MENANTI PENGOBATAN YANG SESUAI

52 2 4
                                    

Hidup selalu menjanjikan perubahan. Saat ini barangkali kita sedang jaya, merasa menjadi manusia paling sempurna, jangan terlena sebab mungkin saja waktu mengubah diri kita tanpa kita sadari. Seperti yang aku rasakan. Aku masih muda, usiaku baru saja genap 20 tahun, awal tahun ini aku sedang sibuk mempersiapkan diri mengikuti ujian masuk Perguruan Tinggi. Kurasa tabunganku sudah cukup untuk mendaftar kuliah. Kurangkai segala mimpi, kurajut harapan di hati, aku yakin tahun ini akan menjadi tahunku. Namun siapa sangka berselang 6 bulan saja kehidupanku sudah berbeda. Mimpiku sudah berubah, harapanku hanya satu saja yaitu, SEMBUH!

Tapi kata itu seolah semakin menjauh. Dokter menyampaikan kemungkinan aku mengidap Lupus, sebuah penyakit yang lebih menyeramkan dari Reumatoid Arthitis (RA). Entahlah bagaimana aku harus menjelaskan segala kekhawatiranku, seandainya aku RA kemungkinan terburuknya adalah cacat dan jika aku Lupus maka kemungkinan terburuknya, aku akan segera meninggal. Keduanya sama sekali bukan kabar yang baik, itu bukan pilihan, sama sekali aku tak ingin memilihnya. Atau setidaknya, karena kedua penyakit itu tidak dapat sembuh mungkin kondisiku akan selamanya seperti ini, merasakan nyeri sepanjang hari dengan aktifitas yang terbatas. Sungguh, aku tak mau!

Bayangkan, aku adalah seorang remaja yang baru saja beralih menjadi dewasa muda, dihadapkan dengan kemungkinan - kemungkinan buruk itu, rasanya tak berlebihan jika aku merasa hidupku sangat berat. Bagaimanapun aku seperti anak muda yang lain, masih ingin bersenang-senang, aku tak siap memikirkan masalah seperti ini. Rasanya lelah sekali, aku ingin beristirahat, aku ingin pulang tapi kemana?

Karena kegamanganku, aku berhasil mengambil keputusan yang kurang tepat, aku berhenti bekerja, berharap dengan begitu aku akan segera sembuh. Memang salah satu gejala yang kurasa adalah rasa lelah, sering kali aku merasa kelelahan tanpa sebab saat bekerja padahal pekerjaanku sangat santai. Jika itu terjadi yang kubutuhkan hanya berbaring. Mungkin ini juga yang semakin meyakinkanku untuk melepas pekerjaanku. Tanpa kusadari aku menolak segala kemungkinan bahwa aku RA ataupun Lupus—yang membutuhkan pengobatan jangka panjang juga biaya yang tidak sedikit tentunya.

Saat ini kondisiku semakin buruk. Memang kondisi tubuhku sudah lumayan membaik setidaknya aku tak seperti beberapa bulan lalu yang hanya bisa berbaring ketika penyakitku kambuh. Namun kondisi psikologisku sangat tidak baik. Aku menyesal menjadi pengangguran, ternyata penyakitku tak juga hilang meski aku lebih banyak beristirahat. Aku rasa, aku harus melanjutkan untuk mencari kepastian penyakit apa yang kuidap. Tapi bagaimana, sekarang aku tak bekerja, aku tak punya uang. Apalagi statusku yang sedang menumpang di rumah tante shanty, ini semakin menambah ketidak nyamanan dan beban di hatiku. Memang tante santy dan keluarganya sangat baik kepadaku tapi aku sendiri lah yang merasa tak enak hati terus-menerus merepotkan.

"Aku harus pulang." ucapku dalam hati. Namun aku benar-benar kurang beruntung, orang tuaku belum mau menerimaku kembali pulang, alasannya karena kondisi ekonomi. Aku tak tahu, kenapa hal ini bisa terjadi, kenapa kata-kata itu harus aku dapatkan dari orang tuaku sendiri, apakah karena aku yang tak pandai menjelaskan kondisiku atau karena mereka yang tak mau menerimaku? Aku sangat kecewa. Lebih parahnya aku merasa tak berharga. Apa karena tubuh berpenyakitan ini orang tuaku merasa aku akan menjadi beban? Begitu sensitif nya aku karena penyakit ini.

Sejak saat itu aku putuskan, aku akan bertahan, walau apapun yang terjadi akan aku hadapi sendiri, tanpa orang tua aku harus mampu. Tapi bagaimanapun menghadapi masalah sendiri sangatlah menyakitkan, aku kesulitan, aku tak menemukan jalan keluar. Hingga aku sudah tak tahan dan kusampaikan segala masalah dan kekhawatiranku kepada tante shanty. Tangisku di hadapan tante santy bukan hanya tentang masalahku tapi juga tentang rasa maluku, aku yang sudah terlalu banyak merepotkan nya namun kemudian harus juga menjadikan tante shanty tempatku menumpahkan kekhawatiran akan penyakitku.

Tapi benar-benar tante shanty ini berhati malaikat, tanpa kuduga beliau tak hanya mau mendengarkan keluh kesahku namun juga bersedia membiayai pengobatan penyakitku. Setiap bulan beliau akan memberikan sejumlah uang yang sangat cukup untuk aku dapat melanjutkan kembali pengobatan. Ditengah kekecewaanku terhadap orang tua, kebaikan tante shanty menjadi obat hatiku yang merana sekaligus semangat untuk menggapai hidup yang lebih berkualitas dalam penyakit ini.

Lupus, Menemukan BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang