"Bih, bagusan warna yg merah atau yang biru?" Tanya Bianca pada Banyu, mereka berdua sedang berada di toko baju yang sedang mengadakan diskon besar-besaran.
"Kamu nanya aku?" Banyu berbalik melontarkan pertanyaan
Banyu menemani Bianca berbelanja seperti yang dilakukan pasangan lainnya. Meskipun agak malas, tapi Banyu tetap menuruti keinginan Bianca untuk pergi berbelanja walau hanya sekedar menemani.
"Ya, siapa lagi kalo bukan kamu?"
"Nggak usah beliin aku hoodie itu." Tolak Banyu sambil menggelengkan kepalanya, "Lagian itu hoodie buat perempuan." Lanjutnya
"Aku beli ini bukan buat kamu—aku cuma minta pendapat."
"Oh, gitu."
"Jadi, merah atau biru?" Tanya ulang oleh Bianca
"Biru keren sih, tapi merah lebih berani." Jawab Banyu sambil memandang dan mempertimbangkan hoodie yang berada di depannya. "Tapi aku lebih suka hijau stabilo." Tunjuk Banyu sembari berjalan ke arah hoodie yang berwarna hijau stabilo yang ia tunjuk.
Melihat kelakuan Banyu yang memilih warna yang bukan termasuk ke dalam pilihan, Bianca hanya bisa menggelengkan kepalanya. Banyu mengambil hoodie yang ditunjuknya tadi dan memperlihatkannya pada Bianca sambil tersenyum.
"Ini lebih cute, cocok buat kamu."
"Terlalu terang nggak, sih?" Tanya Bianca meyakinkan pilihan hoodie yang dipilih Banyu.
"Nggak. Cocok ini buat kamu—udah bayar, gih, sana."
Bianca menganggukan kepalanya, dipikirnya tidak ada salahnya jika sesekali mencoba memakai pakaian yang berwarna agak sedikit menyala, "yaudah, aku bayar dulu, ya."
Sambil menunggu sang kekasih membayar pakaian yang dibelinya, Banyu iseng melihat-lihat pakaian-pakaian yang berada di toko tersebut, sambil sesekali memegang pakaian tersebut untuk memastikan bahan apa yang digunakan. Ternyata Bianca tidak salah pilih toko, dari beberapa jaket, sweater, atau hoodie yang dipegang Banyu, memiliki kualitas yang bagus, bahkan bahan yang digunakan sangat lembut dan terasa adem saat bersentuhan dengan kulit.
Mata Banyu tertuju pada salah satu hoodie yang tergantung di ujung toko. Hoodie berwarna lilac itu menarik perhatian Banyu ditambah dengan gambar emoticon-emoticon yang menghiasi warna hoodie tersebut.
Melihat warna lilac, seketika pikiran Banyu terlintas nama Fay. Gadis itu sangat menyukai warna lilac. Banyu tersenyum mengingat Fay, hingga tidak menyadari kehadiran Bianca yang berada tepat di sampingnya.
Agak terkesan jahat, mungkin. Ketika sedang bersama Bianca tapi Banyu malah memikirkan gadis lain, meski tidak sengaja gadis lain itu terlintas di dalam pikirannya. Bagaimana tidak, Banyu tidak bisa membohongi perasaannya, saat ini ada dua gadis yang berada di hatinya. Tidak ingin melepas Bianca, tetapi juga tidak ingin Fay dengan yang lain. Itu semua masih Banyu simpan, cukup hanya dia dan Tuhan yang tahu.
"Mikirin apa, sih, kamu? Kok senyum-senyum gitu?"
"Eh, enggak. Warnanya lucu, kayak kamu." Jawab Banyu sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Bianca.
Pipi Bianca menjadi semu-semu merah jambu karena menahan salah tingkat sekaligus malu, ia tersenyum, "Apasih kamu, iih." Elaknya
Banyu langsung mengaitkan jari-jari tangannya ke jari-jari tangan Bianca. Kini mereka bergandengan tangan, layaknya sepasang kekasih, memang sepasang kekasih, bukan? Lalu mereka keluar toko tersebut dan melanjutkan jalan-jalan mengelilingi Mall yang sedang ramai pengunjung, karena memang hari itu adalah hari weekend.
*******
'Jika memang tak' ada harapan, mengapa aku yang harus jadi tujuan'
'Saat hatimu terluka, aku yang jadi obatnya'
'Tanpa pernah kau hargai, cinta dan kasih yang setulus ini'
Berada di dalam kamar dengan ketenangan dan lagu yang berlantun indah di telinga, membuat nyaman bagi sang pemilik kamar. Saat ini Fay sedang mendengarkan lagu yang akhir-akhir ini sering di putar dimana-mana, Rumah singgah - Fabio Asher.
"Mengapaaa, suuuliiittt."
"Apa yang sulit?" Fay tersentak ketika tiba-tiba ada Jena yang sudah duduk di pinggir ranjang tempat tidurnya, ia langsung berhenti bernyanyi.
"Dari kapan lu di situ?" Tanya Fay sambil melepaskan earphone yang sedang dipakainya.
"Dari jaman belanda masih menjajah."
"Lu nggak manggil-manggil gua?" Tanya Fay pada Jena.
Jena yang mendengar pertanyaan Fay sontak saja membuka mulutnya sambil mengerutkan kening, "Heh! Gua dari tadi tuh manggil-manggil, ya, lu nya aja yang budeg!" Emosi Jena.
Fay hanya memberi respon sebuah cengiran, "Ya maaf, kan gua pake aerphone."
Jena menghela nafasnya dengan kasar lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur milik Fay, engga membalas ucapan Fay, Jena memilih untuk memejamkan matanya. Di susul oleh Fay yang berbaring di samping Jena sambil memainkan ponsel.
"Bokap nyokap lu ribut lagi?"
"Gatau deh, gua males balik ke rumah intinya." Jawab Jena.
Jena menarik nafasnya lalu menghembuskan secara perlahan dengan penuh kesesakan di dadanya, "Gua capek, fay. Gua capek." Ucap Jena dengan lirih.
Wajah Fay yang semula menghadap ke arah ponsel, kini ia palingkan agar mengarah ke Jena, "nangis aja kalo mau nangis." Ucap Fay sambil tetap menatap Jena dengan iba.
"GUA TUH CAPEK, HIKS! HKS!" Tanpa aba-aba Jena berteriak.
"BISA NGGAK, SIH, MEREKA TUH KALO MAU RIBUT NGGAK USAH DI DEPAN GUA!!!"
"MEREKA NGGAK PERNAH MIKIR APA MENTAL GUA BAKAL GIMANA?!!!"
Suara Jena diiringi tangisan memenuhi seisi kamar, Fay masih tetap menatap Jena tanpa terganggu dengan teriakan lantang Jena. Biasanya di sekolah Fay akan memukul mulut Jena jika berteriak sangat kencang, tapi kali ini tidak. Karena Fay tahu, saat ini Jena butuh mengeluarkan suara lantangnya dengan segala unek-unek yang mengganjal di hatinya.
Fay mungkin tidak tahu apa yang dirasakan Jena ketika melihat orang tuanya yang selalu bertengkar, tapi Fay paham saat ini Jena butuh ketenangan dan teman untuk berbagi cerita. Dan Fay juga sudah tau, jika Jena datang ke rumahnya tanpa mengabari Fay itu bertanda bahwa keadaan dia sedang tidak baik-baik saja. Maka dari itu, Fay membiarkan Jena menenangkan diri di rumahnya.
"Lo beruntung, fay, punya keluar yang harmonis." Ucap Jena dengan senyum kecutnya.
"Lo juga beruntung, punya bahu yang sekuat baja." Ucapan Fay membuat Jena mengarahkan wajahnya ke arah Fay.
Kini posisi mereka sama-sama berbaring dan saling menatap satu sama lain. Mata Jena kembali berkaca-kaca dan wajahnya sudah mulai memerah, tangisnya akan segera pecah tidak lama lagi,
"faaayyyyy, hiks! hiks! hiks."
Fay memeluk Jena dengan posisi mereka yang masih tetap berbaring di atas kasur, Fay menguatkan Jena dengan menepuk-nepuk pelan punggung sahabatnya itu. Jena menangis dalam dekapan Fay, saat ini hanya Fay yang ia punya. Hanya Fay satu-satunya orang yang bisa memberikan ia ketenangan, ia tidak tahu bagaimana nasibnya jika saja ia tidak pernah bertemu dengan Fay. Bahkan untuk sekedar membayangkan nya saja ia tidak mampu.
***********************
Hai, hai hai, jangan lupa vote and comment, ya!!??
Semoga kalian para readers yang membaca cerita ini, suka yaa!!!
Salam sapa,
Author:)
KAMU SEDANG MEMBACA
waktu
Teen Fiction"gua suka lo. kali ini serius, fay" Fay menatap Banyu dengan tatapan kosong, ia tidak percaya dengan perkataan Banyu barusan. "lo gila, ya?!" Jena terkejut dengan perkataan Banyu "lo udah punya pacar, nyu,-hati lo mau dibagi gitu?!" lanjutnya Fay m...