OBAT UNTUK PENYAKIT SERIBU WAJAH

33 2 0
                                    


Lupus atau SLE atau nama lengkapnya Systemic lupus erythematosus adalah Penyakit radang yang disebabkan ketika sistem kekebalan tubuh menyerang jaringannya sendiri, Lalu apanya yang radang? Ya tergantung organ yang diserang nya; bisa kulit, persendian, jantung, ginjal, otak, dan sebagainya.

Kebetulan aku mengalami Lupus dengan tingkat keparahan teringan yaitu menyerang kulit dan sendi. Saat sebelum terdiagnosa, pikiranku buruk sekali tentang lupus seolah dia adalah malaikat pencabut nyawa yang sudah siap mendekap hidupku namun nyatanya tak separah itu.

"Pasien Lupus itu kondisinya bervariasi, ada yang ringan, sedang, parah dan sangat parah." Setidaknya begitulah yang Prof. Zubairi sampaikan dalam sebuah artikel yang pernah kubaca. Jadi Lupus itu penyakit yang sangat unik karena kondisi, gejala serta pengobatan setiap odapus (orang dengan lupus) itu berbeda-beda satu dan lainnya. Tergantung pada organ yang diserang dan tingkat keparahan nya. Pada awal kehadirannya tak jarang dokter salah mendiagnosa sehingga fokus pengobatan hanya pada organnya saja bukan pada sumber penyakit.

Seperti yang aku alami selama setahun sebelum terdiagnosa; dokter hanya memberikan obat anti nyeri dan vitamin sendi sementara biang kerok penyebab nyeri sendi yaitu sistem imunnya tetap dapat melakukan serangan sehingga kata sembuh atau membaik sangat sulit didapat meskipun ada puluhan obat yang dikonsumsi setiap harinya. Begitu juga pada odapus yang bermasalah di jantungnya, bisa saja dia diperlakukan seperti pasien penyakit jantung biasa. Atau jika yang terserang ginjal, maka pengobatan yang didapat seperti orang dengan penyakit ginjal biasa. Maka dari itu Lupus sering di juluki penyakit seribu wajah, dan kondisi seperti ini lah yang bisa menyebabkan lupus terlambat didiagnosa sehingga memperparah keadaan.

Aku merasa sangat beruntung, karena dapat mengetahui penyakitku ini sangat awal sehingga bisa mendapatkan pengobatan yang tepat. Bagiku ini sangat penting karena akan sangat mempengaruhi kualitas hidupku kedepannya.

Jika hidup adalah sebuah tantangan, maka lupus menjadi bagian darinya. Maka tantangan pertama yaitu menemukan apa penyakitku sudah selesai, selanjutnya aku harus fokus pada perbaikan kondisiku. Dan Alhamdulillah setelah tiga bulan menjalani pengobatan dengan Prof. Zubairi, kondisiku pun sudah sangat membaik, nyeri sendi nya sudah sangat berkurang banyak meskipun pastinya tubuh ini tetap berbeda sebelum dan sesudah aku sakit Lupus.

Saat ini aku harus lebih peka dengan rasa yang diisyaratkan tubuhku, jika capek pasti sakit maka aku harus segera beristirahat agar kondisiku tak lanjut memburuk. Awalnya kondisi seperti ini membuatku jengkel. Disaat teman-teman seusiaku mengejar mimpinya, aku masih di tempat tidur menunggu badan ini siap untuk diajak beraktivitas lagi. Rasanya aku juga ingin berlari tapi kondisiku, ditambah orang-orang sekitar yang memperlakukanku sebagai seorang yang sakit itu sangat menghambat.

Awal menjadi bagian paling sulit pastinya, tidak hanya dirasakan olehku saja, semua orang yang menghadapi penyakit kronis pasti merasakannya. Khususnya pada penderita Lupus yang sebagian besar penderitanya adalah perempuan usia produktif. Dimana di masa produktif ini kami yang seharusnya gencar mencari ilmu atau pengalaman untuk masa depan kami, malah harus belajar menikmati dan menghadapi penyakit yang katanya akan menemani hingga di penghujung usia kami. Menyedihkan sekali kan!

Berat ... Aku bisa menangis seharian karenanya. Aku bisa menggigil kedinginan saat mendengar berita ada teman odapus yang berpulang. Pernah juga aku tak dapat tidur berhari-hari tanpa sebab yang jelas, sampai-sampai dokter meresepkan obat anti depresi untukku. Rasanya seperti kematian itu dekat sekali, entahlah aku masih saja berpikir bahwa aku akan mati dengan cepat sekalipun aku menyadari kondisi ku ini sangat ringan.

Satu hal lagi, bagaimanapun menerima lupus di dalam diri bukanlah perkara mudah. Aku adalah anak muda yang punya banyak impian. ketika lupus ada, impian seolah terlalu jauh untuk aku gapai. Aku merasa marah dan terkutuk. Mengapa aku mengalami hal ini? Hidupku memang tak mudah, sebelum lupus ada pun aku harus berjuang sendiri untuk segala yang aku butuhkan. aku tak seperti anak-anak lain yang bisa merengek dan berlindung kepada orang tuannya, jadi lupus seperti beban yang terlampau berat.

Aku memang merasa menderita tapi aku tak pernah putus asa. di sela-sela tangisku aku masih bisa berfikir dan berusaha untuk mengatasi segala masalah yang ada. Ibarat sebuah benang kusut, aku harus mengurai masalah-masalah dalam hidupku agar bisa menemukan jawaban 'mengapa' yang selalu kuajukan sejak awal.

Bermodalkan internet, buku-buku, dan pengalaman berinteraksi dengan sesama Odapus dalam komunitas, membuatku sedikit banyak memahami tentang penyakit ini.

"Lupus itu obatnya adalah bahagia" Begitu kata teman odapusku yang sudah puluhan tahun mengidap lupus. Mendengar ucapannya rasanya aku seperti tersambar petir. Apakah aku tak bahagia, sehingga aku bisa terkena penyakit ini? Begitulah respon spontan dari alam bawah sadar ku. Sejak saat ini aku berusaha merombak hidupku, berusaha menemukan dan memperbaikinya setiap sudut yang membuatku tak bahagia.

Secara kasat mata, barang kali orang berfikir hidupku sangat menyenangkan. Aku beruntung dengan segala yang aku miliki. Ya, aku tak mengingkarinya, aku sangat bersyukur. Tapi keputusan besar harus aku ambil, meninggalkan segala yang aku miliki karena nyatanya ada masalah besar yang sangat menyiksa hidupku yang tak mungkin bisa ku bagikan kepada sembarang orang.

Hingga sampai pada satu titik aku benar-benar tak punya apa-apa. Aku lepaskan pendidikan yang sedang kujalani, tak ada pekerjaan yang bisa ku andalkan, bahkan aku sudah tak sanggup lagi berobat untuk mengobati lupusku. Pengobatannya aku hentikan secara paksa sebelum selesai. Ya... Aku meninggalkan rumah tante Santi.

Jujur, sekarang untuk membayar ongkos menuju Rumah Sakit tempat kubiasa kontrol pun aku tak sanggup. Belum lagi administrasi kependudukanku yang berantakan sehingga aku tak dapat memanfaatkan pengobatan gratis yang pemerintah fasilitasi, sehingga akhirnya aku hanya bisa membeli obat-obatan yang biasa kuminum yang memungkinkan dapat kubeli tanpa resep. Dua tahun lamanya aku menjalani hidup seperti ini, namun begitu upaya non medis tetap aku lakukan. Aku berusaha mengontrol emosiku. Berusaha menjaga makanan. Berusaha mengobati segala bentuk trauma. Berusaha mengontrol aktifitas. Berusaha mendapatkan lingkungan yang sehat tanpa asap rokok. Pokoknya aku mengupayakan untuk meminimalisir segala faktor yang bisa menyebabkan penyakitku kambuh. Tidak mudah memang karena aku mengupayakannya sendiri, tanpa siapapun di sampingku yang mengerti kondisi penyakit ku. Tapi aku tak melakukannya tanpa putus asa. Aku lakukan apa yang aku bisa untuk menjaga tubuh ini tetap baik-baik saja meski tanpa pengobatan yang sesuai, setidaknya hal ini sedikit mengobati rasa bersalah terhadap diri sendiri.

Aku tahu lupus itu butuh pengobatan yang berkelanjutan, tak boleh dihentikan tanpa pantauan dari dokter, jika tidak lupus bisa menyerang organ lain yang bisa semakin memperparah kondisi sehingga akan semakin sulit pengobatannya. Aku tahu benar hal itu, tapi sungguh aku tak tahu bagaimana caranya untuk memulai pengobatan lagi sementara penghasilanku hanya cukup untuk bertahan hidup dan sekedar untuk makan. Aku hanya mengandalkan doa, sepanjang waktu aku memohon kepada-Nya agar aku selalu diberikan kesehatan agar lupusku sembuh, tidak menyebar dan merusak organ lain di dalam tubuhku.

Alhamdulillah Allah mengabulkan seluruh doa ku, aku menjalani dua tahun meminum obat tanpa pantauan dokter dan dua tahun hidup tanpa obat sama sekali. Selama itu aku tak mengalami keluhan yang serius. Nyeri sendi, demam, atau kelelahan rasanya sudah menjadi makananku sehari-hari. Mereka sudah tak jadi masalah lagi. Aku bisa menghadapinya tanpa obat, hingga nantinya mereka akan menghilang dengan sendirinya asalkan aku berhasil mengontrol pikiran untuk tetap tenang dan memberikan waktu untuk cukup beristirahat.

Setiap manusia pasti diuji, aku sadari itu. Mungkin lupus ini adalah ujian bagiku begitupun ketidak mampuanku untuk memberikan pengobatan terhadap diri sendiri. Tapi aku yakin Tuhanku melihat setiap usahaku, aku tak berobat bukan karena aku tak mau tapi jelas aku tak mampu. Menghadapi segalanya sendiri memang bukan perkara mudah, tapi aku lelah untuk menuntut ataupun marah jadi aku jalani saja segalanya sambil ku ikatkan harapanku kepada Sang Penciptaku. Kunikmati hidupku tanpa banyak berekspektasi, yang kumiliki hanya hari ini dan kuserahkan masa depanku hanya kepada-Nya. Semoga Allah menyayangiku dan membukakan jalan yang indah untukku didepan sana.

Lupus, Menemukan BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang