4. GOYAH

59 10 1
                                    

Penelusuran berjalan sangat lambat. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah meniru gerak-gerik Jungwon. Pria itu berjalan secepatnya, kendati napasnya terengah-engah. Keringat bercucuran dari tiap pori-pori kulit yang membesar. Dia tidak pernah berhenti. Langkahnya besar menuju ke depan. Sama sekali enggan melihat ke belakang untuk memastikan apakah rekan perjalanannya ketinggalan atau tidak.

Dia fokus pada jejak manusia yang menghilang dari radar. Punggung Jungwon menciut kala langkahku berhenti. Kedua lubang di pangkal hidungku mengembang. Aroma bunga dan sedikit daging basah segar merebak sebagai satu kesatuan kala angin menerpa diriku.

Jungwon tidak akan curiga kalau aku menghilang. Aroma itu mengundangku agar segera datang. Benar-benar enak sampai liur menggenang di bawah lidah.

Insting telah mengambil alih. Aku berbelok ke utara dan berlari dengan kecepatan alami. Secepat cahaya, aku mengejar aroma tidak lazim itu. Di hutan yang semestinya penuh aroma humus, ada aroma darah segar yang mengalir dari daging yang terkoyak. Selain itu terdapat aroma campuran buatan manusia, seperti alkohol dan bunga. Aroma campuran tidak umum itu yang memicu rasa penasaranku tinggi.

Manusia itu pastilah yang kami cari. Dia pasti bisa kutemukan.

Aku merasa khawatir. Kuputuskan kembali ke rute awal. Aku datang tepat waktu. Sebab sepersekon berikutnya, Jungwon melihat ke belakang dengan raut serius. Aku menarik napas penuh kegugupan. Tidak yakin arti raut Jungwon. Namun, aku bersikap tidak acuh seolah tidak ada apa-apa dan dengan sengaja, aku pura-pura tersandung agar dia tidak curiga.

Jungwon berbalik ke depan. Dia mendekatkan HT ke sisi mulutnya. Setelah memencet tombol untuk menghubungi jaringan terdekat, dia menarik napas.

"Tidak ada di titik 1 KM dari Bidam. Kami akan menuruni lembah." Jungwon berkata cepat, menunggu jawaban.

Aku terdiam sambil menguping. Teknisnya aku tidak ingin tahu lawan bicara Jungwon bicara apa, tetapi telinga vampir terlalu tajam untuk menangkap suara sekecil apapun. Petugas jaga di pondok menyuruh kami terus bergerak.

Jungwon mematikan sambungan dan menyimpan HT ke saku jaket parasutnya. Rute yang ditempuh kali ini berlawanan arah dengan sumber aroma enak itu.

Rasanya terlalu memusingkan untuk mendebat Jungwon soal rute yang dilewati. Namun, aku tidak boleh menarik perhatian dengan sok hebat akan feeling yang dibanggakan manusia. Aku menekan diriku sendiri untuk bersikap pasif dan membiarkan keadaan berjalan semestinya. Kalau korban dibiarkan menderita, biar dia merasakan selama mungkin. Kalau waktunya mati, itulah yang akan terjadi.

Aku tidak ingin mengubah apa-apa dengan sikap sok pahlawan.

Lembah di depan sangat curam. Rute itu bukan rute yang mudah dilewati. Namun, Jungwon memutuskan untuk turun. Barangkali korban jatuh di lembah dari punggung bukit.

Jungwon sama sekali tidak lelah. Dia berpengalaman menyusuri hutan-hutan di Gunung Jiri. Irama napasnya yang teratur menunjukkan bahwa kondisinya sangat prima. Dia selalu siaga untuk kondisi apapun.

Suara kedip di HT membuat Jungwon berhenti. Aku menggerakkan bahu agar terlihat terengah-engah. Apapun gerakan pemuda itu, aku hanya meneladaninya.

Betapa enak menjadi manusia. Bersikap apa adanya. Lelah bila terlalu menguras fisik. Tenang bila beristirahat.

"Korban masih belum terlihat," lapor Jungwon tenang, tetapi aku menyeringai ketika suara di seberang memerintahkan kami ke utara, alias ke sumber aroma yang kumaksud tadi.

"Baik. Kami akan pergi ke sana melalui lembah. Over!" Jungwon lagi-lagi mematikan sambungan komunikasi.

Kondisi medan lebih sulit untuk dilewati. Di antara bebatuan berlumut dan riak sungai kecil yang dingin, seluruh pandangan kami memindai area. Jungwon sangat ingin menemukan korban itu. Namun, bagiku sendiri, aromanya masih jauh.

Semakin dekat, aroma itu meninju tanpa ampun. Jauh lebih dahsyat dibandingkan aroma manusia tanpa luka. Aku mengernyitkan dahi penuh siksa. Berat sekali untuk tidak goyah. Saat titik pandang Jungwon menemukan obyek yang dicari berjam-jam sejak sebelumnya, aku membuang napas. Dia tidak bisa berlari menerjang bebatuan agar tidak tergelincir. Selain bakal cedera parah, usahanya sia-sia bila menyebabkan kematian korban.

"Nona, bangun!" Jungwon memanggil sosok yang tergeletak di antara celah bebatuan yang agak tinggi, agak jauh dari pinggiran sungai. "Anda baik-baik saja?"

Korban itu tidak menjawab. Dia terkapar pingsan dengan kondisi memprihatinkan. Kakinya diikat oleh slayer. Dia pasti tahu pertolongan pertama pada lukanya dan terus bergerak sampai akhirnya pingsan.

Aroma itu membuatku terkejut. Aku benar-benar ingin mencicipi darahnya yang membeku diterpa udara gunung.

Jungwon mengecek detak nadi di leher, memastikan kondisi wanita pendaki itu. Tanpa menyentuh kulitnya pun, dari gerak dada korban saja, aku tahu dia masih hidup.

"Lapor, korban sudah ditemukan di titik 5 KM tenggara ngarai. Kondisi terluka serius. Segera kirim helikopter. Over!"

Laporan itu terdengar sayup-sayup. Mataku terkunci pada detak jantung yang melemah. Wajah wanita itu sudah pucat kehilangan darah.

"Apa yang kau lakukan? Keluarkan tandu daruratnya!" gertak Jungwon. Dengan tangkas pula, Jungwon mengeluarkan penyangga leher untuk dipasangkan ke leher korban.

"Kim Sunoo! Sadarlah! Ada pasien yang harus diurus!"

Aku tersentak. Godaan darah wanita itu benar-benar kuat. Seluruh tubuhku kali ini tremor. Seluruh jaringanku menjadi tegang. Aku menunduk, benar-benar ingin menerkam daging yang terkoyak dari luka besar di paham korban. Bibirku membuka. Aku goyah menghadapi cobaan berat di tengah hutan.

Aku bisa menghabisi wanita itu, juga Yang Jungwon.

"APA KAU GILA?" Suara Jungwon menggelegar. Aku mengerjapkan mata penuh keterkejutan.

Dengan segera, kukeluarkan tandu lipat dari dalam tas punggung. Aku memang vampir, tetapi terlatih melakukan pertolongan pertama.

Setelah memindahkan pasien ke tandu dan memberi selimut agar dia tidak kedinginan, deru bising dari langit memekakkan. Helikopter muncul dengan bising dan tidak bisa mendarat. Kondisi hutan penuh bebatuan, mustahil bisa dilakukan. Karena itu tim SAR dikirim. Sebanyak dua orang menurunkan tali agar dikaitkan ke tandu, sementara anggota lain meluncur turun untuk memberi bantuan medis. Dia mengambil alih dan memasang banyak pengait ke tandu, agar korban diangkut sesegera mungkin secara aman tanpa terjatuh.

Korban itu diangkat dengan pelan, tetapi berhasil memasuki helikopter. Deru bising dari baling-baling akhirnya menghilang, sementara kegelapan menguasai langit.

Sudah malam rupanya.

"Korban telah dievakuasi. Over," tutup Jungwon penuh kelegaan.

Jungwon bernapas terengah-engah. Dia mengeluarkan air mineral dan meneguk isinya. Tampak kehausan mengejar waktu sejak pagi tadi. Tanpa sepatah kata pun, kami pergi ke pondok jaga terdekat. Akan lebih mudah keluar dari hutan dan memperoleh tumpangan kendaraan. Dia sangat lega bisa menemukan korban.

Itulah tugas utama yang diemban. Memastikan keselamatan manusia, hewan dan tumbuhan di Gunung Jiri. Namun, anehnya aku tak mengerti akan hal itu. Pikiranku tersangkut di darah korban.

Aku ingin minum darah sekarang.

𝘽𝙡𝙤𝙤𝙙 𝙈𝙤𝙤𝙣 [KIM SUNOO ENHYPEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang