Keterpaksaan 2/2

423 67 7
                                    




Hidupnya sudah begitu sengsara dengan menjadi yatim piatu. Beruntunglah New mempunyai teman yang begitu pengertian seperti Gun. Tapi masalah hidupnya tidak berhenti sampai situ saja.

Kehamilannya membuat kepala New berdenyut kuat. Pusing lantaran pemaksaan Tay untuk menikah memenuhi pikirannya. Hal itu membuat New gila. Peraturan keluarga terhormat yang menikah tanpa dasar cinta karena semua berlandaskan kehormatan. New menggosok keningnya lelah.

"Apa kelapamu sakit?" Tanya Tay langsung mendekat. Tangannya mencekal New untuk menggosoknya lebih kuat. "Kau harus istirahat. Aku akan bilang ke Singto untuk mengizinkanmu pulang cepat hari ini. Perlukah aku antar? Atau kau mau bantal baru? Ku dengar dari Gun, bantal kosanmu kurang nyaman."

"Tidak. Aku tidak perlu hal-hal yang kau sebutkan tadi. Aku akan kembali bekerja."

"Baiklah, kalau begitu aku akan tetap bilang pada Singto untuk memberikan mu sedikit pekerjaan. Juga, aku akan menghubungi keluargaku membicarakan hal ini. Lebih cepat lebih baik."

New tampak akan protes, tapi dia mengangguk setuju meski agak cemberut. Tak akan pernah ada diskusi yang membuatnya setuju untuk menikah dengan Tay. sekalipun alasannya adalah anak mereka.

Saat New hendak meninggalkan ruangan kesehatan, Tay mendahuluinya, membukakan pintu untuknya. Tunggu?! Apa-apaan ini?! Tay pikir New tidak punya tangan sampai-sampai harus dibukakan seperti itu? New bahkan berjalan ke kantornya setiap hari tanpa mengeluh, beberapa kali mengangkat perlengkapan Product tanpa dibantu, dan sekarang Tay Tawan yang terhormat berpikir jika New tidak mampu membuka pintu hanya karena ia sedang hamil? Serius?!

New melotot murka pada Tay. Dulu dalam ingatannya, Tay Tawan tidak pernah semenyebalkan ini.

New berbelok menuju ruangan divisi Product, namun ketika ia hendak menaiki tangga, Tay muncul beberapa langkah di depannya mengulurkan tangan.

"Apa Kau perlu bantuan untuk naik tangga?" New berusaha menahan emosinya yang hampir meledak.

"Aku bisa berjalan sendiri." Pelototan di wajah New kembali muncul.

"Tapi kau sedang hamil." Tay mengatakannya dengan santai. New benar-benar harus menenangkan emosinya yang akhir-akhir ini tidak stabil. Tapi dengan adanya Tay, ia ingin langsung meluapkannya dengan memukul wajah tampan itu.

New berusaha tidak peduli, ia menatap tajam pada Tay dan melanjutkan mendaki tangga meski Tay tampak mengikuti dekat di belakangnya. Padahal divisi Marketing terletak di bagian barat sementara ruangan New ada di bagian timur. Kenapa Tay selalu mengikutinya?

"Jangan hentak kakimu seperti itu, New." Tapi New benar-benar tidak mau peduli. Ia lanjut menghentak-hentakan kakinya melewati ruangan hingga sampai pada meja kerjanya.

Ia tidak lagi merasa diikuti oleh Tay. Karena pemuda itu berbelok ke ruangan Singto, Manager New.

Wajahnya melengos, tertunduk di atas meja. New bertekad untuk bagun dari mimpi buruknya. Sampai akhirnya ia sadar bahwa semua bukanlah mimpi. Ia hanya bisa berharap jika ia bisa kembali pada kehidupan terdahulunya, meski sendiri ia tidak perlu mengalami masalah pelik seperti ini.

.

.

.

Seseorang datang membawakannya makan siang saat New bermalas-malasan di hari minggu. Dia tidak tahu siapa yang mengirimkannya, tapi ia bersyukur karena sejak pagi tadi ia lapar.

New hamil, ia bahkan tidak pernah berpikir sebelumnya jika laki-laki mungkin bisa memiliki Rahim. Dan tentu saja New adalah yang special. Ia sedikit banyak merasa bahwa semua ini memang salahnya. Jika saja saat itu ia tidak mengambil alcohol, maka ia tidak akan mabuk, ia tidak akan menggoda Tay, ia juga tidak akan pernah bangun tanpa busana bersama Tay.

Emergency MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang