7

1.8K 453 35
                                    

Orang tua sudah mengenal Alia, namun Erlangga membawanya ke negara tempat orang tuanya tinggal untuk bertemu kedua adiknya yang masih menempuh pendidikan di Bristol.

Bukan tidak ramah dari yang dilihat Erlangga pada sikap Alia, wanita itu masih malu dan agak sungkan. Kedua orang tuanya senang dengan kunjungan calon menantu, dan menyemangati keduanya agar bisa lebih dekat dan segera berkomitmen.

"Kamu tidak nyaman?"

"Orang tuamu sangat baik." Alia tersenyum. "Mereka memang seperti itu?"

"Mungkin." ada ketidakpuasan di hati Erlangga melihat raut Alia. "Mereka lebih dulu mengenalmu, lagi pula kedua orang tua kita kolega." harusnya laki-laki itu memberikan jawaban yang meyakinkan, bahwa orang tuanya memang baik tapi di sisi lain putra sulung Elang ingin melihat usaha calon yang dipilihkan ibunya.

Alia mengangguk. "Benar, mereka orang baik." 

Erlangga bukan dukun yang bisa membaca pikiran orang lain, tapi untuk mengartikan sikap wanita itu ia sangat paham. Tidak ada kemungkinan, melainkan sebuah kejelasan yang ditunggu oleh laki-laki itu.

"Ini pertama kali aku membawa wanita ke rumah orang tuaku, jangan membuatku ragu."

Alia menarik tangan kekasihnya. "Aku hanya gugup."

Tangan dalam genggaman Erlangga sedikit basah dan dingin. "Kamu merasa terbebani?"

"Ini bukan cinta pertama, tapi jika memang kita berjodoh maka akan menjadi pernikahan pertamaku."

Erlangga ingin Alia lebih terbuka lagi. Satu tahun, bukankah untuk saling mengenal sudah cukup? Jika hari ini wanita itu akan membuka tentang pribadinya, maka ia akan mendengar dengan sabar.

Dibanding rasa nyaman atau sebuah rasa, pasangan itu memilih bicara hal yang dikuasai logika.

"Hidup bersama bukan untuk satu atau dua hari, kita akan menua bersama." 

Erlangga mendengar dan menunggu Alia mengatakan cara pandangnya pada sebuah pernikahan.

"Menurut Mas, apa tidak lebih baik kita melakukan banyak hal bersama mulai sekarang, saat menikah nanti tidak ada lagi pandangan yang berbeda."

"Kamu ingin menghentikan hal yang kamu percayai tidak akan terhenti." Erlangga merespons ucapan Alia.

"Setidaknya kita tahu."

Bukan tidak setuju, hanya saja membuat rencana seperti itu tak masuk akal. Boleh masalahnya sama seperti hari ini apakah keadaannya akan sama? Jika hari ini bisa memaklumi ke depannya belum tentu bukankan sangsi itu lumrah pada manusia?

"Kita bisa mencoba, kalau Mas mau."

Tatapan dalam dirasakan Erlangga dari Alia. 

"Hamil, membesarkannya bersama dan menikah."

Susunan terbalik. Erlangga tersenyum tipis. "Kamu anak sulung, orang tuamu pasangan harmonis, adik-adikmu masih kecil apakah ada yang membuatmu trauma?"

Alia menggeleng. "Kita harus saling percaya, itu cara yang kutemukan."

Erlangga meminta maaf. "Aku lama tinggal di barat, tapi aku tetap orang timur Alia."

"Hanya kita yang tahu Mas." 

Erlangga tidak perlu memikirkan. "Sesiapmu saja, kita tidak akan menikah besok." senyumnya menenangkan. "Jangan khawatirkan hal yang bisa membuatmu stres."

******

Sarapan bersama keluarga Erlangga sudah dilewatkan beberapa kali. Kesempatan kali ini Alia mendapatkan pertanyaan dari ibu kekasihnya.

"Sudah memutuskan bertunangan dulu atau langsung menikah?"

"Kami akan memberitahu Ibu secepatnya." Erlangga yang menjawab. Ia menoleh pada Alia dengan senyum menawannya.

Orang tua Erlangga bahagia mendengarnya. "Jaga komunikasi," pesan sang ayah. "Kalian sudah dewasa, orang tua tentunya ingin mendengar kabar bahagia dari anak-anaknya."

Sarapan ditutup dengan kolak manis buatan Eima. Selanjutnya mereka siap mengelilingi kota Bristol di hari terakhir berada di sana. Tidak lagi membahas hubungan, keindahan kota Bristol melenyapkan gundah yang kemarin sempat singgah.

Berjalan saling bergenggaman tangan sambil tanya jawab seputar masa kuliah Erlangga di negara itu. Saling memberi informasi di sela.canda dan tawa. Pancingan Alia, selalu bisa dielak. Ciuman mungkin hal wajar bagi sepasang kekasih, tapi melakukan dengan kesadaran penuh sepertinya tidak bisa. Cukup tangan mungkin.

******

"Mas waras nelpon jam segini?"

Erlangga menggaruk hidungnya menahan tawa mendengar suara Kina dari seberang.

"Kamu sudah mengunci pintu?"

"Tidak ada yang menculikku selain juragan Asmin, Mas!"

Kini tawa Erlangga tak bisa ditahan lagi.

"Ini tengah malam Mas, tolong dong lihat jam sebelum telepon!"

"Tadi aku sibuk, ini baru sempat."

"Tunggu aku bangun kan bisa!"

Membayangkan wajah kesal Kina, tawa Erlangga tergantikan menjadi sebuah senyuman.

"Ngantuk banget ya?"

"Enggak! Merem doang nih!"

Mungkin kalau siang, panjang ceramahnya. Malam begini saja sempat marah-marah. 

Sedikit saja membuat gadis itu kesal maka akan keluar pidato yang tidak akan henti sebelum Erlangga keluar dari apartemen.

"Kina." 

Tidak ada jawaban. Pasti sengaja didiamin, Erlangga terkekeh.

"Kina," panggilnya lagi namun tetap tidak ada jawaban.

Tidak mungkin tidur, karena Kina tidak akan bisa tidur lagi jika sudah bangun. Biasanya, gadis itu akan menonton atau membuka aplikasi baca kesukaannya. Paling sering ya menyetrika tengah malam.

"Syakina Rosalinda."

"Sekalian binti-nya Mas!"

"Ngapain sih, kenapa enggak dijawab?" tanya Erlangga.

"Pipis tadi."  suara di seberang masih terdengar kesal. "Mau ngomong apa?" 

Erlangga tersenyum. Kina memang peka. "Dia mau kami punya anak."

"Terus?"

"Aku tidak bisa."

"Ada yang larang?" suara Kina mulai jernih.

"Kami belum akad." bercerita pada Kina, sedikitnya Erlangga merasa lega, walaupun tidak pernah mendapatkan solusi. Saat ini, Kina lebih bisa dipercaya.

"Ya nikah dulu."

"Itu masalahnya." Erlangga menarik napas dalam. "Dia ingin punya anak dulu, baru menikah."

"Pikiran seperti apa itu? Oh, mungkin aku yang belum dewasa. Jadi, aku belum ngerti." Erlangga mendengar Kina berdeham. "Bagian bikinnya memang enak, boleh dicoba kalau Mas mau, lagian mba Alia juga yang minta."

Kok jadi ke sana?

Wanita di ApartemenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang