Chapter Nineteen

1.5K 219 84
                                    

Halo, sorry karena lama nggak update. Ehehehe

Do you guys miss me? Because I do miss you all a lot 🥺🥺🥺 Anyway, I get a little bit nervous and kinda lost the way to greet you all casually. Ehehehe... Tapi chapter kali ini pun one kok (pd dulu aja kan), kayaknya kalian bakal suka 🙂🙂🙂

Vote and comment if you don't mind to, selamat membaca~~~

“Letting go means to come to the realization that some people are a part of your history, but not a part of your destiny.”
—Steve Maraboli—

Napasnya masih keluar tidak beraturan saat ia berhenti berputar dan memilih berdiri di tengah ice rink. Sementara kepalanya memutar kembali percakapan dengan Brandon di telpon beberapa jam lalu, pergelangan kaki kanannya merasakan denyutan ngilu yang belakangan selalu kambuh dalam intensitas tinggi. Rose menatap ke bawah dengan tatapan kosong, memikirkan sejumlah hal yang akhir-akhir ini selalu berjalan di luar kehendaknya.

“Sampai kapan kau akan berada di Korea?” satu pertanyaan dari Brandon sudah cukup untuk membuat Rose bungkam tak berkutik. Pria paruh baya itu juga mengatakan, “Apa yang sedang kau lakukan di sana? Kalau kau mau bermain-main terus, maka lepaskan saja karirmu. Kau tidak pernah seperti ini; latihan rutinmu kacau dan kau juga sering membuat kesalahan yang memperparah cederamu. Beri tahu aku Rose, apa rencanamu ke depannya? Kau tidak punya rencana? Apa maksudmu? Kau tidak tahu harus melakukan apa? Usiamu masih sangat muda, kau belum mencapai puncak karirmu. Ke mana perginya Rose yang sangat ambisius dan mencintai figure skating? Kau mengorbankan karirmu demi seseorang yang mempermainkanmu? Kau boleh marah padaku, tapi aku hanya tidak mau kau menyesal dan terluka. Segera kembali ke Saint Petersburg, kita harus obati dulu cederamu, kau tidak perlu ikut Grand Prix kalau masih cedera. Aku tidak mengizinkannya.”

Rose kembali mengangkat dagu, melihat ke depan sebelum berputar mengintari ice rink. Arena latihan sangat sepi—tidak ada orang yang latihan saat jarum jam masih menunjuk angka dua dini hari. Ia tidak biasanya latihan selarut ini. Brandon benar, rutinitasnya jadi berantakan, seolah cintanya terhadap figure skating mengalami kemunduran.

Tapi itu tidak benar, ia selalu mencintai figure skating, bahkan sebagian besar hidupnya didedikasikan untuk olahraga ini. Ia berlatih sangat keras, mengorbankan banyak hal demi menjadi seorang profesional yang diakui banyak orang. Tidak ada keraguan dalam pilihannya, Rose yakin jika dirinya memang dilahirkan untuk menjadi figure skater. Kebahagiaannya berpusat di satu titik: figure skating. Selama bertahun-tahun selalu seperti itu; hingga perkenalan dengan Jaehyun yang membuat fokusnya terbagi dan dirinya jatuh hati. Hidupnya tidak pernah sama lagi.

Matanya terpejam saat tubuhnya jatuh menghantam es ketika berusaha melakukan Quadruple Lutz. Prerotasinya terlalu berlebihan—membuatnya melompat dalam ¾ rotasi— pendaratannya juga tidak clean, dan keseimbangannya ikut runtuh ketika dia merasakan lebih banyak sengatan menyakitkan di pergelangan kaki kanannya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Rose menangis, meraung kesakitan sambil meringkuk dan memegangi pergelangan kaki kanannya yang terkilir.

“Tidak, tidak, jangan dirimu. Kumohon, jangan kakiku...” Rose sedikit meracau—gemetar ketakutan saat membayangkan dirinya tidak bisa berkompetisi lagi.

Seolah tidak cukup buruk, sosok Jaehyun yang selalu ia rindukan kembali muncul di kepalanya. Suara tangisnya keluar semakin keras—menggema di tengah kosongnya malam yang meliputi arena latihan saat ini. Tubuh serta pikirannya lelah, meradang, dan kesakitan. Rose bahkan tidak punya teman untuk berbagi; memaksanya memendam semua beban itu sendirian.

Ice Shot Play ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang