Playdate | Gengsi

31 13 15
                                    

Hari ini Asta kembali menekuni tugas akhirnya sebagai mahasiswa. Mumpung dosennya baru pulang dari ibadah umroh, jadilah ia menyambangi beliau guna konsultasi skripsi. Biasanya dosen pembimbing utama Asta sangat garang. Kesalahan sekecil tanda baca atau salah ketik satu huruf yang biasanya terlewat pun akan dicecar sampai ujung dunia.

Namun, berbekal percaya diri dan harapan bahwa mood beliau masih bagus sepulang dari tanah suci membuat Asta memberanikan diri. Setidaknya kali ini ia tidak akan kena semprot berkali-kali seperti yang lalu. Semoga saja.

"Instrumen penilaian kamu masih rancu, Gusti. Banyak salah ketik tanda baca di teori sekunder bab 2 dan sepertinya responden kamu juga kurang variatif."

Tetot. Dugaannya tidak sepenuhnya salah, namun tidak juga benar. Catatan hitamnya masih lumayan, dan bau-baunya akan ada penambahan revisi besar. Asta gak siap mengalami stres tingkat dewa ke sekian kalinya.

"Baik, Pak. Tanda baca dan kesalahan ketiknya bakal saya revisi langsung hari ini. Instrumennya sejujurnya saya juga belum terlalu yakin."

"Loh? Terus kenapa sudah ambil sampel responden?"

Mati lu, batinnya panik. Congor asal bunyinya ini kadang impulsif. Sayangnya gak di waktu yang tepat. "Karena saya perlu lihat hasilnya secara umum dulu, Pak."

"Hmm." Semoga saja dosennya ini gak marah. Semoga, ya Tuhan. "Kamu segitu ngebetnya lulus cepat?"

"... Emang ada yang gak mau lulus cepet, Pak?"

Asta terdiam sehabis bertanya. Dosennya juga diam. Mereka tatap-tatapan selama beberapa detik sebelum terdengar kekehan jenaka dari beliau. Astaga, jantungnya hampir bertukar posisi dengan ulu hati saking groginya.

Sepasang mata gelap dosennya menatap Asta, tatapan lembut dan sayang pada anak. Ia kenal Asta sejak maba (mahasiswa baru). Anak itu sangat bersinar. Bukan hanya dari fisik dan kelakuan nyelenehnya, tapi juga pola pikirnya yang kadang inovatif namun terkesan terburu-buru.

"Kamu pernah marah sama saya?"

Waduh apakah ini akhir hidup skripsi gue? Begitulah kiranya suara hati Asta.

"Saya paham kalau selama menjadi pendidik di sini, banyak mahasiswa yang gak senang sama saya. Wajar saja. Sudah tua, suka mengomel gak jelas, sangat kolot, dan alasan lainnya. Hanya saja saya gak mau adu argumem dengan opini gak berdasar." Asta menatap dosennya penuh perhatian, mencoba memahami maksud serta tujuan ucapannya mengarah ke mana. "Tapi, saya baru-baru ini sadar kalau hal seperti itu harusnya dijelaskan supaya orang-orang gak salah menafsirkan tindakan dan kepribadian saya. Waktu saya umroh kemarin, saya dapat pelajaran berharga soal awareness ini. Makanya, sekalian ketemu kamu saya mau meluruskan."

"Meluruskan citra Bapak atau menjelaskan sosok bapak yang sesungguhnya seperti apa?" tanyanya langsung.

"Keduanya." Sang dosen tersenyum simpul. Sebuah senyum yang langka dilihatnya selama hampir lima tahun kuliah. "Omelan saya, amarah saya, dan hal jelek lain yang pernah kamu juga rekan mahasiswa lain alami itu adalah bentuk kepedulian. Saya sejak dulu gak bisa mengutarakan kepedulian saya pada orang sekitar dengan cara yang baik. Karena yang saya tau ya cara yang selama ini saya lakukan."

Gengsi itu nyata. Bukan sekadar idiom atau inspirasi lagu. Kadang besar kecilnya gengsi memengaruhi kehidupan sosial seseorang. Mungkin bagi beberapa orang gengsi adalah batasan mereka berperilaku, bagi sebagian lainnya itu bentuk paling baik melindungi diri sendiri.

"Sayangnya saya keliru. Untungnya Tuhan masih baik hati memperingati saya dengan cara yang baik." Senyum dosennya semakin cerah, air mukanya juga. "Saya gak perlu menutupi kepedulian saya dengan amarah karena itu bukan hal yang harus ditutupi. Biar orang yang dipedulikan tau, perasaan saya sebenarnya. Juga supaya mereka gak salah tangkap dengan tindakan saya. Kalau sudah terlambat dan kadung tidak bisa diperbaiki, tinggal penyesalan yang akan menemani saya seumur hidup nanti."

PlaydateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang