16. Pilihan Ganda

355 63 4
                                    

EREN memutuskan banyak hal dalam dua hari ini. Satu persatu keyakinan tumbuh dalam dirinya. Membuat rasa rindunya akan sosok yang selama ini menghantuinya membuncah. Dan perasaan-perasaan itu melemparkannya ke suatu tempat yang selama ini dia hindari.

"Aku lulus," kata Eren.

Dibatasi meja persegi, Eren menatap laki-laki paruh baya yang tersenyum penuh kebanggaan itu.

Sekitar delapan bulan ayahnya dipenjara, tak sekalipun Eren mengunjungi. Selain karena masih tersimpan amarah dalam dirinya, juga karena Eren selalu sibuk. Sibuk mengejar kuliah, sibuk mengejar pekerjaan, sibuk mengejar Levi. Tak tersisa satu ruang pun untuk ayahnya.

Dan dengan pikiran-pikirannya akhir-akhir ini, yang menyesalkan diri nya karena menjadi putra laki-laki yang sedang memandangnya lembut itu, Eren membenci dirinya sendiri. Begitu mudah pikiran yang menyalahkan ayahnya atas segala huru-haranya dengan Levi bisa muncul di benaknya?

Eren menelan ludah.

Grisha menatap putranya yang terlihat gelisah. Sudah lama dia mengharapkan kunjungan ini. Istrinya selalu rutin mengunjunginya pada akhir pekan. Namun putranya tidak pernah terlihat. Grisha tahu Eren begitu kecewa kepadanya. Grisha sendiri masih tenggelam dalam kekecewaan kepada dirinya sendiri karena terjatuh ke dalam kasus seperti ini. Dia sadar bahwa hartanya yang paling berharga sedang berada di hadapannya.

"Kamu nggak pernah mengecewakan Papa, Ren." kata Grisha kelu.

Setengah dari hatinya terharu melihat keberhasilan Eren. Istrinya selalu bercerita bahwa Eren sudah banyak berubah. Bagaimana putranya menjadi sosok yang kuat dan pekerja keras serta menghargai segala yang dia miliki. Setengah dari hatinya yang lain, Grisha masih saja merasa bersalah jika ingat dirinyalah yang menyebabkan istri dan anaknya harus bekerja keras dan menderita.

Tidak tahan lagi, Eren bangkit duduk di sebelah Grisha dan memeluknya, menenggelamkan wajahnya ke pundak ayahnya yang tampak masih kukuh. Tidak ada yang berubah. Ayahnya masih ayahnya yang dulu.

Di dalam hati Eren menyelinap rasa haru, walau ayahnya memang pernah melakukan tindak korupsi, tapi tahu apa Levi soal apa rasanya menjadi anak Grisha Jaeger? Bagi Eren, yang memeluknya ini bukan semata-mata koruptor yang dihujat semua orang, melainkan juga ayahnya sendiri. Kalau Levi berpendapat bahwa semua koruptor itu nista, terserah saja. Eren tidak mungkin mengingkari ikatan antara dirinya dan ayahnya sendiri.

"Besok kamu wisuda, Sayang?" Grisha mengelus pundak putranya. "Mama yang temenin ya?"

Eren mengangguk kecil, menelan seluruh air mata nya. "Papa nggak boleh izin bentar buat dateng ke wisudaan aku?"

"Nanti Papa coba minta izin ya." jawab Grisha, walau tidak yakin akan mendapatkan izin untuk keluar. "Kamu mau apa habis wisuda ini, Sayang?"

Eren mengedikkan bahu. "Aku udah sreg sama kerjaanku sekarang. Mungkin aku mau konsentrasi ke kerjaan dulu, sambil nyari-nyari beasiswa. Aku pengen ambil S2 Ilmu Komunikasi."

"Kamu nggak pengen ambil fotografi? Itu hobi kamu kan?"

Eren menggeleng. "Aku pengen jadi jurnalis... jurnalis yang baik."

Grisha tersenyum dan mengelus kepala putranya. Sejak dulu putranya selalu tahu apa yang ingin dia lakukan. Grisha-lah yang mendidiknya begitu. Laki-laki itu tidak mendudukkan putranya di ruang tamu pada suatu malam setelah lulus SMA lalu menyodorkan pendidikan dan karier untuknya, seperti yang dilakukan ayahnya dulu kepadanya. Dia lebih suka menghampiri putranya di kamar dan menanyakan apa yang dia inginkan, lalu membahas rencana-rencana bersama-sama.

"Kata Mama kamu dekat dengan pelukis terkenal itu sekarang? Siapa namanya? Levi Ackerman?"

Eren tidak menjawab. Perutnya seketika melonjak mendengar nama Levi disebut. Kini dia malah merasakan ada putaran kupu-kupu di perutnya, membuatnya kembali merasakan panas yang tidak jelas sebabnya.

PERFECT PAINTING || [RIVAERE] ✔︎ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang