Playdate | DPR

119 35 50
                                    

“Lo jangan terlalu deket sama si Asta itu ya, Rin.”

Oh, Tuhan. Jago gak perlu membuatnya lebih jelas lagi, di mata Karina menambah Asta sebagai salah satu kenalannya adalah marabahaya yang harus dihindari sebisa mungkin. Mulai dari peristiwa pertama dan kalimat demi kalimat yang seniornya itu ucap, Karina bisa langsung menyadari seburuk apa hidupnya jika berurusan lebih lanjut dengan seorang lelaki kardus berinisial Asta.

Karina gak bego kali.

“Anaknya ganteng emang, lucu juga. Tapi mending gak usah deh. Bahaya.”

Terdengar dengusan sarkas dari ruang tv, pemiliknya adalah Sesha. “Kalo ngomong suka gak berkaca dulu lo, Go.”

“Beneran, Sha. Si Asta tuh gak baik buat—”

Sesha menggelengkan kepala dan mengangkat kedua tangannya, menahan kalimat Jago selanjutnya. “Bukan cuma Asta, lo juga bahaya. Jauh lebih berbahaya malahan dari si Asta itu.”

“Woasu! Gini-gini gue sayang kali sama Karina! Mana mungkin gue tega nyakitin adek sendiri!” Jago kemudian berpaling dan memasang air muka sangat manis pada Karina yang nampak tak berselera. “Beneran, Karina! Bang Jago sayang banget sama Karina!”

 “Beneran, Karina! Bang Jago sayang banget sama Karina!”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Ngomong kaya gitu cukup ke Teh Ria aja ya, Kang. Karina mah gak mempan digituin, sori aja.”

Sontak balasan menohok Karina disambut tawa meriah Sesha, Gading, dan Ria yang baru saja kembali dari mengambil makanan ringan. Gadis bertubuh kecil itu menepuk pundak Jago yang tampak merosot, kecewa.

“Yang sabar ya, Bang. Namanya juga Karina,” begitu tutur Ria.

“Karina, yang kamu lakukan kepada Abang itu sungguh keji!”

Karina tertawa seadanya diiringi langkah malas menuju kamarnya dan memilih mengabaikan sikap dramatis dan hiperbolik Jago yang masih berlutut di belakangnya. Setelah pamit istirahat cepat, Karina menutup pintunya rapat-rapat. Tubuh langsingnya otomatis meregang ketik menyentuh permukaan ranjang yang cukup empuk. “Home sweet home,” lirihnya dengan mata terpejam.

Bayangan tugas yang menumpuk, email tak terbalas mengenai permintaan magang, juga rentetan pesan teman-temannya yang belum sempat dibalas menghantui acara malas-malasan Karina. Helaan napas menjadi bukti, betapa lelahnya hari ini untuknya.

Diam-diam Karina sering merutuki orang yang seenaknya melabeli orang cantik akan hidup mudah. Karina bukannya gak sadar diri dia memiliki paras di atas standar kecantikan, tapi faktanya wajah cantik tidak mampu mengangkat setidaknya sepuluh persen dari beban hidupnya saat ini.

Bukannya untung, dia malah sering kenal apes karena wajahnya yang kata orang-orang sangat cantik.

“Kalo Gigi tau, kayaknya gue dihujat abis-abisan sama dia kali ya.” Gadis itu bermonolog, dengan kedua tangan terangkat dan saling terkait pelan satu sama lain. Matanya menatap kosong langit kamar.

PlaydateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang