Akhirnya seluruh lapisan epidermis memandikan cahaya hangat matahari. Setelah hitungan malam yang tak terhingga, sampai aku lupa menghitung berapa garis yang berhasil kucoret. Aku menghirup napas penuh kelegaan. Namun, hangatnya matahari ataupun segarnya oksigen yang kuhirup bukanlah segalanya.
Perjalananku masih sangat panjang. Paling tidak, hidupku menjadi lebih baik daripada terkurung di bawah tanah dengan kehidupan yang sangat mengerikan dan brutal. Aku tidak mau terjebak dalam neraka kesunyian ataupun takut terbunuh dalam kondisi tubuh koyak
Aku menginginkan hidup, diperlakukan sebagai manusia yang sesungguhnya. Aku bahkan tidak ingat sejak kapan aku terkurung di sini atau alasan apa yang membuatku harus tinggal di tempat yang tidak layak, lembab dan berebut makanan.
"Jangan terlalu dekat manusia. Berjalan saja dan pastikan mereka bisa melihatmu berjalan paling depan untuk pergi ke puncak-puncak Gunung Jiri," pesan seorang vampir dengan senyum sinis. Dia terus melangkah, mengabaikan aku yang berjalan terseok di belakang.
Mungkin itulah pekerjaan yang harus kulakukan. Mengabaikan orang di di sekitarku.
"Kalau mereka tanya, tak usah jawab. Jalan saja!"
Aku tetap diam, membiarkan vampir angkuh di depan memandu perjalanan kami. Aroma bunga gandum kuda masuk sampai jauh ke dalam hutan klimaks. Sayap burung berkepak menjauh ke puncak pepohonan. Dedaunan semakin merunduk ke bawah. Gelap bersama langit yang perlahan memasuki malam. Aku mendongak, menatap kosong seisi hutan.
"Kau dengar aku?" Vampir itu berbalik. Tatapan tajamnya menghunus seolah tak segan untuk mencabik jantungku sampai menjadi butiran pasir.
Aku menundukkan kepala. Terlalu enggan untuk balas menatapnya. Jika menjawab pun, aku bersalah. Kukertakkan gigi, menahan diri untuk tidak bersuara.
"Kalau ditanya, jawab, Bodoh!" Dia mengertak, lengkap dengan tinju kasar yang tepat sasaran menghantam ulu hati.
Seluruh tubuhku tertekuk 90°. Sempurna sekali membungkuk ke arahnya sambil menahan nyeri yang luar biasa. Dia terbahak-bahak, siap mencincangku tanpa ampun. Namun, aku tak mau mencari masalah di hari pertamaku bebas dari penjara bawah tanah.
Aku segera berdiri tegap, tanpa menunjukkan emosi apakah ini menyakitkan atau tidak. Aku mengatur napas agar terlihat tenang.
"Dasar sampah! Kau harusnya mati saja seperti pendahulumu!" Dia kembali melangkah, bosan karena ucapannya tidak pernah kutanggapi.
Aku mengikuti jejaknya. Menjadi ekor tidak berguna selagi sosok di depanku berlari cepat menuju tempat baru yang bakal menjadi babak kehidupanku yang baru.
Kemarin aku dipanggil oleh pengawas penjara. Sama halnya dengan vampir di depanku, para pengawas yang berjumlah dua orang membawaku pergi ke ruang atas. Aku didudukkan di sebuah bangku panjang. Sikap mereka yang dingin telah mengintimidasi, sehingga aku takut mati kalau berani melirik apapun.
"Hasil tesmu bagus. Kau bisa keluar untuk hidup berdampingan dengan manusia. Untuk sementara, kau berada di pinggiran kota dulu."
Vampir di depan memiliki aura ningrat. Wajahnya bersih sekali, meski cekungan matanya sangat dalam. Dia tidak punya ekspresi selain membaca pikiranku, tetapi aku sama datarnya, tak mau menunjukkan betapa leganya bisa bebas dari kurungan.
"Ada tempat untukmu. Kalau mau, kau bisa menjadi penjaga gunung dan menyelamatkan orang-orang tersesat di sana." Si wajah ningrat bicara.
"Baik." Aku menyahut pelan. Sangat bijaksana meneladani caranya bicara.
"Kau ingat aturannya? Pertama, jangan bunuh manusia apapun yang terjadi. Kedua..." Dia sengaja menggantungkan kalimat, memberi kesempatan untuk bisa kulanjutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝘽𝙡𝙤𝙤𝙙 𝙈𝙤𝙤𝙣 [KIM SUNOO ENHYPEN]
FanfictionMalam membayang. Percik api memantul lewat darah yang menggenang di seluruh Gunung Jiri. Bulan telah muncul, senada dengan api dan darah. Sunoo, yang terpenjara sekian purnama, menatap putus asa ingin kebebasan. Dia memilih untuk mati, tetapi ragany...