itu suara seorang pria dewasa. Kedengaran kalem dan dalam. "Jujur, baru kali ini aku melihatmu seambisius itu."

Park Sung Jae tersipu malu begitu menyadari kakaknya datang. Ia tertawa kecil sambil menggaruk kulit kepala yang tidak gatal. "Bukankah Hyung sendiri yang mengajarkan padaku untuk terus semangat mencapai tujuan? Menjadi idol adalah impianku sejak dulu. Bagaimana mungkin aku bisa santai-santai saja?"

"Tentu saja" katanya. "Asal kau bisa menjaga kondisi tubuhnya agar tetap fit. Berlatih terlalu keras itu tidak baik, loh. Bisa tua sebelum waktunya karena terlalu sering dipakai berlebihan."

Park Sung Jae hanya membalas dengan tersenyum. Ia kemudian mengganti topik pembicaraan ke arah lain karena sesungguhnya anak itu lebih suka mendengar kakaknya yang bercerita. "Aku lebih tertarik mendengar kabar dari para investor itu ketimbang bicara mengenai rutinitas latihan yang membosankan ini. Ada kabar baik?"

Park Sung Jae saat ini tinggal bersama kakaknya, Park Seo Joon, di sebuah kompleks perumahan yang cukup mewah di kawasan Gangnam. Mereka hanya tinggal berdua. Orang tua mereka sudah lama meninggal, meskipun Park Sung Jae tidak ingat kapan tragedi itu terjadi. Park Seo Joon tidak pernah sekalipun menceritakan hal itu karena akan membangkitkan trauma masa lalu yang mendalam. Park Seo Joon selalu sensitif jika adiknya mulai bertanya dan mengarah ke sana. Pernah suatu waktu ia marah dan mereka bermusuhan hampir tiga hari penuh. Jadi, mempertimbangkan hal itu, Park Sung Jae memilih untuk tidak mengungkit meskipun rasa penasarannya masih menggebu-gebu. Mengapa hanya dia yang tidak tahu mengenai kematian orang tuanya?

Park Seo Joon menghela napas panjang sambil menggeleng. Dari desahan itu, Park Sung Jae tahu belum ada kabar menggembiarakan yang bisa diceritakan kakaknya. "Mereka menginginkan adanya hasil yang nyata, sedangkan itu terlalu dini dan berisiko untuk dilakukan sekarang," jelasnya. "Masalah itu biar aku saja yang memikirkannya, Sung Jae. Kau hanya perlu fokus pada audisimu dua hari ke depan. Aku sangat berharap kau lolos audisi dan jadi idol beneran."

"Kalau itu terwujud, kau akan tinggal sendirian, loh. Bukankah kau tidak bisa hidup tanpa kehadiran adik semata wayangmu ini?" Park Sung Jae menggoda kakaknya.

"Tidak masalah, asalkan kau selalu menjengukku 3 kali dalam seminggu!"

"Hei, mana bisa seperti itu! Yang ada kau membuatku terdepak dengan cepat dari agensi." Park Sung Jae membantah sambil mengambil ponsel pintarnya yang tergeletak di lantai. Ia membuka pengunci layar dan bersara bara mengecek kabar terbaru di jejaring sosial. "Eh, tapi media masih belum lelah menaikkan kasus mantan personil S.T.U.N. Gila banget bahkan kehidupan privasinya jadi terekspos."

"S.T.U.N? Boy group yang menjadi incaranmu itu?" tanya Park Seo Joon. Ia mendekati adiknya karena penasaran dengan artikel yang sedang dibaca.

Park Sung Jae mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan kakaknya. "Aku enggak menyangka bakal separah ini jika terkena skandal. Mengerikan juga ternyata."

"Itu risiko," balas kakaknya. "Api tidak akan muncul jika tidak ada pemantiknya. Lagi pula, yang kutahu orang itu memang tipikal yang 'liar'. Kau paham maksudku, kan? Makanya nanti jadi orang baik-baik saja. Meskipun kadang dibilang membosankan, sih."

Park Sung Jae menatap kakaknya dengan mata menyipit. "Hyung banyak tahu hal-hal seputar idol, ya? Curiga."

Park Seo Joon terperangah sambil mundur menjauhi adiknya beberapa langkah. Ia terkekeh geli melihat wajah penuh selidik adiknya itu. "Aku sempat menjadi fan fanatik sebuah girl group dahulu kala. Sekarang udah enggak, soalnya semakin dewasa seseorang, hal-hal semacam itu tidak lagi berguna. Aku sudah terlalu berumur untuk menjadi fans seorang idol."

"Apanya?! Umurmu hanya beda lima tahun denganku dan kau menganggap dirimu sudah tua? Jangan berdalih, Hyung."

Park Seo Joon tertawa terbahak. Adiknya tidak pernah tahu bahwa ia memiliki ketertarikan dengan hal-hal seputar idol sebelumnya. "Buktinya, aku yang menafkahimu sekarang, kan? Seharusnya kau panggil aku Daddy, bukan Hyung."

"Ogah, banget!"

Pria berambut hitam klimis itu berjalan ke arah pintu utama. Langkahnya tegap dan berirama. Sebelum pria itu menhilang dari pandangan, Park Seo Joon membalikkan kepala memandang adiknya yang berdiri bagai patung di tengah studio. "Pesanku hanya satu. Lakukan yang terbaik, oke! Kalah menang itu biasa, tapi aku lebih menyukai kemenangan."

"Mau taruhan?"

"Boleh."

Park Sung Jae menyeringai. "Kalau aku lolos audisi, Hyung harus cosplay seharian penuh, okay?"

Park Seo Joon terdiam beberapa saat sambil mengeluarkan nada 'hmmm' yang panjang. "Oke, deal! Tapi, jika kau tidak lolos ... kau harus menjadi asistenku selama satu minggu penuh." Di akhir katanya, Park Seo Joon mengedipkan mata.

"Eh, tunggu dulu. Itu bukan pertaruhan yang—"

Dan, pintu studio tertutup.

***

Park Sung Jae menatap langit-langit kamarnya yang bercahaya temaram. Malam ini, angin berembus sedikit kencang membuat gorden jendela yang putih melayang serupa hantu. Dua hari lagi audisi pertamanya menjadi seorang idol akan dimulai. Meski begitu, perasaan deg-degan mulai bersarang di hatinya. Ia memikirkan banyak kemungkinan yang akan terjadi, termasuk jika ia mempermalukan dirinya saat audisi. Apalagi audisi ini adalah ajang untuk menggantikan personil S.T.U.N yang keluar. Grup idol yang lagi naik daun di Seoul.

Apalagi, siapa pun yang lolos audisi itu akan langsung menduduki posisi yang kosong. Langsung debut tanpa perlu training terlebih dahulu.

"Jika Eomma dan Appa masih hidup, mereka bakal mendukungku seperti hyung-nim, tidak, ya?" gumamnya kepada dinding kamar. Park Sung Jae bangkit dari tidur dan bergerak mengambil sebuah bingkai foto yang semula tertata rapi di meja belajarnya. Potret wajah bahagia sepasang suami istri. Sebelah tangan Park Sung Jae mengusap foto itu dengan eskpresi lembut. "Aku tidak ingat lagi kenangan bersama kalian, tapi entah kenapa aku begitu rindu," katanya lagi. "Kalian apa kabar di sana? Pokoknya kalian harus nonton aku tampil saat audisi, ya. Janji?"

Tentu saja tidak ada janji yang terbentuk.

Park Sung Jae menghela napas panjang dan kembali menjatuhkan diri bersama bingkai foto yang dipeluknya. Perlahan, ia rileks dan mulai memejamkan mata. Dalam hatinya sekarang, ia berharap bisa bertemu Eomma dan Appa dalam mimpi.

***

Dream StageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang