10

3.3K 479 73
                                    

Demam biasa tapi Erlangga khawatir dan harus berdebat dengan Kina ketika laki-laki itu akan menelepon kenalannya untuk memeriksa gadis itu. Demam karena kaget, pria itu merasa bersalah. Ia tidak akan mengulanginya, tadi dirinya benar-benar marah melihat rencana matang anak pak Sufyan yang akan pergi dari apartemennya.

Tanpa bicara apa-apa, Erlangga keluar.

Sudah ada Alia di apartemen, ia datang karena Erlangga tidak mengangkat telepon darinya. Syukur saat ia datang tidak ada laki-laki itu dan Kina juga tidak tahu apa-apa karena putra sulung Elora tidak mengatakan apa-apa.

"Aku tidak tahu apa yang ada di kepalamu."

Dikatakan dengan suara lembut, bisakah kata-kata itu dianggap sopan?

"Kamu didatangi laki-laki yang bukan siapa-siapamu, harusnya tidak nyaman kan?"

"Bapak sudah menganggapku sebagai keluarga." setidaknya itu yang terus dikatakan Erlangga padanya.

"Tidak ada hubungan darah." Alia menatap tajam gadis di hadapannya. "Pembantu? Kenapa aku tidak ingin percaya?"

"Sumpah, Mba. Aku pembantunya."

"Apapun statusmu di sini aku ingin kamu pergi."

"Aku belum bisa melakukannya." dengan sangat menyesal Kina mengatakannya. Sirat kecewa Erlangga terlalu jelas.

"Kamu akan menjadi duri."

Dada Kina terasa sakit, duri? "Kenapa Mbak tidak percaya pada Bapak?"

"Kamu harus menjawab setiap aku bicara?" geram sekali Alia pada Kina. Gadis itu hanya perlu mengangkat kaki dari sini kenapa harus banyak drama?

"Kami baru saja bertengkar." Kina terlalu polos, tidak tahu jika hal itu memercik api cemburu. "Aku belum meminta maaf, Bapak pasti masih marah."

"Apa, bertengkar?" Alia tidak percaya, wajahnya merah menahan marah.

"Aku akan pergi nanti malam, tapi Bapak mengetahuinya."

"Kamu bukan siapa-siapa, Kina!"

Kina mengangguk. "Aku juga berpikir seperti itu."

"Jadi kenapa tunanganku harus marah?"

Mereka belum bertunangan, tapi Kina tidak membahas itu. "Tanyakan padanya. Aku juga tidak tahu, dan menurutku ini juga salah. Jika memang harus pergi bukankah aku bicara dulu?"

"Siapa yang meminta pendapatmu?" Alia marah. "Kalau kamu pembantu, kamu bisa pergi kapanpun."

"Aku tidak bisa." lesu ketika Kina menggeleng. "Bapak tidak mengizinkan."

"Aku calon istrinya."

Masih lemas, saat Kina membalas ucapan Alia. "Aku bekerja pada bapak, bukan pada Mba." dan Kina tidak bisa mengatakan alasan yang sebenarnya dan saat mengatakan dirinya pembantu ia tidak berbohong.

"Jadi kamu masih mau di sini?" Alia berdiri. "Aku tidak akan diam saja kalau hubunganku dengan mas Erlangga kenapa-napa!"

Kina tertegun, kenapa Alia begitu takut? Apakah wajahnya terlihat seperti pelakor? "Aku memang cantik Mba, tapi sumpah demi Allah antara aku dan bapak tidak ada hubungan apa-apa."

Cantik? Alia mendekat.

"Kalau kami memang ada apa-apa, mungkin bapak tidak akan mau berhubungan dengan Mba. Percayalah, bapak sering bertanya apa saja saat ingin bertemu Mba bahkan warna sepatu untuk Mba, aku pernah memilihnya."

Oh Tuhan. Kina lancar bicara, tapi keadaannya masih lemah dan tanpa diduga jika kalimatnya barusan meledakkan amarah yang sudah dipendam Alia sejak dari tadi.

"Kamu bangga mengatakannya?!"

Kina terkejut, kenapa Alia marah? "Maaf." gadis itu terlihat ketakutan, apakah dia salah bicara?

"Anggap saja kamu tolol, dan akan kuulangi!" suara Alia parau. "Pergilah, apapun alasan yang membuatmu bertahan di sini tidak baik untuk kami dan aku berjanji akan menjamin semuanya."

Tubuh Kina menggigil, Erlangga sudah meminta maaf setelah memarahinya dan kini Alia, sedang keadaan gadis itu belum membaik.

Rasanya berat, ketakutan Alia dilimpahkan padanya dan alasan Erlangga yang tidak mengizinkannya pergi membuat mereka bertengkar hebat hari ini.

"Aku akan membayar berapapun, pergilah!"

Kina seolah tersadar, jika keberadaannya memang menjadi masalah namun ia belum terlalu dewasa memahami dengan benar.

Jika pergi, Erlangga akan marah namun lebih buruk jika bertahan satu poin yang dilihat Kina dari kegalauannya yaitu hubungan dua orang kekasih itu. Kalau memang pergi lebih baik, ia akan melakukannya.

Tanpa uang dari Alia, ia bisa hidup karena tabungannya cukup banyak.

Ditinggalkan sendiri, Kina berpikir keras. Yang dilakukannya terlihat jahat tapi dibalik itu semua ia menyelamatkan hubungan sang tuan yang telah menolongnya.

Karena memang masih lemah, Kina tertidur di sofa. Syukur gadis itu masih optimis, keadaannya drop karena bentakan dua orang itu. Ini tidak seberapa dibandingkan kebaikan Erlangga padanya.

Tidurnya nyenyak, sedang suhu badan masih tinggi. Mata sembab dan hidung merah, harusnya gadis itu sudah minum obat.

Erlangga yang memindahkan gadis itu ke kamar, menyelimuti dan mengatur pendingin ruangan.

Tidur di samping Kina untuk menemani, tapi matanya ikut terpejam dirayu lelah agar lena bersama gadis itu. Tidak ada sentuhan, dan mimpi kian cepat menyambutnya.

Hari sudah malam, dua insan tidur sambil berpelukan masih ditemani mimpi indah. Hangat tubuh seseorang membuat Kina nyaman, dan dalam tidurnya ia merasa dilindungi.

Seseorang masuk ke apartemen terkejut melihat mereka berada di ranjang dengan selimut yang sama.

Bukan membangunkan, orang itu memilih membuka lemari, kamar mandi dan memastikan keadaan dapur.

Yang ada di pelukan itu bukan Alia, siapa gadis itu ia tidak tahu. Menarik bangku, wanita itu duduk membelakangi cermin menunggu keduanya bangun tanpa berpikir jauh. Bukankah lebih baik mendengar setelah mereka bangun nanti?

Tidak lupa mengirimkan gambar keadaan saat ini pada sang suami bagaimanapun suaminya harus tahu, bukan?

Baiklah, cukup dua jam ia menunggu. Perlahan tapi pasti ia kembali menyalakan lampu utama kamar itu dan langsung mendapat respons dari Erlangga.

Kaget? Tentu, tapi Erlangga tidak tahu cara bangun karena Kina dalam pelukannya.

"Dia sakit." dua kata itu, dikatakan Erlangga tanpa suara membuat wanita yang menunggu sejak dua jam yang lalu menatap datar padanya.

...Tamat...

Cerita lengkap ada di karyakarsa




Wanita di ApartemenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang