SULITNYA MENEGAKAN DIAGNOSA

49 2 0
                                    

Aku selalu suka suasana pagi hari saat menunggu jemputan kantor, begitu banyak semangat. Suasana ibu kota begitu terasa disini, meskipun aku tinggal di pinggiran kota Jakarta namun semua orang yang menunggu bersamaku punya tujuan yang sama yaitu JAKARTA. Bisingnya jalanan, lalu lalang kendaraan, bis besar silih berganti, berhenti di hadapanku yang disusul langkah setengah berlari dari para penumpangnya.

Katanya Jakarta itu keras, sepertinya memang begitu buktinya bis saja tak mau benar-benar berhenti untuk menaik dan menurunkan penumpang, makanya penumpangnya harus setengah berlari untuk menyusul laju besi raksasa itu. Beruntungnya itu tidak berlaku bagi jemputan kantorku, Pak Supir akan benar-benar menghentikan kendaraannya saat kami turun ataupun naik. Ini sangat menguntungkanku yang gerak langkahnya tak ubahnya seperti seorang manula.

Hari ini aku sudah mulai kembali bekerja setelah beberapa hari terpaksa istirahat di rumah, memulihkan tubuh yang hampir menjadi lumpuh tak berdaya. Alhamdulillah, aku sangat bersyukur bahwa tak butuh lama untuk memulihkan kondisiku. Sejak Dokter Hardi datang ke rumah dan menyuntikan obat, sejak itu juga kondisi ku mulai ada perbaikan. Sorenya aku sudah mulai bisa bangun dan berjalan meski harus mencari pegangan dan hari-hari berikutnya aku sudah mampu bergerak normal meski sakit dan bengkak di persendian masih belum juga hilang. Saat obat habis aku langsung mendatangi klinik Dokter Hardi, yang letaknya tak jauh dari perumahan tempatku tinggal.

"Gita sepertinya kamu harus segera menikah." Dokter Hardi membuka pertemuan kami dengan kalimat mengagetkan ini.

" Emangnya kenapa Dok? " tanyaku heran.

"Sepertinya kamu kena Reumatik Arthitis (RA), nanti lama-lama jari jemari kamu akan rusak akan seperti ini." Dokter itu menunjukan jemari tangan kanannya yang sengaja dimiringkan dan didempetkan oleh jari tangan kirinya.

" Terus apa hubungannya Dok? " Aku heran bercampur kesal.

"Kalau nanti persendian kamu rusak, tidak akan ada laki-laki yang mau menikah dengan kamu Gita."

"Astaghfirullah Dokter, gitu amat sih sama saya." Begitulah dokter Hardi, entah ucapannya hanya bercanda atau serius namun beliau terbiasa berkata ceplas ceplos, sangat jujur. Aku tak kaget mendengar penjelasannya mengenai kemungkinan RA dan efek jangka panjangnya karena aku sudah tahu itu sejak awal. Yang membuat aku kaget sekaligus geli adalah sarannya agar aku segera menikah. Kok bisa ya beliau memikirkan itu.

Sepulang dari Klinik Dokter hardi aku beroleh-olehkan sepucuk surat pengantar untuk menemui dokter penyakit dalam di RS Mitra Keluarga Cibubur. Sepertinya kondisi sakitku cukup serius dan Dokter Hardi punya keterbatasan untuk mengobati lebih lanjut sehingga beliau harus merujukku ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap. Setidaknya begitulah yang beliau sampaikan padaku sesaat sebelum menuliskan 'surat cinta' untuk teman sejawat nya itu.

Akupun melanjutkan perjuangan ku, untuk mengikhtiarkan kesembuhan tubuh ku. Ku ikuti saran dokter Hardi untuk pergi ke Rumah sakit.

Saat ini aku menunggu, kegiatan yang sebetulnya sudah tak asing lagi bagi seorang pesakitan yang terbiasa bolak-balik ke Rumah sakit untuk rawat jalan seperti aku, namun tetap saja kegiatan itu sangat menjemukan. Dengan hati tak sabar aku tatap sebuah pintu yang bertuliskan dr. Ferdinand Andy K Sp.PD, namun tak lama pintu terbuka kemudian seseorang memanggil namaku. Aku bergegas menghampirinya lalu masuk kedalam ruangan.

Seperti biasa, saat awal berjumpa dengan dokter, yang ditanyakan bukan kondisi tubuhku melainkan pekerjaan dan dengan siapa aku tinggal, entah hanya basa basi untuk mencairkan suasana atau ada misi terselubung untuk menentukan perawatan yang tepat sesuai kasta pasien. Tapi aku tak peduli, aku selalu jujur dengan kondisiku baik mengenai kondisi keluarga dan perekonomianku ataupun kondisi tubuhku.

Setelah dokter melakukan beberapa pemeriksaan fisik dan wawancara, aku disarankan untuk melakukan tes darah dan urin lengkap. Aku diharuskan kembali menemui dokter secepatnya setelah hasil tes itu keluar. Aku menarik nafas panjang dan mengumpulkan segenap energi, karena aku tahu segera aku akan membutuhkan uang yang banyak untuk memenuhi anjurkan dokter, artinya aku harus siap berjuang dan berfikir, apapun yang terjadi aku harus mampu melakukannya dan aku bukan seorang anak yang bisa menengadahkan tangan kepada orang tua sekalipun ini untuk kesehatan, aku harus berusaha sendiri, tak masalah, aku akan berjuang!

Setelah aku berhasil memiliki cukup uang untuk melanjutkan serangkaian pengobatan, akupun kembali ke Rumah Sakit. Aku lakukan tes darah dan urin yang hasilnya akan keluar dalam dua hari. Setelah hasil keluar aku membawanya pulang dan baru keesokan harinya menemui dokter. Namun sebelum bertemu dokter aku sudah membaca hasilnya terlebih dahulu, bermodal handphone dan jaringan internet aku mencari tahu setiap istilah aneh yang tertulis di dalam hasil tes.

Hasil tes ku lumayan buruk, banyak sekali tulisan merah didalamnya. LED ( Laju Endap Darah) sangat tinggi, hasilnya 80 mm/jam seharusnya hanya kurang dari 16 mm/jam artinya ada peradangan yang lumayan parah di tubuhku. Hb (hemoglobin/sel darah merah) ku sedikit rendah, di angka 11 yang seharusnya 12. Protein di dalam urin ku positif (+)1 yang seharusnya negatif (-) artinya ada masalah di ginjal ku sehingga ada protein yang tidak tersaring masuk kedalam air kencing (urin), ditambah tulisan merah lainnya yang aku tak paham apa maksudnya. Namun hasil tes ANA ( Antibodi Anti-Nuklear) negatif, ini tes yang menentukan apakah aku mengidap autoimun atau tidak.

Keesokan harinya aku menemui dokter kembali dengan membawa beberapa lembar hasil tes darah. Ternyata benar saja, dokter curiga aku mengidap autoimun namun hasil tes ANA ini cukup membingungkan. Beberapa hasil tes mengindikasikan gejala autoimun di tubuhku namun tes yang paling menentukan tidak menunjukan hasil yang sesuai untuk menyakinkan kecurigaan dokter.

Dokter belum bisa bilang apa penyakit ku, namun aku masih selalu datang kepadanya karena sakitku tak kunjung sembuh. Ada perubahan memang tapi sangat lambat dan sedikit, sampai suatu hari dokter menyuruhku untuk mencari tahu tentang Yayasan Lupus Indonesia (YLI) dan menyarankan aku untuk bergabung dengan komunitas itu, nantinya aku bisa mendapatkan banyak informasi mengenai penyakit Lupus di sana. Aku hanya bisa terdiam mendengar perkataan dokter ini, rasanya ada banyak pertanyaan yang ingin aku ajukan namun tak satupun mampu keluar dari mulutku.

Dengan mata berkaca-kaca aku melangkah pergi meninggalkan ruangan dokter setelah kami sepakat untuk berpamitan. Ada perasaan aneh yang bergejolak di dadaku, badanku lemas dan gemetaran. Aku duduk di depan ruang farmasi sambil menunggu namaku dipanggil kembali. Aku bingung, aku ingin bicara tapi tak satupun orang di sana yang mengenalku. Sementara tak terasa air mataku mengalir. Kututup wajahku dengan kedua telapak tangan dan kutumpahkan segala rasa yang sejak tadi bergejolak di dada ini, melalui isak tangis dan bulir air mata. Aku kenapa? Aku sakit apa? Aku harus bagaimana? Aku ajukan semua pertanyaan itu kepada sang Penciptaku, meskipun aku tahu tak satupun dari pertanyaan itu ada jawabannya. Namun semua pertanyaan itu akan segera membawaku pada babak baru penyakit ku. LUPUS!

Lupus, Menemukan BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang