Siang hari, hari ke 6 sejak kecelakaan. Di dalam ruangan dokter Nata. Setelah makan siang, dan hari ini jadwal dokter Nata lagi kosong. Jadi sejak pagi aku sudah di sini bersama dokter Nata.
“Faresta, apa kau tidak rindu rumahmu?” Pertanyaan itu tiba tiba keluar dari mulutnya. Mendengar pertanyaan itu aku memutuskan untuk di pangkuannya dan menarik kedua tangannya untuk memeluk-ku.
“Faresta tidak rindu rumah. Hanya saja Faresta rindu kasih sayang ayah dan ibu. Tapi...” Ucapku dan berhenti sejenak dan memikirkan bahwa dokter Nata tak percaya bahwa aku bisa melihat hantu.
“Tapi?” Ucapnya bingung terasa pelukannya terasa semakin erat.
Aku memikirkan alasan yang lebih masuk akal untuk dokter Nata. “Dokter Nata selalu ada untuk Faresta. Dokter Nata tak pernah memberiku kesempatan untuk merasakan kesepian itu. Setiap kali Fares sedih. Dokter pasti selalu tiba dengan wajah dokter yang bahagia itu. Menemani dan menjaga fares menjauh dari rasa kesepian.” Ucapku berharap dokter nata memahaminya.
Tiba tiba dokter Nata menyandarkan kepalanya ke pundak ku “Dokter ingin kamu tinggal bersama dokter. Mau kah kamu ikut bersama tinggal dokter?” Bisik dokter Nata. Aku terlalu terkejut mendengar ajakan dokter Nata.
Dan tiba tiba suster Adhina masuk. “Dokter ini hasil lab... EH.... MAAF DOKTER SAYA MENGANGGU.” Ucapnya. Aku langsung berdiri meninggalkan mereka yang ada di ruangan itu.
Kini kata kata dokter Nata menghantuiku, aku senang dan takut mendengar kalimat itu. Dan sekarang aku berjalan mencari tempat yang sepi. Perasaanku begitu tak nyaman dan rasanya aku ingin sendirian dan memikirkan perkataan dokter Nata. Ayah dan ibu selalu di dekatku tapi mereka tidak berbicara padaku saat ada orang lain di sekitarku.
Hingga aku menemukan tangga menuju rooftop tempat dimana banyak sprei dan selimut dijemur di atas sana. Aku beruntung pintu rooftop ternyata lupa di kunci jadi aku bisa naik ke atas sana. Setelah membuka pintu angin kencang langsung menghantam wajahku. Terasa nyaman dan aku langsung menutup pintu rooftop. Pemandangan yang begitu indah bisa ku dapatkan dari atas rooftop membuatku nyaman sejenak. Hingga aku kembali kepikiran dengan perkataan dokter Nata.
Aku duduk di bangku di pojok rooftop, menatap langit dan mulai berbicara pada ibu.
“Ibu, apa ibu mendengar apa yang dokter Nata bisikan pada Faresta?” Ucapku dalam hati.
“Iya sayang ibu mendengarnya juga.” Jawab ibu. Kesadaran ku sudah di ambil alih oleh ibu. Kini aku di alam bawah sadar berdiri di hadapan ibu.
“Bagaimana ibu? Apa yang Faresta harus katakan?” Tanyaku bingung dalam perasaanku yang penuh ragu.
“Itu harus kamu yang memutuskannya sayang.” Jawab ibu. Aku tak bisa memahami maksud ibu.
“Tapi Bu. Faresta hanya anak kecil.” Ucapku.
“Apa kamu bahagia menghabiskan waktu bersama dokter itu?” Tanya ibu.
“Faresta ngak tau ibu.” Jawabku.
“Apa kamu senang bersama dokter itu?” Tanya ibu lagi.
“Faresta ngak tau ibu.” Jawabku lagi.
“Apa kamu membencinya?” Tanya ibu.
“Fares... Faresta ngak tau Bu.” Jawabku lagi.
“Faresta sayang, kenapa kamu tak mau mengakui perasaanmu sebenarnya. Apa yang kamu inginkan kalau begitu?” Tanyanya lagi.
“Faresta, Faresta ingin bersama ibu. Faresta gak mampu melihat orang orang begitu di cintai oleh orangtuanya. Faresta ingin mati dan hidup bersama ayah dan ibu.” Jawabku.
“Faresta sayang, jangan seperti itu sayang, pasti Tuhan punya alasan menyelamatkan mu dari kecelakaan itu. Mungkin saat ini kamu ngak mengerti tapi nanti pasti ada alasan mengapa kamu masih hidup sampai saat ini sayang.” Jawab ibu mencoba menenangkan hatiku.
“Tapi Bu.” Belum selesai aku bicara. Ibu memotong ucapanku.
“Apa kamu tau ibu sangat senang mendengar suaramu saat ibu mencarimu. Ibu terbangun di jalan tol itu bersama ayahmu. Kami mencarimu, Bahkan kami pergi ke rumah dan mencari ke rumah nenekmu berharap bertemu kamu disana. Hingga saat kami berpikir kamu sudah di surga. Tiba tiba kami mendengar suaramu sayang. Kamu menangis memanggil kami di rumah sakit ini. Dan saat kamu mengatakan kamu masih hidup ibu sangat bahagia mendengar itu. Ibu kini hanya bisa menjagamu dari segala gangguan hantu yang selama ini ibu takuti saat kamu kerasukan. Kamu tak perlu menyusul kami sekarang tetaplah hidup. Ibu menyayangi mu.” Ucap ibu. Mendengar itu aku tak bisa berkata apa apa kini aku terdiam. Melihat wajah ibu memandangi wajah ibu.
“Ibu apa Faresta akan selamanya bisa melihat ibu?” Sekarang keraguanku berubah.
“Apa maksudmu sayang?” Tanya ibu heran.
“Faresta takut bagaimana jika Faresta tak lagi bisa melihat ibu.” Ucapku dengan murung.
“Jika itu terjadi suatu hari nanti percaya saja ibu akan selalu menjagamu dan menyayangi mu.” Jawab ibu.
“Tapi Bu, Faresta... Mungkin sebaiknya mati saja Bu biar Faresta bisa sama sama ibu lagi. Kan hanya ibu yang sayang Faresta.” Ucapku lagi lagi membuat alasan.
“Faresta ada seseorang yang pasti menyayangi dirimu seperti ibu sayang ke kamu sayang.” Ucap ibu.
“Tapi Bu...” Ucapku.
“Lihat itu dokter, dia sedang mencarimu.” Ucap ibu menunjukkan dokter sedang mencariku.
“Dia bukan siapa siapa Bu dia hanya dokter yang merawat Faresta di rumah sakit.” Ucapku.
“Faresta cukup sayang jangan mencari alasan agar kamu mendapatkan persetujuan untuk menyusul ibu dan ayah sayang. Sebentar lagi dia disini.” Ucap ibu. Dan dokter Nata datang ke rooftop dengan napasnya yang terengah-engah. Dia segera mendekatiku. Ibu yang masih mengendalikan tubuhku menahanku agar tak keluar dia ingin berbicara dengan dokter Nata.
“Hei, Faresta ngapain melamun gitu.” Ucapnya dan langsung duduk di sebelahku.
“Dokter, aku kepikiran sesuatu. Mengapa dokter begitu baik sama aku? Apa karena aku mirip dengan adik-mu yang sudah tiada.” Ucap ibu dengan menggunakan tubuhku.
“Ibu apa yang ibu katakan.” Ucap jiwaku.
“Diam dan dengarkan saja sayang. Ini biar kamu percaya dirinya menyayangimu.” Balas ibu. Dan kini aku diam dan mendengarkan pembicaraan mereka berdua.
“Mengapa menanyakan hal itu? Tentu saja tidak. Kamu itu bukan adikku. Ya memang kau mirip dengannya. Tapi kamu itu bukan dia. Dan alasan aku baik padamu sederhana buatku. Kamu pasienku, kamu kehilangan keluargamu. Dan kamu tak tau sanak saudaramu. Jadi dokter hanya melakukan apa yang dokter bisa lakukan untuk pasien dokter.” Jawab dokter Nata.
“Tapi bukannya semua kebaikan yang aku terima dari dokter terlalu berlebihan? Bahkan dokter menanyakan untuk tinggal bersama tadi siang. Apa aku ini pantas mendapatkan semua itu?” Ucap ibu dengan tubuhku.
“Kamu terlalu memikirkannya, kamu masih terlalu kecil untuk memahami semua ini. Dokter cuman tak ingin kamu di masukan ke panti asuhan. Setidaknya dokter ingin memberikanmu tempat tinggal yang lebih baik.” Jawabnya.
“Jadi dokter ingin mengadopsi aku?” Tanya ibu kali dengan tubuhku.
“Ya dokter mau mengadopsi kamu menjadi anak angkat dokter. Tapi dokter ini belum pernah menjadi orang tua. Mungkin dokter tidak bisa merawatmu sebaik orangtuamu. Tapi setidaknya dokter akan berusahan untuk merawatmu dan membesarkan mu.” Jawab dokter.
“Faresta sayang dokter ini menyayangimu dia hanya tidak bisa mengatakannya secara langsung. Tapi kamu bisa merasakan kehangatan perasaanya kan. Ibu minta kamu berhentilah berfikir untuk menyusul ibu dengan cepat. Biarkan takdir tuhan yang menyatukan kita kembali kelak sayang.” Ucap itu. Aku tak begitu mengerti apa yang ibu maksud tapi. Aku mengerti maksudnya tentang dokter nata yang menyayangiku. Dan ibu keluar dari tubuhku saat itu.
“Dokter, apa Fares boleh menerima semua kebaikan dokter?” Ucapku dengan air mataku yang sudah ingin keluar.
“Tentu saja boleh. Apa kamu mau tinggal bersama dokter?” Ucap dokter Nata. Sambil memegang tanganku dengan erat.
Aku memeluk dokter nata. “Dokter, Fares mau tinggal bersama dokter.” Ucapku dan kini dokter nata membalas pelukanku dan tangisanku pecah saat itu.
“Nanti Faresta ikut dokter pulang ya.” Bisiknya. Dan aku membalasnya dengan mengangguk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just A Small Reason For Happiness
JugendliteraturNata dokter muda di suatu kota kecil yang terkenal di kalangan dokter disana. Semua pasiennya adalah anak anak. Tapi tak pernah ada anak anak yang takut untuk berobat karena keramahannya. Hingga suatu ketika sebuah kecelakaan besar terjadi banyak ko...