Sudah 6 hari sejak kecelakaan itu. Faresta semakin dekat denganku. Atau mungkin aku yang terlalu mendekatkan diriku padanya. Dan aku selalu memikirkan hal yang bisa ku lakukan untuk anak umur 6 tahun ini.
Cuaca yang cerah dan matahari tepat berada di atas kepala. Dan kini waktu jam makan siang. Faresta sering menghabiskan jam makan siangnya di ruangan-ku. Atau lebih tepatnya aku yang memintanya untuk makan di ruangan-ku. Anak itu kini sudah semakin bersemangat layaknya anak pada usianya. Sepertinya lukanya perlahan sudah tertutup. Terlihat dari kini ia makan begitu lahap dan nafsu makannya lebih besar dari sebelumnya.
"Faresta, apa kau tidak rindu rumahmu?" Pertanyaan itu terucap dari mulutku. sebuah kebodohan yang ku katakan. Dan aku baru sadar saat pertanyaanku selesai ku lontarkan padanya.
Faresta naik ke atas pangkuanku, menarik ke dua tanganku untuk memeluknya. Ini baru pertama kalinya terjadi sejak aku bertemu dengannya.
"Faresta tidak rindu rumah. Hanya saja Faresta rindu kasih sayang ayah dan ibu. Tapi..." Ucapannya berhenti dan kini ia menarik tanganku untuk memeluknya lebih erat.
"Tapi?" Ucapku bingung sambil berusaha memeluknya dengan erat.
"Dokter Nata selalu ada untuk Faresta. Dokter Nata tak pernah memberiku kesempatan untuk merasakan kesepian itu. Setiap kali Fares sedih. Dokter pasti selalu tiba dengan wajah dokter yang bahagia itu. Menemani dan menjaga fares menjauh dari rasa kesepian." Ucapnya. Ucapan yang terlalu dewasa untuk anak umur 6 tahun. Ya aku selalu mendekatinya selalu mengawasinya. Memastikan ia tidak kesepian. Tapi tanpa ku sadari anak yang selama 6 hari ku perhatikan itu telah menjadi dewasa secara pemikiran.
Aku menyandarkan kepalaku ke pundaknya yang kecil dan membisikkannya. "Dokter ingin kamu tinggal bersama dokter. Mau kah kamu ikut bersama tinggal dokter?" Anak itu terdiam. Dan layaknya sebuah drama sinetron. Timing yang tidak tepat Adhina masuk ke ruanganku tanpa mengetuk pintu.
"Dokter ini hasil lap... EH.... MAAF DOKTER SAYA MENGANGGU." ucapnya terkejud melihat hal yang tak dia duga. Karena dari sudut pandangnya jelas sekali kami layaknya orang yang sedang bermesraan.
Faresta langsung berdiri dan meninggalkan ruanganku. Tanpa menjawab pertanyaan terakhirku. Aku langsung menghela nafas dan memutar kursiku ke arah Adhina. Adhina yang nampak bingung bagaimana harus bersikap setelah melihat hal tadi.
"Sini laporannya ngapain berdiri aja di situ." Ucapku sedikit kesal karena timing dia masuk sangat tidak tepat.
"Eh iya Dokter. Ini hasil rontgen yang dokter minta tadi." Ucapnya. "Dokter, bolehkan saya bertanya sesuatu?" Sambung Adhina.
"Iya tanya aja" ucapku sambil sibuk melihat hasil Rontgen.
"Barusan, tadi itu, do.. do... Dokter melakukan kiss dengan Faresta?" Ucap Adhina dengan ragu ragu bertanya.
"HAH... APA? YA NGAK MUNGKIN LAH." ucapku dengan berteriak karena kaget dengan pertanyaanya.
"Lalu yang tadi itu apa yang dokter lakukan?" Tanyanya lagi.
"Tak ada hanya aku menanyakannya beberapa hal dan dia minta di peluk dan aku berbisik sesuatu padanya. Kamu jangan berfikir aneh aneh. Saya ini sukanya sama ka..." Ucapku terhenti tersadar ada sesuatu yang harus ku jaga. " Pokoknya kamu hanya salah mengira. aku ngak mungkin akan melakukan hal itu ke anak anak." Sambungku. Aku membanting hasil Rontgen tersebut ke mejaku.
Adhina tak bisa berkata apa apa. Kini ia hanya melihatku. Aku langsung merasa pusing dan kini aku memintanya untuk keluar dari ruangan-ku meninggalkan diriku sendirian.
Aku mencoba menenangkan diriku ku tutup jendela dan ku kunci pintu ruangan-ku ku nyalakan AC dan aku duduk di sofa bed yang ada di bawah jendela.
~
Setengah jam berlalu emosiku sudah kembali tenang. Aku kembali membuka kunci ruangan-ku dan membuka pintu ruangan-ku terbuka. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu pelan. Dan disana ada dokter Merlin yang mengintip masuk.
"Ada apa dok?" Ucapku Singkat.
" Ada waktu? Mari kita bicara." Ucapnya. Dan aku hanya menjawab dengan mengangguk.
Dokter Merlin dokter adalah senior dan mentor bagiku. ia sering memberiku banyak masukan saat aku mulai berkerja disini.
"Mau ngomongin apa ya dok?" Tanyaku.
"Aku penasaran akhir akhir ini kamu sering bersama pasien di ruangan B4. Tak seperti kamu biasanya ada apa? Apa dia pasien berkebutuhan khusus? Tapi ku tanya ke Adhina dia bilang tidak ada apa apa. Lalu kenapa kamu sangat intens bersamanya?" Ucap dokter Merlin.
Sejenak aku terdiam memikirkan aku harus menjawabnya seperti apa. "Tidak ada yang spesial sebenarnya, hanya saja saya merasa kasihan padanya dok. Dan dokter tau sendiri anak kecil harus di berikan perhatian yang lebih agar ia tak terlalu memikirkan orang tuanya yang meninggal." Jawabku.
Dokter Merlin tersenyum dan dia memberikan ku nasehat. "Jangan berlebihan, ingat pasien pertama yang kau tangisi. Kamu sering memberikan banyak perhatianmu pada pasien mu. Sampai ada sesuatu yang tak bisa dihindari seperti saat itu tiba nanti. Kau jangan sampai kehilangan seperti saat itu." Ucapnya.
"Iya dok." Ucapku.
"Jadi bagaiman dengan gadis itu?" Sambung Dokter Merlin dengan tatapannya yang menggoda.
"Tak ada kemajuan. Ia selalu menghindari ku aku membuatnya sibuk bersamaku. Tapi dia lebih cekatan dari yang aku kira. Bahkan tadi dia malah salah paham tentang sesuatu." Ucapku.
"Yah... Kau memang payah ya ternyata. Ajak dia makan keluar atau nonton. Bukan membuatnya makin sibuk bersamamu. Yang ada kau hanya di kira atasan kejam." Ucap Dokter Merlin.
"Eh... Baiklah akan aku coba." Jawabku.
"Aku berharap ada berita baik darimu Nata." Ucap Dokter Merlin sambil ia berdiri.
"Dokter tunggu sebentar aku ingin minta pendapatmu." Aku menahannya.
"Pendapatku? Sudah lama kau tak meminta pendapatku. Baiklah kamu minta pendapat ku tentang apa?" Ucapnya sambil kembali duduk.
"Ini bukan tentang wanita itu, ini aku ingin minta pendapatmu tentang pemikiran ku ingin mengadopsi si pasien B4." Ucapku.
"Mengapa? Apa kamu yakin? Mengadopsinya mungkin untuk dirimu akan di permudah. Tapi mengurus anak itu susah. Dan juga apa kamu yakin? Kamu juga belom menikah. Bagaimana jika banyak yang mengurangi seorang duda." Dia menghujaniku dengan kenyataan yang mungkin akan terjadi kedepannya padaku jika aku melakukannya.
Sejenak ku tarik nafasku, ku berikan senyuman di wajahku. "Ya, aku yakin untuk mengadopsinya. Dia mengingatkan aku ke adikku yang sudah tiada. Ya dia memang bukan adikku tapi setidaknya aku ingin bersamanya itu pikirku. Dan aku ingin dia mendapatkan kebahagian walau aku tak yakin aku bisa membahagiakan-nya setidaknya aku akan berusaha membahagiakannya." Jelasku.
"Bagaimana jika dia bahagia dengan keluarga lain?" Pertanyaan singkat dari dokter Merlin. yang juga selalu ku pikirkan selama 5 hari ini. Pertanyaannya selalu membuatku ragu.tapi aku belum pernah mendengarkan ucapan itu dari mulut orang lain.
Sejenak ku terdiam, ku tarik nafasku aku mencoba rileks. "ya mungkin saja dia bisa menemukan kebahagiaanya dari orang lain. Tapi apa itu pasti akan dia dapatkan? Bagaimana jika ia tersakiti. Bagaimana jika ia tak menemukan keluarga yang tepat? Setidaknya aku ingin dia bersamaku aku ingin membahagiakan dia. Aku ingin dia pasti mendapatkan kebahagiaanya. Walau kelak aku pasti akan kesusahan mengurus anak itu. Setidaknya aku akan mencoba membiasakan diriku untuk mengurusnya. Dan bagaimana nasib percintaanku kelak. Setidaknya aku ingin biarkan saja itu berjalan bagaimana takdir mau bertindak." Jawabku.
"Heh... kamu sudah memikirkan ternyata semua resikonya. Ya aku tak bisa memberikanmu saran apapun. Ikuti saja kata hatimu, bagaimana mau-nya tapi kalau kamu ragu jangan lakukan. Kalau kamu melakukannya, ingat dia bukan ada untuk memenuhi expectasi mu. Dia bukan adikmu. Tapi dia adalah anak angkatmu saat kamu mengadopsinya kelak." Ucap dokter Merlin sambil melihatku dengan tatapan tertarik. "Ya sudah saya kembali dulu ke ruangan saya jangan memikirkan terlalu keras. Just do what you wanna do." Sambungnya.
~
Hari sudah sore aku mencari Faresta keliling rumah sakit. Aku tak melihatnya sejak siang tadi. Aku mencarinya di ruangan Adhien. Tapi tak menemukannya sekeliling rumah sakit ku mencarinya. Hanya tinggal satu tempat yang belum aku datangin rooftop rumah sakit. Sesampainya aku di rooftop aku akhirnya menemukan anak itu ia duduk di bangku di pojok melihat ke arah langit. Anak itu nampak kesepian dari tatapan matanya kosong melihat langit menunjukkan hal itu. Segera ku mendekatinya.
"Hei, Faresta ngapain melamun gitu." Ucapku dan langsung duduk di sampingnya.
"Dokter, aku kepikiran sesuatu. Mengapa dokter begitu baik sama aku? Apa karena aku mirip dengan adik-mu yang sudah tiada." Ucap anak itu. Ia menatapku dengan penuh keseriusannya. Ada yang aneh tapi aku tak terlalu menghiraukan-nya.
"Mengapa menanyakan hal itu? Tentu saja tidak. Kamu itu bukan adikku. Ya memang kau mirip dengannya. Tapi kamu itu bukan dia. Dan alasan aku baik padamu sederhana buatku. Kamu pasienku, kamu kehilangan keluargamu. Dan kamu tak tau sanak saudaramu. Jadi dokter hanya melakukan apa yang dokter bisa lakukan untuk pasien dokter." Jawabku. Menjelaskannya dengan lembut padanya.
"Tapi bukannya semua kebaikan yang aku terima dari dokter terlalu berlebihan? Bahkan dokter menanyakan untuk tinggal bersama tadi siang. Apa aku ini pantas mendapatkan semua itu?" Ucap anak itu. Sekarang begitu jelas sejak tadi anak itu memikirkan semua pertanyaan itu di kepalanya.
"Kamu terlalu memikirkannya, kamu masih terlalu kecil untuk memahami semua ini. Dokter cuman tak ingin kamu di masukan ke panti asuhan. Setidaknya dokter ingin memberikanmu tempat tinggal yang lebih baik." Ucapku.
"Jadi dokter ingin mengadopsi aku?" Tanyanya.
"Ya dokter mau mengadopsi kamu menjadi anak angkat dokter. Tapi dokter ini belum pernah menjadi orang tua. Mungkin dokter tidak bisa merawatmu sebaik orangtuamu. Tapi setidaknya dokter akan berusahan untuk merawatmu dan membesarkan mu." Jelasku.
Kini ia menundukkan kepalanya memikirkan ucapanku sejenak. "Dokter, apa Fares boleh menerima semua kebaikan dokter?" Ucapnya. Dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
"Tentu saja boleh. Apa kamu mau tinggal bersama dokter?" Ucapku. Sambil memegang tangannya dengan erat.
Dia mengangguk dan air matanya mengalir. "Dokter, Fares mau tinggal bersama dokter." Ucapnya. ku dekap dia dalam pelukanku dan membiarkan dia menangis di pelukanku.
"Nanti Faresta ikut dokter pulang ya." Bisik ku. Dan ia menganggukan kepalanya. Setelah itu aku meminta Faresta siap-siap untuk pulang dan menungguku di mobil-ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just A Small Reason For Happiness
Novela JuvenilNata dokter muda di suatu kota kecil yang terkenal di kalangan dokter disana. Semua pasiennya adalah anak anak. Tapi tak pernah ada anak anak yang takut untuk berobat karena keramahannya. Hingga suatu ketika sebuah kecelakaan besar terjadi banyak ko...