Di suatu kota kecil, ada seorang dokter spesialis anak yang terkenal dengan kemampuan-nya yang baik. Bukan hanya kemampuan ia juga masih tergolong sangat muda. Di usianya yang masih 24 tahun ia menjadi dokter termuda di kota itu. Dan karena keramahannya mampu membuat anak anak tidak takut dengan rumah sakit. Dokter itu biasa di panggil dengan panggilan dokter Nata.
Dokter Nata itulah aku, tapi menurutku aku tidaklah seramah itu. Aku berkerja dan bersikap ramah pada semua orang semata-mata karena perkerjaanku mengharuskan aku melakukannya. Kenyataanya kehidupanku aku rasa hanya untuk berkerja. Seperti robot yang berkerja siang dan malam tanpa mengenal istirahat. Mungkin karena aku mencari kesibukanku sendiri. Karena sudah tak memiliki siapapun di rumah yang menungguku untuk pulang.
Orang tua dan adikku telah pergi di panggil oleh tuhan. Dan kakakku satu satunya kini sedang berada di China untuk suatu alasan yang tak bisa sampaikan padaku. Aku pernah berfikir bahwa Tuhan begitu jahat padaku. Membuatku berada di kondisi kesepian seperti ini.
Tapi aku selalu percaya rencana Tuhan pasti sangat indah. Hingga ia membuatku bertemu seseorang yang sangat mirip dengan adik kecilku yang telah lama tiada. Dan merubah kehidupanku yang suram ini menjadi lebih berwarna.
-
Hari itu kecelakaan beruntun terjadi di jalan tol yang dimana membuat banyak pasien yang dilarikan ke rumah sakit aku berkerja. Banyak korban jiwa dari kecelakaan itu. Suasana di rumah sakit menjadi sangat gaduh dan begitu banyak anak anak yang terluka. Karena bertepatan dengan waktu liburan dari kenaikan kelas.
Semua pasien anak-anak aku tanganin satu persatu korban ku tenangkan. Banyak hal yang ku lakukan agar kejadian ini tak meninggalkan trauma untuk para korban kecelakaan. Hingga ada pasien yang terakhir yang di bawa ke ruangan ini. Saat aku melihat Anak yang sedang pingsan itu. Langsung ku minta untuk di bawa ke ruanganku. Agar saat ia terbangun tak mengagetkannya.
Setelah menenangkan anak-anak korban kecelakaan. Satu persatu orang tua pasien tiba, aku melihat kondisi yang sudah mulai kondusif. Aku memerintahkan untuk suster lain mengawasi disana. Segera ku kembali ke ruanganku mengingat bahwa masih ada 1 orang lagi yang harus ku periksa. Di dalam ruangan sudah ada Adhina satu satunya tangan kananku di rumah sakit ini.
“Dhina, bagaimana kondisinya? Apa dia belum ada sadar sejak tadi?” aku menyentuh pipinya dengan telapak tanganku dan aku mengusap pipinya dengan jariku.
“Belum ada dok, dan ini catatan pemeriksaan yang sudah saya lakukan.”
Aku menerima catatannya aku membaca detail setiap isi laporannya. Tak ada keanehan yang ku temukan dalam laporannya. Aku menghela nafas lega dan kembali melihat pasien yang sedang terbaring itu. Aku merapikan rambutnya, bibirku tersenyum pelan dan bergetar. Dalam hatiku aku sangat senang melihat wajah anak itu wajah yang lama kurindukan.
“D-dok?” ucap Adhina memecahkan lamunanku.
“Dhina terima kasih sudah membantu saya hari ini.” Dengan sigap aku tersenyum ke arah wanita ini.
“Ah. Iya dokter Nata. Untung saja pasien yang masuk bisa segera di tangani semua.”
“Kamu sudah makan belum?” sambil membuka hp memesan gojek.
“Belum dok. Nanti saya beli di koperasi.”
“kalau begitu sekalian saja dengan aku disini, aku lagi gojekin KFC. Anggap saja bonus dariku karena usahamu hari ini. Ah iya, selagi nunggu aku minta tolong Carikan informasi tentang orangtuanya mungkin orangtuanya lagi mencari anak ini. Arahkan kesini aja nanti ya”
“Iya, terimakasih Dok” Dan suster itu pergi keluar ruangan ku meninggalkan aku dengan anak ini.
“Kalian sangat mirip”
Kembali ku hela-kan nafasku, ku ambil buku dan menyandarkan diriku di kursi dan menutup wajahku dengan buku itu. Tercium aroma kertas tersebut, ini adalah salah satu caraku menenangkan diriku dari lelah dan berbagai macam hal.
Sunyi-nya ruanganku membuat suara dari luar samar-samar terdengar. Tak tau sudah berapa lama aku tertidur. Hingga terdengar suara ketukan di pintu membuatku terbangun. terbukanya pintu dengan pelan. Aku langsung duduk di kursi dan meletakan buku ke atas meja. Adhina ternyata yang masuk dengan membawa KFC yang tadi sudah ku pesan.
“Puding, jusnya 2, dan ayam nasinya 1. Kamu tinggal sisahnya boleh kamu bawa.” Adhina langsung mengeluarkan semua yang ku sebutkan. “Oh iya soupnya tinggalkan 1 buatku”
“Dokter! lagi lagi dokter mau makan soupnya saja ya?” dengan nada seperti sedang memperingatkan sesuatu yang mengerikan.
“Ho’oh iya kenapa?” aku santai merasa tak ada yang salah.
“Dokter ingat kapan terakhir dokter makan makanan yang berkarbohidrat terakhir? Dan ingat dokter sering pingsan karena kurang nutrisi. Dokter harus makan ini nasi dan ayam makanlah. Biar dokter tak pingsan lagi.” Ucapnya mengomeliku. Bagaikan ibu yang memarahi anaknya untuk makan.
Aku tak bisa berkata apa apa aku hanya bisa mendengarkan omelannya. Tatapannya begitu serius membuatku tak bisa membalas ucapannya dan hanya mengikuti maunya. Sudah biasa Adhina mengingatkan ku untuk makan. Dia selalu memperhatikan makanku. Walau dalam kerjaan dia selalu menurutiku dan dalam urusan makanan ia selalu memperhatikan dan menyuruh ku untuk makan.
Di tengah tengah Adhina menceramahi dirimu anak yang terbaring itu kini baru tersadar. Kami berdua tidak menyadarinya hingga akhirnya anak itu bersuara.
“Aku dimana?” Tanyanya pelan sambil berusaha bangkit. Segera ku membantu bangkit.
“Ini di rumah sakit sayang. Kamu pingsan karena kecelakaan.” jelasku. Tak lama kemudian tatapan mata anak itu langsung berubah menjadi tajam. Bagaikan baru mengingat hal baru saja terjadi padanya sebelum pingsan.
Ia menatapku dengan tatapannya yang tajam itu, “Dimana ayah ibu?”
Aku melemparkan pandanganku ke arah Adhina. Tapi kenyataan begitu pahit, Adhina menggelengkan kepalanya dengan pelan. Aku langsung berbalik melihat anak itu. Kini Wajahnya menjadi merah dan perlahan pipinya di basahin dengan air matanya yang Mengalir semakin deras. Segera aku memeluk tubuh mungil-nya. Tubuhnya terasa begitu rentan bagaikan akan hancur jika aku tak hati hati memeluknya. Aku berusaha ucapan menenangkannya. Dan juga saat itu pikiran-ku mengingat kejadian 10 tahun lalu. Ingatanku tentang adikku yang ku sayangi teringat memori tentang nya.
Butuh waktu yang lama untuk anak ini berhenti menangis, saat aku tak lagi mendengar tangisannya hanya Isak tangis yang terasa dari tubuh anak ini. Jadi aku perlahan melepaskan pelukanku dari tubuh anak ini. Aku baru menyadari air mataku ikut mengalir saat mententuh pipiku terasa basah. Saat aku menyadari itu aku berusaha menyembunyikan hal tersebut jadi menyuruh Adhina mengurus anak ini dan ku tinggalkan mereka.
Aku pergi meninggalkan anak itu dengan Adhina. Aku menuju ke rooftop rumah sakit. Rooftop sebenarnya tempat untuk menjemur sprei rumah sakit. Dan juga untuk tempat istirahat beberapa karyawan. Aku bersandar di pagar rooftop sambil menikmati angin malam yang berhembus lembut. Aku menatap ke arah langit gelap dengan bintang yang terbentang di sana.
Aku menatap langit namun pikiranku memikirkan wajah anak itu. Aku melihat anak itu seperti melihat sosok adik-ku yang sudah tiada 10 tahun lalu kini kembali di hadapanku. Entah aku harus senang atau membenci takdir ini seperti sedang di permainkan.
Aku menikmati makananku di temani dengan angin malam yang berhembus. Tanpaku sadari ternyata sudah cukup lama aku berada disini. Hingga Adhina menyusul ku dengan membawa dua cangkir teh tarik. Dengan senyumannya dia memberikanku salah satu gelas itu. Aku menerimanya dan membalas senyumannya. Adhina ikut bersandar di sampingku dan tak mengatakan sepatah kata pun. Hingga aku yang merasa tak nyaman dengan situasi ini. Akhirnya aku memutuskan memulai pembicaraan terlebih dahulu.
“ Dhina, bagaimana anak itu?”
“Dia sudah tertidur setelah makan. Dok”
“Tak usah pakai dok, kau hanya perlu menggunakan kata itu saat berkerja. Panggil saja namaku, kau sudah 7bulan jadi asisten ku.”
“Iya dok, eh Nata. Boleh saya bertanya sesuatu?” kini tatapannya menuju mataku dengan serius.
“ah... Iya silahkan saja.”
“Nat, apa kamu mengenal si Faresta?”
Aku yang bingung mendengar nama yang asing itu. “Faresta? Siapa Faresta?”
“Ah... Maaf dok, eh nata. Itu nama si itu tadi aku bertanya ke dia.” Jelaskan nya padaku.
“Oh... Lalu apa yang tak biasanya dariku? Aku merasa biasa aja hari ini.”
“Saat kau melihat anak itu, kau seperti mengenalnya. Kau juga tak biasanya menyentuh pasien seperti itu. Ini baru pertama kalinya selama jadi asisten mu aku melihatmu melakukan itu. Apa kamu mengenalnya?” Terang terangan menanyakan semua itu.
“Ya... Dia mirip adikku yang sudah lama tiada.” nada suaraku yang sedikit murung.
“Tiada? Apa yang terjadi? Owh... Maafkan aku menanyakan hal yang sensitif itu.”
“Tak apa lagi pula sudah 10 tahun juga bagiku. Aku harus mencoba melepaskan hal itu.” Aku mencoba menghela nafas panjang.
“...” Adhina tak bisa berkata apapun tapi kini dia melihat wajahku. Ku genggam tanganku dengan keras hingga aku menyakiti jari jariku. Dan mencoba tersenyum ke Adhina ku lanjutkan kalimatku.
“adikku dulu sering tersenyum padaku. Bahkan selalu tersenyum saat bersamaku. Hingga saat itu dia dia tiba tiba pingsan. Dan saat di bawa kerumah sakit semuanya sudah terlambat...”
Seketika di potong oleh Adhina. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
“entah lah, aku tak bisa mengingatnya dengan jelas. Yang ku ingat hanya adikku sering mimisan tanpa sebab. Dan aku dulu sangat membencinya karena suatu alasan. Tapi adikku itu tak pernah berhenti padaku tersenyum. Hingga saat dia di kubur aku mulai menyesali betapa buruknya aku menjadi seorang kakak. Aku menyesalinya hingga aku mengurung diri di kamar selama 4hari tanpa makan dan minum. Bodoh sekali bukan?” Ucapku. Mengakhiri kisah itu dengan tertawa menertawakan diriku.
Adhina menatapku dengan perasaan bersalah menanyakan hal itu. “Nata...”
Dengan tersenyum aku melihat ke arah Adhina. “Ya Faresta dengan adik-ku mirip, bukan cuman sih cuman seperti orang yang sama hanya saja dia tak mengenaliku. Wajahnya suaranya caranya menangis. Semua begitu sama. Ya namun dia itu bukan adikku, adikku sudah terkurubur 10 tahun lalu dan dia adalah pasienku. Aku harus bersikap profesional bukan? seperti biasanya. Maaf ya Dhina aku jadi cerita aneh aneh ke kamu.” Melihat ke arah gelas yang sudah kosong.
“Tak apa-apa. Aku senang kamu terbuka padaku soal masa lalumu. Dan mungkin ini bisa membuat perasaanmu jadi lebih nyaman dari semua ceritamu yang kamu pendam.”
Setelah mendengarkan itu, aku langsung berjalan pergi meninggalkan Adhina sendirian dan berjalan menuju ruanganku. Memikirkan ucapannya membuat diriku tersadar kini perasaanku terasa sedikit lebih lega saat selesai bercerita. Namun aku juga merasa malu telah bercerita tentang itu padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just A Small Reason For Happiness
Teen FictionNata dokter muda di suatu kota kecil yang terkenal di kalangan dokter disana. Semua pasiennya adalah anak anak. Tapi tak pernah ada anak anak yang takut untuk berobat karena keramahannya. Hingga suatu ketika sebuah kecelakaan besar terjadi banyak ko...