LAUTAN HIKMAH

32 1 0
                                    


"Untuk apa aku hidup? Apa yang harus aku lakukan?." Ini adalah pertanyaan yang muncul setelah kehadiran lupus dalam hidupku. Sembilan tahun sudah lamanya dan aku bisa sampai di titik ini.

"Bunda kenapa?" Sesosok anak kecil memperhatikanku dari jauh lalu mendekat dan mendekap tubuhku.

"Bunda jangan nangis!" Dialah anakku, anak pertama yang kulahirkan saat lupus sudah menemani hidupku. Anak yang kudapatkan melalui perjuangan panjang sejak hamil hingga melahirkan. Bagaimana tidak, kehamilan memang berisiko bagi semua perempuan terlebih bagi aku yang mengidap penyakit Lupus.

Peningkatan hormon saat hamil menjadi faktor kekambuhan. Benar saja bahkan sebelum dokter dan alat tes kehamilan menyatakan aku hamil, aku sudah bisa menebaknya karena tubuhku sudah menunjukan gejalanya, gejala kekambuhan lupus lebih tepatnya. Badan meriang, nyeri sendi, mual, radang di kulit menjadi penyambut masa kehamilanku setelahnya aku menghadapi masa kehamilan hingga melahirkan yang dramatis.

Kesehatanku naik turut saat hamil, beberapa obat radang harus aku telan untuk meringankan sakitku. Aku harus berkonsultasi dengan dokter kandungan dan dokter penyakit dalam, juga segala macam tes laboratorium harus dilakukan, yang pastinya membutuhkan biaya yang tak sedikit. hingga puncaknya, anakku sempat kritis saat dilahirkan karena keracunan ketuban. Ah aku tak tahu, apakah itu ada hubungannya atau tidak dengan Lupus yang kuidap tapi kejadian-kejadian itu benar-benar menguji hatiku sebagai seorang ibu. Beruntung Tihani, anak ku hanya memerlukan perawatan beberapa hari saja di ruang NICU ( neonatal intensive care unit) dan setelahnya bisa pulang bersamaku dalam keadaan sehat hingga hari ini.

" Bundaaa.... Jangan nangis lagi! " Dia merajuk sambil mengencangkan dekapannya.

"Enggak Nak, Bunda gak nangis, Bunda lagi ngiris bawang jadi mata bunda pedih". Dia melepaskan pelukannya dan menatapku tajam lalu pandangannya bergeser menuju mangkuk besar berisi irisan bawang putih dan bawang merah.

" Nih ini nih bawang nya, niiiiiiih cium niiiiih!"

"Engaak mauuuuu .... " Dia berteriak sambil berlari dari arahku kemudian melanjutkan permainannya bersama tumpukan boneka kecilnya. Begitulah anak ku, dia tak pernah bisa melihatku menangis.

Namanya Hani, lengkapnya Tihani, sebuah kata yang kuambil dari bahasa Arab yang artinya bahagia. Memang, kata bahagia menjadi sepenting ini dalam hidupku sampai-sampai aku sematkan dalam nama anakku. Bahagia adalah obat untukku, yang selalu berhasil menghadang lupus di tubuhku untuk beraksi lebih lama, juga sudah berhasil mengubahku menjadi pribadi yang berbeda yang lebih baik tentunya. Tak salah jika aku menghadirkannya dalam nama yang akan menjadi doa untuk anakku bahkan hingga kelak aku sudah tak di dunia ini lagi.

Memang ajaib, sejak kehadiran Hani aku merasa sangat sehat, jarang sekali sakit, tak ada lagi nyeri sendi. Aku mengurus Hani siang malam sendirian tanpa bantuan, kecuali dari suamiku saja. Yang kukira lelahnya mengurus bayi itu akan melemahkanku, namun nyatanya tak ada sama sekali gejala lupus yang datang. Aku berhasil melalui tiga tahun tanpa obat dan tanpa rasa sakit, hingga akhirnya baru muncul lagi masalah pada awal tahun 2020 karena kelelahan mengerjakan orderan dari bisnis kecil-kecilanku.

Akhir 2020 aku tak sanggup lagi menahan segala kekhawatiranku hingga memutuskan untuk menemui dokter spesialis penyakit dalam lagi, aku meminum obat lagi. Awal 2021 secara tiba-tiba seluruh persendian tubuhku utamanya di daerah kaki sangat sakit meskipun sedang meminum obat, entah karena salah minum suplemen atau karena sakit flu yang menjangkiti seisi rumahku saat itu. Entahlah, kami memang tak memeriksakan diri ketika flu namun buntutnya Diabetes ayahku memburuk hingga beliau berpulang sepuluh hari setelahnya. Dan penyakitku memburuk hingga pengobatan masih harus aku jalani hingga hari ini.

Hari ini aku masih berjuang agar dapat kembali merasakan remisi obat, agar dapat menjalani aktivitas tanpa obat sama sekali. Bedanya kali ini aku tekadkan hati untuk jadi pasien yang baik, tidak akan melepas obatku tanpa sepengetahuan dokter lagi. Berharap dengan begini aku bisa mempersiapkan diri menuju kehamilanku yang ke dua. Semoga nanti aku bisa hamil dengan sehat dan bahagia tanpa lupus nakal yang mendramai kehamilanku. Amiiin.

Sembilan tahun hidup bersama lupus menghadirkan 1001 cerita haru biru dalam hidupku. Setiap harinya adalah perjuangan, sejak awal aku menghadapi sendirian tanpa dukungan keluarga bahkan hingga sampai di hari ini aku dikuatkan oleh tim, keluarga kecilku. Ada suamiku dan anakku yang menjadi suport sistem terbesar untukku. Bagiku, dukungan ini adalah sebuah kenikmatan besar. Aku memang tak diperlakukan bak seorang ratu, namun suamiku tahu bahwa aku punya keterbatasan saat beraktivitas yang tak bisa terlalu capek dan stress sehingga memberikan kebebasan untukku dapat mengatur segala aktivitas dengan leluasa.

Dia tak marah jika menemukan rumah yang berantakan saat pulang kerja ketika aku tak sanggup beberes. Dia juga bisa memahami saat aku tak sanggup memasakan makanan untuknya. Terlebih saat ini dia juga sangat mengerti dan mendukung saat aku harus bolak balik berobat ke rumah sakit. Bagiku semua itu sudah lebih dari cukup, inilah lingkungan yang aku dambakan sejak lama, aku diperlakukan biasa saja namun diterima segala kekuranganku.

Merasakan hadir dititik ini aku benar-benar bahagia. Aku mampu menghadapi lupus dan segala kemungkinan yang disebabkannya dengan berani. Kematian yang menjadi momok menakutkan sejak awal, menjadi pengingat untukku selalu dekat dengan Allah. Dan segala kekurangan yang aku temukan didalam diri ini menuntutku untuk lebih memaksimalkan kelebihan diri.

Barangkali beberapa tahun lalu aku menyesali dan menangisi segala kelemahan yang di sebabkan oleh lupus, namun saat ini aku tak ingin melakukannya lagi. Bagaimanapun lupus adalah takdirku, dia tak akan hadir jika tidak membawa kebaikan untukku. Perjuangan dan perjalanan berat karenanya adalah pengalaman hidup yang tak akan pernah kulupakan, karena dengan begitu aku bisa mensyukuri kondisi saat ini.

Lupus adalah pembawa kebahagiaan untukku, karenanya aku belajar untuk bahagia dalam kondisi apapun. Karenanya aku tahu bahwa bukan kondisi hidup kita yang membuat kita bahagia, tapi rasa syukurlah yang menghadirkannya. Saat kita berhasil melewati kondisi yang buruk lalu beralih ke kondisi yang lebih baik, perbandingan kondisi itulah yang mengundang rasa syukur beserta kebahagiaannya. Jadi aku tak ingin menyesali lupus didalam diriku.

Lupus bagiku adalah guru yang mengajarkan keberanian, pada akhirnya aku tahu bahwa sendirian pun aku mampu melewati masa-masa sulit itu. Aku paham sekarang bahwa segala yang kita miliki adalah pemberian Tuhan. Keluarga, orang tua, teman-teman yang sayang dan peduli adalah pemberian dari-Nya. Namun ketika kita tak memiliki itu semua, kita akan selalu memiliki kasih sayang-Nya. Kita bisa meminta apapun langsung kepada-Nya. Begitulah yang aku lakukan, kusampaikan segala keinginanku kepada Tuhanku lalu Dia memberikan sesuai bahkan lebih dari yang aku mau.

Besi harus ditempa agar menjadi kuat dan kokoh, batu bata harus dibakar agar tak mudah pecah, pisau harus diasah agar lebih tajam Begitu juga dengan kehidupan manusia. Bagiku lupus adalah tempaan yang hebat, yang pada akhirnya menjadikanku pribadi yang berharga. Aku yang dulu bukan lagi aku yang sekarang, saat ini aku sudah berani menghadapi hidup dengan segala ujiannya karena aku tahu bahwa aku punya sumber kekuatan yang maha dasyat yaitu dari Tuhanku, Allah s.w.t

Sekarang aku sudah tidak mempermasalahkan tentang kesembuhan lupus. Aku selalu memimpikan sembuh dari lupus namun aku juga ridho jika lupus harus tetap ada dalam diriku, aku sudah belajar ikhlas menerima segala ketetapan Allah. Saat ini aku mampu beraktifitas normal layaknya orang sehat meskipun dengan bantuan obat, bagiku tidak masalah. Aku hanya ingin menikmati segala kenikmatan yang Allah berikan kepadaku, aku ingin selalu bahagia hingga nanti ajal menjemputku.

Terimakasih ya Robb, Engkau hadirkan Lupus ini dalam hidupku. Karena Lupus ini banyak mengingatkanku tentang-Mu. Bahwa kehidupanku adalah pemberian-Mu, dan Engkau berhak mengambilnya kapanpun Kau mau. Ya Tuhanku aku akan selalu berusaha ikhlas dengan ketetapan-Mu. aku hanya ingin hidup dalam keridhoan-Mu maka aku akan belajar untuk Ridho dengan segala ketetapan-Mu. Amin

Lupus, Menemukan BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang