🌹 Tiga 🌹

1.5K 135 1
                                    

Author POV

"Bunda ..., hiks ..., hiks."

"Sayang kamu kenapa?" Bunga langsung membuka matanya lebar saat mendengar suara tangisan putranya.

"Nenek Bunda. Nenek sakit ...," ujar putra Bunga dari ujung sana.

"Oke, Bunda akan segera pulang. Kamu tenang ya, tunggu Bunda."

Setelah menenangkan putranya, Bunga bergegas mengganti pakaian. Dia akan segera pulang menemui putranya di kampung.

"Puti! Puti!" Bunga mengetuk pintu kamar sahabatnya. Dia akan pamit pada Puti sebelum pulang ke kampung halamannya.

Sepertinya Puti tidur nyenyak, dia tidak mendengar panggilan Bunga, jadi Bunga memutuskan menulis pesan di sebuah kertas untuknya dan di simpan di depan pintu kamar Puti, berharap setelah wanita itu bangun membaca pesan tersebut.

Sekitar dua jam, Bunga tiba di kota Bogor. Kota dimana putranya tinggal selama ini. Banyak akses transportasi jurusan Jakarta-Bogor, Bunga sendiri memilih kereta rel listrik (KRL) untuk menempuh perjalanan ke kota hujan tersebut.

Bunga melihat sudah banyak orang ketika dia tiba di rumah, bendera kuning juga sudah terpasang di depan rumahnya. Tubuh Bunga tiba-tiba lemas melihat sosok yang terbujur kaku, dia langsung berhambur memeluk jenazah wanita yang telah membesarkannya.

"Ibu ...." Tangis Bunga pecah.Dia berencana membawa ibu dan anaknya ke Jakarta. Tapi takdir berkata lain, Tuhan terlebih dulu memangil sang ibu ke pangkuan-Nya.

Bunga terus mencium seluruh permukaan wajah ibunya yang sudah mengenakan kain kafan. Yang Bunga tahu ibunya tidak pernah mengeluh apa-apa padanya. Wanita itu terlihat sehat waktu terakhir kali Bunga pulang.

"Bunda!" seru seorang anak laki-laki, dia langsung memeluk bunda-nya, terlihat mata kecil itu bengkak karena sepertinya terlalu lama menangis.

"Bunda ada di sini, Sayang." Kini Bunga memeluk erat putranya, hanya dia satu-satunya penyemangat hidup Bunga.

****

Bunga POV

Ibuku sudah di makamkan di pemakaman umum yang ada di kampung ini. Aku masih belum percaya jika wanita yang membesarkanku selama ini kini telah pergi untuk selama-lamanya dari dunia ini.

Ya walau dia hanya ibu angkatku, tapi dia yang telah memberikan cinta dan kasih sayang seorang ibu untukku dan putraku selama ini. Ibu kandungku sendiri sudah meninggal dunia sehari setelah melahirkanku ke dunia, itu yang ibu angkatku bilang, sejak saat itu dia yang merawat dan membiayai hidupku. Aku belum pernah bertemu dengan ayah kandungku, karena semasa hidupnya ibu tidak pernah banyak cerita siapa laki-laki yang menjadi ayahku.

"Bunda, sekarang Abi sama siapa kalau Bunda kerja." Putraku tidak mau jauh dariku sejak kami pulang dari pemakaman.

"Abi akan ikut Bunda ke Jakarta. Mau 'kan?" Dia mengangguk. Aku pun kembali memeluk putra tunggalku itu.

Rafa Fabian Syah, nama yang aku berikan pada buah hatiku dengan mantan suamiku Mas Abi. Ya aku sengaja memanggilnya Abi seperti aku memanggil ayahnya. Mas Abi sendiri belum tahu jika Abi kecil ada di dunia ini. Aku tidak pernah memberi tahu laki-laki itu kalau dia punya anak denganku. Biarlah, kalau sudah waktunya pasti dia akan tahu sendiri tentang keberadaan Abi kecil yang kini berusia sembilan tahun.

Kami tinggal di kota ini sejak sepuluh tahun lalu, tepatnya setelah aku berpisah dengan Mas Abi. Di sini memang kampung halaman ibu, banyak saudara-saudara dia di sini. Mereka semua baik padaku dan Abi kecil, aku beruntung bisa hidup di tengah-tengah mereka.

"Kapan kita ke Jakarta, Bund," tanya Abi, sebelumnya dia selalu menolak permintaanku jika aku mengajaknya tinggal di Jakarta. Katanya dia lebih senang tinggal di sini karena teman-temannya banyak.

"Setelah surat-surat perpindahan sekolah Abi beres, kita akan ke Jakarta,"

Satu lagi Abi termasuk anak yang cerdas, selalu menjadi juara kelas bahkan juara umum di sekolahnya, selalu menang jika ikut lomba cerdas cermat. Selain semua wajahnya yang di turunkan pada Abi kecil, otak Mas Abi juga ikut turun pada putranya. Aku tahu Mas Abi orang yang cerdas tak heran jika putranya juga cerdas seperti dirinya. Tapi aku selalu berdoa semoga sifat pembohong ayahnya tidak turun pada Abi kecilku, aku selalu mengajarkan dia untuk selalu jujur, menyayangi sesama, dan yang terpenting tidak boleh menyakiti wanita. Seperti yang di lakukan ayahnya dulu padaku.

Lima hari aku berada di Bogor, setelah beres mengurus surat pindah sekolah Abi, sore ini kami akan berangkat ke Jakarta. Rumah yang selama ini kami tempati memang milik ibu angkatku, aku menitipkannya pada salah satu tetangga kami, mungkin suatu hari nanti aku akan menjualnya, tapi tidak untuk sekarang.

Selama lima hari ini Puti selalu menghubungiku, dia bercerita bahwa para pelangganku pada menanyakan keberadaanku, terutama David, laki-laki itu marah karena aku tidak ada di kelab selama lima hari ini. Aku memang tidak memberitahu siapa pun di mana kampung halamanku, termasuk Puti, dia hanya tahu aku tinggal di kota hujan Bogor.

Sekitar jam sembilan malam aku dan Abi tiba di apartment, Puti sudah tidak ada, sepertinya dia sudah pergi bekerja. Yang aku pikirkan sekarang adalah aku tidak bisa meninggalkan Abi sendiri di apartment jika aku pergi kerja nanti. Mungkin aku akan mencari seseorang untuk menemani putraku selama aku pergi kerja, tapi di mana mencari orang yang dapat di percaya menjaga anakku.

Mungkin untuk seminggu ke depan aku akan libur lagi bekerja, sampai aku menemukan orang yang mau menjaga Abi.

"Malam ini Abi tidur sama Bunda dulu, ya. Besok setelah mencari sekolah baru, nanti kita beli barang-barang untuk Abi mungkin termasuk ranjang baru buat kamu."
Seperti biasa anak Mas Abi itu hanya mengangguk, dia memang tidak banyak bicara, sama seperti bapak moyangnya.

"Mulai sekarang kita tinggal di sini, ada tante Puti juga tinggal bareng kita,"

Abi dan Puti memang belum pernah bertemu, tapi mereka sudah saling kenal. Karena Puti sering ikut nimbrung kalau aku sedang menelepon Abi dan Ibu.

"Bunda kerja dimana? Apa Abi boleh ikut? Mungkin Abi bisa bantu Bunda," pertanyaan Abi membuatku kaget, aku tidak tahu harus jawab apa, selama ini aku bilang kalau aku kerja jadi pembantu di rumah orang kaya.

"Pekerjaan Bunda itu khusus orang gede, jadi Abi ga bisa bantu Bunda.
Lagi pula bekerja itu tugas Bunda biar Bunda yang cari uang buat kita, tugas Abi itu hanya belajar, dan mengejar cita-cita Abi. Oke Sayang." Aku mengusap rambut tebal putraku itu, semoga dia mengerti dengan jawabanku.

"Emang kemana ayah, Bunda. Seharusnya kan dia yang menfakahi kita?"

Bersambung

Jangan lupa vote dan komen ya :)

Kamis, 25 Nov 2021
Tuti H Buroh

BUNGA MALAM (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang