Aku lega pondok itu terbentang di depan mata. Punggung bukit menjadi halaman belakang, sementara beberapa kendaraan masih terparkir di halaman depan. Pondok jagawana Hadong masih ramai beberapa orang. Tim SAR, pemadam kebakaran, petugas medis, polisi dan pejabat lokal masih berkumpul membicarakan masalah orang yang hilang tadi. Jungwon mendapat sambutan paling meriah, sebab dia yang datang lebih dahulu.
Sedangkan aku butuh beberapa waktu untuk menyempatkan diri minum darah donor. Sensasi menenangkan menyiram tenggorokanku, sehingga perih yang menusuk di seluruh tubuhku menghilang. Aku siap untuk menghadapi manusia tanpa harus hilang kendali.
Kenyataannya berbeda. Semua orang bertepuk tangan hebat ke arahku.
Aku mencari Jungwon, penasaran dengan situasi yang terjadi. Namun, Jungwon tidak acuh. Dia duduk di antara barisan orang-orang sambil melahap jajangmyun.
"Ini dia, pahlawan kita. Anak baru yang luar biasa. Hari pertama sudah dapat misi besar. Kau pasti bakal sukses, Nak!"
Aku tidak mengenal sosok kebapakan yang menyambut kedatanganku. Mereka terus mendorongku duduk di meja yang terpisah dengan Jungwon. Aku dipaksa menerima gelas, sementara yang lain menuangkan minuman. Demi sopan santun, aku minum. Tak ada rasa, tetapi aku mengernyitkan dahi pura-pura kalau minumannya lezat.
"Kim Sunoo, kau bakal jadi andalan kami selanjutnya. Untuk keselamatan warga Hadong!"
Gelas-gelas terangkat untuk menyoraki kehadiran anggota yang terlambat datang. Walaupun petugas jagawana datang saat ikut menyelamatkan korban, tetapi kamilah yang pertama kali menemukan kehadiran wanita yang menghilang. Dia masih berada di rumah sakit dan menjalani perawatan intensif akibat luka yang parah. Selain itu, menemukan korban dalam kondisi selamat adalah prestasi yang luar biasa bagi seluruh tim jagawana. Akan lebih menyakitkan lagi, bila kami terlambat menemukan dalam keadaan meninggal dunia.
Antara hidup atau mati, aku tidak peduli. Manusia sama saja. Hanya aliran darah yang memercik penuh godaan sepanjang waktu. Aku tetap terdiam ketika semua orang bersuka ciita dengan satu penyelamatan. Mungkin inilah hiburan utama setelah dilanda kecemasan yang panjang akan kondisi wanita yang jatuh ke tebing.
Menjadi seorang jagawana, tidak terlalu menikmati indahnya hutan. Ada kalanya harus bertindak cepat ketika terjadi situasi yang lebih rumit. Seperti yang aku alami hari ini.
Menghilangnya pendaki merupakan beban kerja yang tidak diinginkan.
"Terima kasih kau kembali dalam keadaan utuh," ucap ketua tim penuh rakyat syukur. Aku mengangguk sekali dan menatap Yang Jungwon.
"Jungwon Hyung yang menemukan wanita itu lebih dahulu. Bukankah dia harus mendapatkan sorotan?" tanyaku.
Kelak tawa merebak sepanjang ruang foto
"Anak ini tahu cara bercanda. Tentu saja kalian akan mendapatkan bonus. Sekarang waktunya merayakan sisa malam yang panjang." Ketua tim mengacungkan gelasnya yang terisi soju. "Kalian besok boleh libur."
"Aku tidak akan libur, Ketua," ucap Jungwon. Dia tidak terkesan dengan hadiah menyenangkan itu.
"Aku juga." Aku menimpali ucapan Jungwon.
"Kalian ini. Ayolah, Punk!" Ketua tim tidak senang.
Aku kembali mengamati Jungwon. Entah apa yang ada di kepalanya, sehingga menolak libur kerja. Akan tetapi, dia bekerja keras keras demi hutan yang sangat luas ini.
"Anak baru yang luar biasa. Kau hebat. Teruskan semangat seperti ini sampai nanti."
Makan jajangmyun berakhir dengan cepat. Beberapa orang memilih untuk tidak minum karena bertugas membawa kendaraan. Sementara yang lainnya teler.
Aku kembali ke basecamp. Seluruh tubuhku rata dengan permukaan lantai yang hangat. Aku membelakangi beberapa pegawai yang bermalam. Namun, aku tidak bisa tidur. Aku meneguk sebotol darah bekal untuk menyokong rasa haus yang menyeruak. Akhirnya stok perbekalanku habis.
Apakah aku bisa kembali ke kota untuk meminta darah lagi? Berada di pondok saja sudah berat dengan beberapa manusia penjelajah, apalagi di kota yang jumlah penduduknya banyak. Mampukah aku menahan diri agar tidak membantai manusia?
Aku tidak tahan memikirkan hal ini.
Seluruh hutan isinya sama saja. Hanya ada gemerisik dedaunan, batang pohon yang kesepian, serta kekosongan purba alam yang tak terjamah.
"Kenapa malam tak pernah berakhir?"
Aku menggumamkan pertanyaan bodoh itu ke langit. Merasa sangat kesepian.
Bukannya berdiam diri, aku meluncur bebas menuju hutan. Berkelana mengintai kesepian panjang. Namun, aku menyukai kesepian itu. Tidak ada siapa-siapa di sana. Aku tidak perlu menampakan wajah paling bahagia ataupun sedih. Aku hanya bisa menampakan wajah datar, karena memang tidak ada emosi apapun yang bisa mewakili perasaan secara tepat.
Dedaunan yang bergoyang, hewan yang memekik dari kejauhan, ataupun gemerisik air terjun di punggung bukit, bercampur menjadi musik malam. Aku menatap bulan yang bersinar terang. Cahayanya menjadi pemandu dalam setiap langkahku untuk berkelana.
Namun, lagi-lagi aku mencium bau menyengat tidak alami. Seperti sebelumnya saat mengendus bau korban tersesat, kali ini bau asing yang familiar, tetapi jauh berbeda.
Hidung kembang kempis, berusaha mengenali sumber bau itu. Aku tidak bisa menahan diri. Kutelusuri arah angin yang membawa sumber bau asing itu. Namun, tidak ada apa-apa di sana.
Besok aku diizinkan tidak kerja. Artinya, aku bebas meninggalkan kota Hadong.
Lebih baik punya beberapa liter darah lagi sebagai perlindungan, dibandingkan aku menggila sebagai monster haus darah.
Aku tahu bahwa aku dibenci semua orang hanya karena penciptaku memiliki impian buruk dan bertentangan dengan prinsip klan umumnya. Namun, aku tidak kenal siapa penciptaku ataupun sempat berinteraksi. Semua orang mengenaliku berkat ucapan seorang wanita yang sedang tertidur dan kini dijaga amat ketat. Pasangan ketua klan itu sekarat dalam perkelahian terakhir.
Aku tidak mau mati sebelum bicara dengan saksi yang tahu siapa penciptaku itu.
Pepohonan yang rapat kali ini berubah menjadi jarang. Cahaya terang dari lampu-lampu menjalar di segala sisi. Aku menemukan jalan raya yang sepi. Aku tidak pernah melewati jalanan ini, tetapi menyenangkan rasanya bisa menjelajah sebentar.
Tidak ada kendaraan yang lewat. Aku terus melangkah sampai tiba di pedesaan. Mobil-mobil mulai berseliweran. Rumah-rumah memiliki kehidupan dengan tiap penghuni sedang makan malam atau baru pulang kerja. Tenggorokanku terbakar.
Namun, sebagai sosok yang membaur dengan manusia, perbekalan yang kupunya bukan hanya sebotol darah saja. Aku punya uang untuk membayar taksi.
Lucu sekali bahwa aku tahu berkat video-video buatan manusia dari kotak hitam bernama televisi. Kalau aku naik, aku harus membayar. Tujuanku adalah pergi ke Seoul, di mana sebuah kastil yang direstorasi ulang setelah insiden terbakar hebat beberapa tahun lalu.
Aku memejamkan mata sepanjang perjalanan menuju kota. Sopir menyarankan aku pergi ke stasiun untuk jalur kereta yang lebih cepat. Namun, aku tidak punya keberanian untuk menaiki kereta yang sistem pembayarannya jauh lebih rumit dibandingkan taksi. Sopir itu tersenyum semakin lebar saat kulempar gulungan uang kuning yang tebal.
Semakin dekat dengan tempat tinggal ketua klan, semakin besar rasa hausku untuk mencicipi darah manusia di dalam botol-botol yang mengenyangkan itu.
Haiiiiiii..... apa kabar? Lagi ramai fenomena gerhana bulan total yang malam ini bakal hadir di Indonesia. Kotamu sudah tampak belum gerhanannya? Di tempatku mendung. T.T gerimis pula woooi.
Jadilah tadaaaaa, satu bab rilis sebagai obat kangen lama nggak nulis FF.
Banyuwangi, 08 November 2022
17.17 WIB
KAMU SEDANG MEMBACA
𝘽𝙡𝙤𝙤𝙙 𝙈𝙤𝙤𝙣 [KIM SUNOO ENHYPEN]
FanficMalam membayang. Percik api memantul lewat darah yang menggenang di seluruh Gunung Jiri. Bulan telah muncul, senada dengan api dan darah. Sunoo, yang terpenjara sekian purnama, menatap putus asa ingin kebebasan. Dia memilih untuk mati, tetapi ragany...