Asta gak menyangka, acara kumpul bersama teman-temannya yang ingin ia hindari malah membawanya bertemu Karina, Sang Dewi. Jiah, persis lagu solois Indonesia saja. Tapi serius! Sosok unreal seperti Karina memang cocok dipanggil begitu. Kalian harus liat langsung sendiri biar tau.
Oke, kembali ke TKP.
Pertemuan tak sengaja itu tentu saja membatalkan kehadirannya di acara mabar (makan bareng), namun lepas dari itu Asta senang hehe. Setelah pusing berhari-hari memikirkan omongan nyelekit Karina, hari ini mereka ketemu.
Sayangnya, Karina masih menangis sejak tadi. Belum ada tanda-tanda berhenti atau jeda lampu kuning. Hm, kenapa ya? Asta bingung apa yang ditangisinya sebegitu sedihnya. Mau ditanya, takut makin nangis. Gak ditanya, malah makin lama nangisnya.
Ngeri aja wajah mungil Karina berubah jadi bakpao Petak Lima akibat kelamaan nangis.
"Bang, tisu, Bang. Goceng aja." Tau-tau seorang bocah kisaran sepuluh tahun mencoleknya sembari menyurukkan dagangan. Wajahnya begitu lusuh dan ekspresinya lelah. "Tolong dibeli, Bang. Belom makan seharian ini saya, Bang."
Asta melirik bocah itu dan dagangannya beberapa kali lalu mengeluarkan dompet. "Masih banyak dagangannya?"
"Masih," sahut bocah itu agak girang setelah dilihatnya Asta menarik selembar seratus ribuan. "Mau beli berapa, Bang?"
"Satu aja, ngapain banyak-banyak."
Senyum sumringah itu berubah kecut. Pikirnya, buat apa dia merasa senang tadi. Tapi yasudahlah, masih mending ada yang beli.
"Nih."
"Loh, tas saya mau dibawa ke mana??"
"Itu cek dulu duitnya gue kasih berapa." Asta menunjuk gepokan uang lima puluh ribu yang baru ia berikan.
Segera, bocah itu menghitung uang tersebut. Selembar, dua lembar, uang di tangannya masih banyak belum terjamah. Matanya semakin melebar girang. "Bang, ini banyak amat!"
"Sekalian buat ganti tas lo. Besok libur jualan dulu, sekolah aja."
"Gak bisa, Bang. Saya udah berhenti sekolah." Karina terhenti dari tangisnya, memandang Asta dan bocah asongan yang bercakap. "Saya tinggal sama nenek saya doang, dia udah gak bisa jalan jadi saya cari uang buat makan."
"Jangan." Asta mengetik sesuatu di ponselnya kemudian menatap bocah lusuh di hadapannya serius. "Sekolah, jangan cari uang dulu. Belum waktunya lo kerja."
"Ya kalo saya gak kerja saya gak bisa makan."
"Rumah lo di mana?"
"Di perkampungan, Bang, jauh dari sini."
"Yaudah." Asta melirik Karina sekilas, lalu memberikan sebungkus tisu padanya. "Gue anter dia ya, jangan nangis sendirian. Barusan udah gue pesenin ojol. Hati-hati di jalan, Karin."
"Bang—Bang, saya bisa jalan gak usah digendong!"
"Aelah, berisik bener nih bocah."
Karina memperhatikan sosok Asta yang menjauh bersama bocah asongan itu. Tubuh menjulang nan kurus Asta berupaya menahannya agar tak jatuh. Rambut lelaki yang dikuncir itu tergerai akibat karet yang terlepas.
Perlaha kaki jenjang Karina menghampiri lalu meraih karet gelang Asta. Tanpa disadari, ia turut menemani Asta dari belakang. Dalam diam juga penuh kebingungan.
Sebenarnya Asta ini orang seperti apa? Apakah dia orang baik? Atau berusaha baik di depannya agar ia luluh? Di dunia ini tidak ada manusia yang seutuhnya putih, ia tak menampik fakta mutlak tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Playdate
General Fiction"Karina, you are the moon. My moon." "Yes, Asta, because you are the sun. My sun. We're far enough to cross each other's path, so let us stay this way." Cerita tentang Asta, mahasiswa psikologi yang kelakuannya bikin sakit jiwa dan Karina si Ratu Te...