Aku takjub dengan vampir yang memusuhiku sejak mengantarku dari ruang bawah tanah setengah jam lalu. Perjalanan menyintas hutan dengan pakaian hiking berakhir cepat. Vampir yang bahkan aku enggan tahu namanya itu, pandai sekali mengubah ekspresi. Wajahnya sangat ceria, seolah paling bahagia kala memanggil nama seseorang yang memanggang daging has. Meski habis menghajarku habis-habisan, kuakui aktingnya sangat berkualitas. Sebagai makhluk kegelapan, aku perlu belajar agar terlihat lebih manusiawi.
Vampir di sisiku menarik kerah jaket hiking milikku. Cengkeramannya cukup kuat, tetapi dia bersikap seolah aku adalah adik kesayangan yang tidak rela dilepaskan begitu saja.
Penuh tipuan.
"Hyungnim, tolong jaga dan ajari dia. Marahi kalau dia berbuat masalah," pesannya semanis madu. Tatapannya lembut dan perhatian, tetapi aku hanya menatap tanpa ekspresi karena tahu bahwa itu hanyalah akting semata.
"Tentu saja. Jangan khawatir. Dia akan aman di sini, kecuali kalau sudah jatuh cinta dengan wanita."
"Aigo. Jangan khawatir. Sunoo bahkan tidak punya teman. Mana mungkin paham tentang wanita!"
Ck. Aku berdecak kesal. Bagaimana aku bisa tahu tentang wanita dan laki-laki. Bagiku, semua manusia tetap sama, terutama karena aku pernah tinggal di ruang yang sangat brutal. Tak peduli gender, siapa yang kuat, dia akan bertahan dalam memperebutkan setetes darah.
"Aku pergi dulu. Kau bekerjalah dengan sungguh-sungguh!" Nada pura-puranya penuh peringatan.
Aku hanya menatap matanya yang berapi-api dalam sekejap. Dia pergi begitu saja, menolak makan malam. Di tengah sekumpulan manusia yang berpesta merayakan ulang tahun kantor, aku hanya berdiri sambil menatap pemanggangan. Bercak merah menyala, kepulan asap dan daging yang mendesis kala lemaknya menetes tak lagi berarti. Ingatanku terperosok jauh ke dalam lapisan epidermis sang pemanggang daging.
Aku menelan ludah. Sangat haus dan parahnya, aku tak tahu apa yang harus kulakukan saat ini.
"Hei, Anak Baru! Kenapa diam saja! Tuangkan soju untukku!" perintah pria paruh baya setengah mabuk. Pria itu yang menahan vampir pengantarku tidak pergi.
"Aku lelah. Di mana kamar tidurnya?" tanyaku langsung.
Keheningan menyebabkan beberapa pasang mata melotot tak percaya campur tidak senang. Salah satunya ada yang berbisik, menumpahkan makian untukku.
"Lantai dua." Salah satu karyawan menjawab enggan.
"Selamat bersenang-senang tanpaku." Aku mempraktikkan sikap manusia secara umumnya. Tidak terlalu membungkuk sempurna. Untungnya tangga terlihat dari jendela. Aku melewati meja besar penuh makanan, tak perlu pula berkenalan dengan para karyawan. Nanti juga kenal sendiri.
"Sombong sekali!"
"Dia pasti tidak becus bekerja!"
"Tinggal di mana dia? Bagaimana bisa menjadi jagawana hutan?"
"Dasar psikopat!"
Aku tidak terpengaruh menjadi topik obrolan. Tidak ada yang terlalu menyinggung, terutama karena kadar hinaannya tidak terasa. Sudah biasa bagiku mendengar kutukan agar mati bunuh diri atau terbunuh. Aroma kertas tua membuatku jauh lebih rileks untuk sementara waktu. Kewarasan membuatku lebih sadar. Rupanya aku tidak siap bertemu manusia. Lebih baik aku berkeliling area dan tidak berinteraksi dengan siapapun. Kakiku menapaki setiap anak tangga yang mengarah ke loteng. Kuletakkan tas ransel, lalu aku mengambil satu-satunya harta benda paling berharga.
Sebuah termos hitam itu kubuka secara perlahan. Kuhirup aromanya bak orang gila. Lalu aku meneguk satu kali penuh perhitungan. Aku tidak boleh serakah. Kalau itu terjadi, aku bakalan mampus.
Aku berbeda dengan orang lain. Tak bisa asal menghabisi manusia. Kutukan itu tidak boleh mengenai diriku sebagai iblis kegelapan semata siapa penggigitnya.
Kubuka tirai jendela. Untungnya jendela loteng menghadap berlawanan dari pintu masuk tadi. Berikut dengan arah angin. Bauran aroma di bawah, termasuk manusia-manusia penyuplai nutrisi vampir tidak masuk ke dalam ruang. Aku duduk termenung menatap langit. Kukasihani diriku yang tak pernah mengingat rupa keluargaku.
Aku pernah punya ibu dan ayah, tapi aku tak pernah tahu bagaimana rasanya dicintai. Seluruh emosi seperti itu telah menguap, disedot tanah bawah yang membeku sepanjang musim dingin.
Siapa dan bagaimana wajah penggigitku? Siapa teman ketua klan yang aromanya sangat menggoda? Seolah aku merindukannya dan dia sangat kubutuhkan?
"Hei! Kenapa jendelanya dibuka?" Aish. Pengangat ruangannya tidak nyala pula. Kita bakalan kedinginan karena kau biarkan udaranya terbuka!" protes seorang pemuda dengan kulit agak terbakar karena sering berada di luar ruangan. Kulihat pula warna kulit antara wajah dan lehernya berbeda. Dia tampaknya paling waras jika belum mabuk, atau barangkali tidak minum.
"Aku benci bau daging panggang," jawabku tanpa sedikit pun menoleh ke arah pintu lagi.
"Tutup saja. Cepat turun dan kau harus mengerti. Kami mengadakan makan malam khusus untuk pekerja baru. Ini yang kau berikan ke kami? Sikap arogan?"
"Makan malamlah tanpa aku. Kau tidak dengar aku lelah dan ingin istirahat?"
"Kalau lelah, kenapa tidak tidur? Besok tugas kita penting. Patroli di beberapa pos untuk mengawasi berbagai aspek. Jangan sampai seisi hutan rusak di tangan tidak bertanggungjawab. Paling tidak, pura-pura tidur kalau sudah berbohong pada pimpinan. Beruntung kau hanya kulihat olehku."
Dia banyak omong dan aku tidak suka pada sikapnya yang mengatur. Memangnya siapa dirinya? Aku ingin mencabik lehernya agar tidaknya tidak bergetar menahan hasrat.
"Namaku Yang Jungwon. Pukul lima pagi, kita patroli. Aku tak mau tahu, kau harus siap saat itu dan menemuiku di depan pondok. Ah, tutup jendelanya. Wakil pimpinan pusat bakal bermalam di sini. Kamar harus hangat, Anak Baru!"
Suara pintu terbanting, membiarkan debu tipis beterbangan. Aku menghela napas. Aku suka ketenangan di tempat ini. Selalu menatap langit malam secara bebas dan menghirup aroma hutan yang membuatku lupa betapa hancurnya hidupku sebagai manusia sebelumnya. Namun, satu-satunya masalah hanyalah manusia yang banyak omong. Apakah orang-orang itu memang ditakdirkan untuk ikut campur terus?
Hidup tanpa teman, tanpa campur tangan orang lain, dan tanpa kebisingan adalah hidup yang maha sempurna. Tak ada alasan selain bertahan dalam damai. Semenjak dibawa ke ruang atas, aku dilatih untuk bertemu manusia. Percobaan pertama gagal saat seorang manusia mengeluarkan darah akibat terluka parah. Upaya itu membuatku gelap mata. Aku hendak mencabiknya saat vampir lain menahanku. Sebagai akibatnya, aku disiksa secara fisik demi menekan ketakutan minum darah. Aku diajari minum secara moderat versi mereka. Darah donor yang disimpan dalam kantong termos. Mau tidak mau, dipaksa untuk bisa minum sedikitnya 100 mili dalam sehari.
Hidup yang menyebalkan karena aku masih tidak bisa mengendalikan dahaga.
"Kau bukan dia. Jangan khianati kepercayaanku bahwa kau akan melakukan hal yang sama, Kim Sunoo."
Wajah ningrat itu mengingatkan. Senyumannya lebar, berikut intonasi bicara yang pelan. Persis saat percobaan ke sekian kalinya, mungkin hari ke-94 uji kelayakan itu.
"Sunghoon-ah!" Petinggi klan lain keberatan dengan ucapan si ningrat.
"Jangan khawatir, Byeomgyu-ya." Sunghoon mengangkat tangan. Sama sekali tidak terpengaruh dengan penolakan-penolakan yang terjadi seiring dilepasnya aku di luar penjara.
"Aku memang bukan dia. Siapa sebenarnya dia? Kenapa semua orang membenciku?"
"Itulah yang harus kami tahu. Siapa kau dan kenapa kau dipilih olehnya." Sunghoon mendorong secangkir gelas untuk diuji, tetapi aku sudah tahan untuk tidak menghabiskan dalam sekejap. "Jangan kecewakan aku. Bulan depan, kalau hasilmu bagus, kau bisa keluar."
Sekarang aku sudah keluar, bertanya-tanya mengapa aku ditakdirkan menjadi seorang vampir. Tanpa punya teman dan tujuan. Hidup seperti ini penuh kehampaan. Aku menutup jendela seiring suara berisik di tangga, terseok-seok akibat kadar alkohol yang mengalir di darah manusia yang bakal sekamar denganku. Aku tidak menyukai darah pemabuk. Rasanya seperti minum api.
*******
Hmmmm.... cerita yang terlalu...... bikin deep.
Banyuwangi, 12 Juli 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
𝘽𝙡𝙤𝙤𝙙 𝙈𝙤𝙤𝙣 [KIM SUNOO ENHYPEN]
Hayran KurguMalam membayang. Percik api memantul lewat darah yang menggenang di seluruh Gunung Jiri. Bulan telah muncul, senada dengan api dan darah. Sunoo, yang terpenjara sekian purnama, menatap putus asa ingin kebebasan. Dia memilih untuk mati, tetapi ragany...