Chapter Sixteen

1.8K 230 26
                                    

Aloha, how's the previous chapter? Jaehyun was annoying, probably will me more annoying, just wait patiently :)

“Love, like everything else in life, should be a discovery, an adventure, and like most adventures, you don’t know you’re having one until you’re right in the middle of it.”
—E.A. Bucchianeri—

Satu minggu lain yang Rose habiskan tanpa kehadiran Jaehyun. Dan selama satu minggu itu pula ia terus bertemu dengan orang yang sama—hampir tiap hari—jadwalnya dengan Eunwoo saling beririsan seperti himpunan dalam matematika. Pria itu selalu muncul begitu saja; di tempat latihan, di kampus, bahkan di kafe yang secara otomatis menjadi tempat langganan keduanya.

Terlalu sulit kalau menyebutnya sebagai kesengajaan. Eunwoo jelas tidak sengaja datang untuk menemuinya, pria itu hanya punya jadwal di tempat yang sama dan secara ajaib selalu berpapasan dengannya. Bahkan hari ini pun mereka kembali bertemu—sedang duduk di salah satu bangku kosong di taman belakang fakultasnya yang cukup ramai. Tidak ada percakapan, Eunwoo biasanya tidak memulai pembicaraan, pria itu tetap diam dan menunggu Rose mencetuskan satu kalimat yang bisa membawanya masuk ke dalam suatu obrolan.

“Dunia terasa sempit. Waktu juga terasa sangat konyol. Hah, kita terus bertemu di tempat yang tidak terduga ya, Tuan Eunwoo?” lengguh Rose sambil melempar senyum tipis. Ia meneguk kopi yang hampir habis, membuangnya ke tempat sampah terdekat sebelum menuturkan, “Takdir yang aneh.”

“Kau percaya takdir?” sahut Eunwoo spontan.

Rose menoleh, katanya sambil menyeringai, “Tentu saja. Di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan.”

“Begitu kah? Menurutku malah yang tidak ada itu takdir,” ucap Eunwoo seraya mengusap dagu. Ia tertawa pelan lalu menambahkan, “Apapun itu, pada akhirnya kita tetap bertemu. Ini memang sangat aneh.”

“Kau tak sedang berbohong kan?” tuduh Rose begitu saja.

“Kalau aku sedang berbohong, bukannya lebih masuk akal kalau aku tidak membongkarnya sendiri?” Eunwoo memasang ekspresi serius, membuat Rose secara spontan melakukan hal serupa. “Itu bukan pertanyaan yang bagus, Nona Park. Kalau kau menanyakan itu, siapapun akan menjawab: Tentu saja aku tidak berbohong kepadamu. Kau ini tipe yang sedikit gampang dibodohi.”

“Sepertinya aku memang gampang dibodohi,” kata Rose diiringi lengguhan pelan. Ia menyandarkan punggung ke bangku besi di belakangnya, memandang lurus ke depan dan tidak menghiraukan usaha Eunwoo untuk memperbaiki pernyataannya.

“Kau tahu, maksudku bukan begitu. Maksudku, kalau kau menanyakan hal itu, kau mungkin bakal dibodohi.” Eunwoo mengatakannya sedikit terburu-buru. Bahkan ekspresi panik menyelubungi.

“Tidak apa-apa, aku memang tipe yang seperti itu kok.” Rose mengakuinya begitu saja.

Mata Eunwoo membelalak. “Maaf?”

Senyum yang Rose berikan terlihat tulus dan hangat. “Aku gampang dibodohi,” ucap Rose enteng, “tidak ada yang salah dengan ucapanmu. Mungkin aku memang terlalu muda untuknya.”

“Muda? Apa hubungannya muda dengan mudah dibodohi?” tanya Eunwoo.

“Tuan Eunwoo,” kata Rose dengan kepala tunduk.

“Eunwoo saja,” pria itu menyela.

“Tidak apa-apa kalau kupanggil namamu seperti itu?” Rose bertanya dengan suara pelan.

Eunwoo mengangguk, “Tidak masalah. Itu membuatku lebih nyaman.”

“Aku juga lebih suka memanggil namamu langsung karena kau tidak terlihat cukup keren untuk kupanggil ‘Tuan’. Menurutku kau agak sedikit, kau tahu, pokoknya tidak keren.” Rose mengatakan itu sambil terkekeh.

Ice Shot Play ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang